Selasa, 14 April 2009

SASTRA JATIM BUAT SASTRA JAWA

KONTRIBUSI KOMUNITAS SASTRA JATIM TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA JAWA
Oleh: M. Amir Tohar*


Melihat perkembangan dan kenyataan di lapangan, bahwa sebagian masyarakat yang berdomisili di Jawa Timur, sebagian besar adalah masyarakat suku Jawa; dan sebagian besar pula atau hampir 75% masyarakat Jawa Timur menggunakan media bahasa pergaulan (lingua-franca), bahasa Jawa.
Berangkat dari kenyataan di lapangan seperti inilah yang kemudian muncul beberapa komunitas sastra Jawa yang tetap bertahan demi eksistensi atau keberadaannya. Meski dalam perjalanan komunitas mengalami banyak kendala yang tak kurang beratnya dalam menjalankan roda komunitas/paguyuban, mereka berupaya sekuat tenaga agar keberadaan komunitas/paguyuban sastra Jawa ini tetap berjalan.
Pada tahun 1990, seorang Suparto Brata, sudah mempertanyakan kebangkitan sastra Jawa (baca: Makalah Sarasehan Sastra Jawa Mempertanyakan Kebangkitan di PPIA, 11 Februari 1990), tapi ternyata sastra tidak pernah bangkit.
Beberapa komunitas/paguyuban sastra Indonesia maupun Jawa memang terus tetap berjalan dan eksis di tengah era globalisasi ini antara lain: PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), PSJB (Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro), Sanggar Sastra Jawa Triwida (Tulungagung, Blitar dan Trenggalek), Sanggar Parikuning, serta beberapa komunitas sastra lain seperti Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto), Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan), Komunitas Sastra Teater Persada Ngawi. Komunitas-komunitas tersebut cukup memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan bahasa dan sastra Jawa. Di samping itu, ada lembaga pemerintah yang tetap memberikan kontribusi positif bagi pengarang sastra Jawa, seperti Balai Bahasa Surabaya yang berlokasi di Sidoarjo, Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, dan Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa di FBS – Universitas Negeri Surabaya (Unesa).


Pengarang Sastra, Lahan, dan Komunitas

Jawa Timur memiliki pengarang sastra Indonesia dan Jawa modern yang cukup banyak jumlahnya, dan mereka tersebar di berbagai daerah di wilayah Jawa Timur. Para pengarang sastra Indonesia mempunyai banyak lahan untuk memuat karya-karya mereka, baik koran dan majalah lokal maupun ibu kota. Nama mereka cukup dikenal di kalangan sastrawan Jatim dan Nasional. Bagi pengarang sastra Jawa tulisannya terwadahi dua majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya, yaitu Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Majalah berbahasa Jawa tertua yaitu majalah Panjebar Semangat, yang lahir sejak (1933), lantas disusul Jaya Baya (1945), dan akhir-akhir ini ada majalah Damar Jati (Jakarta), Sempulur dan Djaka Lodang (Yogyakarta), dan majalah Bende (Surabaya) yang juga memuat guritan.
Nama-nama komunitas sastra di Jawa Timur cukup banyak jumlahnya, baik yang hanya terbatas pengarang sastra Jawa, seperti: Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) yang didirikan pada tanggal 16 Juli 1982, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya didirikan pada tanggal 31 Juli 1977, komunitas sastra Jawa bernama Sanggar Triwida, yang mencakup tiga wilayah daerah, yakni Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar. Berdiri sejak tanggal 18 Mei 1980. Kemudian ada sanggar sastra, Sanggar Parikuning di Sempu, Banyuwangi, didirikan oleh pengarang terkenal Esmiet pada tahun 1974.
Sementara itu komunitas, sastra Indonesia yang hingga kini masih aktif antara lain: Komunitas Sastra Teater Persada Ngawi, yang berdiri sejak Juni 1978, Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto), berdiri tahun 1999; Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan), didirikan sejak November 1999, lantas komunitas Teater Gapus Unair Surabaya, berdiri sejak 1994; dan Bengkel Muda Surabaya(BMS). Nama komunitas terakhir tak terlacak kapan berdirinya.
Nama-nama pengarang sastra Jawa dari komunitas PSJB ada: JFX Hoery, Djajus Pete, Yes Esmie, dan Yusuf Susilo Harto; dari komunitas PPSJS ada empunya Suparto Brata, Suharmono Kasijun, Keliek Eswe, Bonari Nabonenar, Trinil, Budi Palopo, Ismoe Riyanto, Debora Indri Soewari, R. Goryadi, Sugeng Adipitoyo, dan Aming Aminoedhin; dari Sanggar Triwida, ada Sunarko ‘Sodrun’ Budiman, Yudhet, Sita T. Sita, Wahyudi; Teater Persada Ngawi, ada MH. Iskan, Maria Sujono, Soekardji Widjaja, Hardho Sayoko SPB. Sementara itu komunitas Forasamo, ada nama Iesmaniasita, Suyitno Ethexs, dan Ira Suyitno; dari Teater Gapus, ada Mashuri dan W. Haryanto, sedangkan dari komunitas BMS, ada Leres Budi Santosa dan Widodo Basuki.
Para nama pengarang dan komunitas sastra tersebut di atas tidak hanya menerbitkan buku-buku sastra Indonesia dan Jawa, tapi juga mengadakan beberapa pelatihan, lomba-lomba penulisan/baca guritan, dan penyuluhan sastra Jawa. Sebut saja PSJB pernah mengadakan pertemuan sastrawan Jawa dan seminar sastra Jawa. PPSJS mengadakan lomba baca guritan bagi siswa dan umum, seminar dan sarasehan. Lantas Sanggar Triwida, seminar, temu sastrawan, dan lomba nulis cerkak dan banyak lagi.
Semua itu dengan harapan agar dapat menumbuhkembangkan bahasa dan sastra Jawa di bumi Jawa, dan tidak menjadi punah, lantaran orang Jawa sendiri tak mau nguri-uri. Kegiatan itu antara lain dengan mengadakan berbagai kegiatan kebahasaan dan kesastraaan Jawa, seperti yang telah dikemukakan di atas. Mereka secara sengaja telah memberikan kontribusi positif akan perkembangan bahasa dan sastra Jawa.

Kontribusi Positif
Dari paparan di atas jelas, bahwa beberapa komunitas sastra tersebut cukup memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan bahasa dan sastra Jawa di Jawa Timur. Baik secara komunitas/paguyuban maupun secara perseorangan. Karena dari beberapa komunitas sastra semacam Forasamo, Kostela, dan Persada; para anggotanya tetap menulis sastra Jawa, di samping tetap menulis sastra Indonesia.
Sementara itu, lembaga yang tetap komitmen ikut melestarikan bahasa dan sastra Jawa adalah Balai Bahasa Surabaya di Sidoarjo, yang beberapa kali mengadakan penyuluhan “Bengkel Sastra Jawa”, lomba penulisan guritan, kerja sama dengan sanggar-sanggar sastra Jawa, dan lomba baca huruf Jawa; serta Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, yang selalu memberikan pelayanan bagi tumbuhkembangnya sastra Jawa. Seperti misalnya, memberikan sarana tempat penyelenggaraan Lomba Baca Geguritan PPSJS, Bengkel Sastra Jawa, sekretariat PPSJS, dan sekretariat Javanologi.
Lembaga lain adalah Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, yang tetap mencetak para guru Bahasa Jawa.
Tiga lembaga pemerintah inilah yang hingga sekarang masih aktif ikut membantu menumbuhkembangkan bahasa dan sastra Jawa di Jawa Timur, serta mencetak guru Bahasa Jawa.

Simpulan
Dari seluruh uraian tulisan pendek ini, maka dapat disimpulkan bahwa beberapa komunitas sastra, baik Indonesia dan Jawa, sangat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan bahasa dan sastra Jawa di Jawa Timur. Sedangkan lembaga yang cukup punya komitmen dalam hal pengembangan bahasa dan sastra Jawa adalah Balai Bahasa Surabaya di Sidoarjo, dan Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya.
Berangkat dari hal tersebut di atas, maka kebangkitan sastra Jawa di Jawa Timur akan benar-benar terjadi, apa lagi dua lembaga seperti Balai Bahasa Surabaya dan Taman Budaya Jawa Timur cukup mendukung akan tumbuhkembangnya sastra Jawa. Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan Suparto Brata yang mempertanyakan kebangkitan sastra Jawa.
Sejalan dengan hal itu, sebaiknya Pemerintah Propinsi Jawa Timur diharapkan bisa memberikan semacam perhatian/bantuan kepada beberapa komunitas yang tetap eksis dan punya komitmen dalam pengembangan bahasa dan sastra Jawa.
Aming Aminoedhin
Siwalanpanji, 13 Maret 2006

DAFTAR BACAAN

Brata, Suparto. 1990. Sarasehan Sastra Jawa Mempertanyakan Kebangkitan (makalah)
Surabaya: PPIA (Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika)

Wiyadi, Sugeng, dkk. 1996. Perkembangan Pusat Kegiatan Sastra Jawa Modern di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Surabaya : Proyek Pembinaan Bahasa
dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur

-----------------------. 1997. Kepengarangan dan Kepengayoman dalam Sastra Jawa.
Surabaya: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah Jawa Timur; serta dari
berbagai sumber lainnya.

NDHUK ANAKKU WADON

aming aminoedhin
NDHUK ANAKKU WADON

* mira aulia alamanda

ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
dadi wong wadon iku kudu
suci uni, suci rupi, lan suci ati

amarga donya wis menehi tandha
akeh wong wadon lambene bengak-bengok
akeh wong wadon matane plerak-plerok
akeh wong wadon aten-atene bosok
lungguh methothok mlaku ora ndedelok
kabeh iku aja mbok tiru, anakku

ndhuk, anakku wadon, delengen ing tawang ika
mbulan ora werna abang mbranang
lintang-lintang ora gelem gumebyar
lan srengenge kaya ngece-ece

mula iku omonga sing apik
dandana sing resik
mlakuwa sing becik
ing ngalam donya
ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
goleka dalan swarga liwat tetep madhep
lan manteb terus dhedhepe marang Gusti

Canggu, 2003