beberapa sajak tentang surabaya
yang masuk dalam
kumpulan puisi malsasa
aming aminoedhin
SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR
Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh
Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di Jakarta
Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat
lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar manusiawi
menjalankan program dengan kendaraan nurani hati
Surabaya ajari aku. Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada juntrung
Surabaya memang boleh berdandan
bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
senja meremang, mentarinya seindah pagi
di antara gedung tua dan Tugu Pahlawan kita
Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
dan suara rakyat adalah suara kebenaran
tak terbantahkan. Tak terbantahkan!
Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!
Surabaya, 21 November 2005
aming aminoedhin
BENAR-BENAR MABUK MABUK BENAR-BENAR
Surabaya, benar-benar mengajariku mabuk
Mabuk tak hanya benar-benar mabuk mansion dan wisky
Tapi juga mabuk segala silau oleh gemerlap lampu bagai mata pisau
Meski aku tahu, penuh tipu penuh gincu
Aku juga mabuk tentang sebentuk kursi
Membiarkan orang-orang sekitar jadi frustasi
Surabayalah yang mengajariku mabuk lupa mabuk berdusta
Setiap langkah hanya kealpaan dan kedustaan
Besliweran di otak dan kepala
Dosa hanya seperti fatamorgana
Memakan dan memamah hak orang
Adalah kerja keseharian
Bahkan hak seorang kawan, apalagi lawan
Adalah sah bagi pemabuk jagoan
Bicara hati nurani aku tak sanggup lagi
Kebenaran adalah mansion
Keadilan adalah wisky
Rakyat biarkan mlarat kesrakat
Asal aku tetap sehat tetap kuat membabat
Benar-benar mabuk, mabuk benar-benar
Karena kata salah telah patah
kata benar telah tawar
kata hati telah mati
kata kursi telah jadi mimpi
Aku benar-benar mabuk, mabuk benar-benar
Surabaya, benar-benar mengajariku mabuk
Mabuk tak hanya benar-benar mabuk mansion dan wisky
bahkan mabuk mencari kebenaran dan keadilan
di rimba beton kota ini
aku tak kuasa menemukan hingga kini.
Surabaya, benar-benar mengajariku mabuk
Benar-benar mabuk, mabuk benar-benar
aku tak temukan kata benar hakiki
aku tak temukan kata adil yang pasti
Surabaya, 14/06/2006
aming aminoedhin
MEMBACA BULAN MERDEKA
* antara ngawi-surabaya
sepanjang perjalanan berlubang
jutaan bendera merah putih berkibar
barangkali indah di mata indah di hati
tanda ulang tahun negeri ini terayakan
oleh semua rakyat semua pejabat
tanda negeri ini merdeka, tapi entah kesekian kali
tak juga menemukan solusi kata merdeka
sepanjang perjalanan bulan merdeka ini
ratusan pejabat masih berlaku bar-bar
gembar-gembor bersuara menebar mimpi-mimpi kita
sementara rakyat hanya diajak bersabar
tanpa menemukan solusi ke arah negeri merdeka
benar-benar merdeka
kehormatan memang telah dibuang
keyakinan & iman telah lekang
upacara hanya sekedar upacara
hanya sebuah nama, tanpa memberi harga
apa lagi memberi sebentuk makna arti. merdeka
hanya baru dalam kata, tak menyentuh
makna arti hakiki, selebihnya janji-janji
sebentuk imaji
atau mungkin mimpi-mimpi
seringkali mimpi bisa jadi misteri
asa tinggal hampa, lantaran merdeka
tak kunjung tiba juntrungnya. sedang pejabat
hanya mengajak tamasya angan ke jauh awan
tak tersentuh genggam tangan
sepanjang perjalanan bulan merdeka ini
aku bertanya, hari merdeka telah tiba
adakah berjuta kibar bendera menyentuh matabatin kita
membuka mata membuka daun pintu merdeka
benar-benar merdeka?
membaca bulan merdeka
adakah masih perlu upacara
jika pejabat masih tetap bejat makan duit rakyat?
masih adakah?
Surabaya, 17/8/2006
aming aminoedhin
MEMBACA SURABAYA
membaca surabaya membaca negeri kaya raya tak terhitung angka-angka. harapan dan impian seperti hampa bagi pemula. tapi tidak bagi yang terbiasa mabuk dengan mulut berbusa. omongan tanpa rambu tanpa jeda, tak bisa dibedakan mana benar mana dusta. semua sama semua tanpa beda. benar adalah fatamorgana, dan fatamorgana adalah kebenaran nyata. siapa sangka?
membaca surabaya membaca negeri penuh para psk *yang menjaja di sepanjang jalan raya. rumah-rumah bordil, dari dolly hingga sepanjang rel. negeri indah menabur maksiat, tanpa merasa bejat. tanpa merasa tersesat. meski hidup kian melarat, hidup kian kesrakat.
membaca surabaya membaca negeri penuh iklan warna-warni. menawarkan lampu iklan di sudut-sudut jalan kota. menawarkan ketakbenaran dalam kemasan kebenaran. menawarkan racun yang hanya gincu. menawarkan indah yang hanya semu.
membaca surabaya membaca negeri menawarkan dzikir di taman-taman, tanpa pernah tahu kapan dzikir itu sampai kepada Tuhan. sebab segala dzikir yang diucap hanya sebatas bibir, tanpa muatan keyakinan. bukan syiar tapi malah lebih disebut unjuk gelar kekuatan. mungkin bisa bermuatan politik atau mungkin mencari massa mengarah satu titik? mungkin?
ah…. membaca surabaya seperti membaca warna-warna. ada merah menyala semerah saga, ada hijau muda dan tua, ada kuning sekuning bendera, dan bahkan ada biru sebiru rindu kita, menemukan kebenaran dan keadilan bagi semua
tak ketemu juntrungnya
membaca surabaya aku tak tahan meneruskannya. barangkali kau bisa membuat sederet lagi
kenyataan tak masuk akal
kenyataan-kenyataan tak bermoral
yang ada di kotamu, surabaya?
barangkali…?
Surabaya, 7-7-2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar