Minggu, 22 Februari 2009

aming, jadi editor buku puisi

BUNGA RAMPAI BUNGA PINGGIRAN
Antologi Puisi Parade Seni WR Soepratman ‘95
Diterbitkan Panitia Parade Seni WR Soepratman, 31 Mei 1995
Editor: Robin Al-Kautsar dan Aming Aminoedhin
Penyair dan Puisi yang termuat:
1. Akhudiat _ Surabaya Mengalir
-- Kau Di Siti
-- Sair Nuh
2. Aming Aminoedhin -- Perjalanan Kereta Api
-- Surabaya Musim Kemarau
-- Suara Risik
3. Anas Yusuf -- Menjelang Angin
-- Nocturno
-- Yang Terhormat Sepi
4. Arief B. Prasetyo – One for Lyla
-- Sejam Percakapan Dalam Sepi
-- Prosesi Abu: Coda
5. Beni Setia -- Akuarium
-- Memo Tatto
-- Ikan
6. D. Zawawi Imron – Sajak Bara
-- Meditasi Clurit
-- Pulang Dari Taman Pahlawan
7. Gatot Sukarman – Ia Bacakan
-- Wayang
-- Kuda Jantan Kuda Betina
8. Gimin Artekjursi -- Sejarah Kejahatan
-- Ode Sang Penyair
-- Airmata
9. Hardjono WS – Tutup Titip Tatap
-- Sajak Kotak-Kotak
-- Sajak Kaligreges
10. HU Mardiluhung --Anak Yang Kehilangan Masa Lalunya
-- Setelah Menari Bersama Para Wali
-- Sehabis Cinta: Kartun April 1995
11. L. Machali – Kota Malam
-- Perabot di Ruang Tunggu
-- Kornea
12. Luthfi Rahman – Menghafal Sejarah
-- Akuarium
-- Imaji Coreng Moreng
13. Machfoed Gembong – Genderang Setan
-- Ada Yang Teriak
-- Dalang-Dalang
14. Mh. Iskan – Malam Lingsir
-- Lembayung Bakung
-- Sangkrah
15. Mh. Zaelani Tammaka – Sketsa Perjalanan
-- Ritual Abad Kini
-- Pengembaraan Adam
16. Redi Paudju – Berita
` -- Gelisah Chao-Praya
-- Mereka Mentertawakan Kita
17. Robin Al-Kautsar – Sebuah Transparasi Untuk Seorang Aktor
-- Kita
-- Alam Benda
18. Rudi Isbandi – Keladi
-- Kanthil
-- Mawar
19. Saiful Hadjar – Surabaya Yang Kami Terima
-- Ambivalensi
-- Kampung Karangbulak
20. Keliek Eswe – Sungai Airmata
-- Matahari Meleleh di Kepalaku
-- Sajak Cinta
21. Surasono Rashar – Seutuhnya Penyair
-- Pusat Kedalaman Sungai
-- Di Dalam Air aku Bertemu Engkau
22. Tengsoe Tjahjono – Memburu Surabaya
-- Sonet Akar-Akar Pohon
-- Menatap Jakarta
23. Tjahjono Widarmanto – Dongeng Tentang Waktu
-- Aku Terus Saja Sunyi
-- Solilokui
24. Tjahjono Widijanto – Sketsa
-- Ahasveros
-- My the De Sysiphe
25. Tubagus Hidayatullah – Simfoni Tarhim
-- Doa Tobat Sang Penjahat
-- Neraka atau Surga
26. Turmedzi Djaka -- Hubb
-- Puisi Panas
-- Lukisan
27. Zoya Herawati – Sebilah Pisau
-- Lampu Kereta Yang pudar
-- Selamat Malam Tuan Nagai
28. Herry Lamongan – Rembulan Langit September
-- Hangat Usia
-- Rumah-Rumah Diam

ditulis kembali datanya oleh: Aming Aminoedhin
1 Desember 2008


OMONGA APA WAE
Kumpulan puisi dan geguritan
Diterbitkan Festival Cak durasim 2000 – Taman Budaya Jawa Timur – Oktober 2000
Editor: Aming Aminoedhin
Penyair dan Puisi Yang Termuat:

1. Eka Pradaning – Malam Itu Kekasih
 Kaliyuga
2. Tengsoe Tjahjono – Keroncong Lodeh Surabaya
 Wayang
3. Tjahjono Widarmanto – Nyanyian Brahmana
-- Peta-peta Yang terbakar di Bola Matamu
4. Sugeng Wiyadi – Omonga Apa Wae
-- Kanggo Kadang Penggurit
-- Eksposisi Togog
5. HU Mardiluhung – Obu 1999
6. W. Haryanto – Il Phenomenon
-- Seusai Telum Matahari
7. Tjahjono Widijanto – Narasi Tentang Hujan di Hari Kemerdekaan
-- Meditasi Warna
-- Notasi XXXIII
8. Aming Aminoedhin – Plaza-Plaza Itu
-- Nyanyian Kota
9. Syaf Anton WR – Padang Penyucian
-- Dendam Sejarah
10. RM Yunani Prawiranegara – Si Permisi Reformasi
11. Herry Lamongan – Jejak Lukisan
-- Sejuta Bayonet
12. Anas Yusuf – Seseorang Dengan Serulingnya Menyentuh Gununng
-- Tepi Timur
13. Roesdi-Zaki – Pertarungan Baru Dimulai
-- Kalimas
14. Hardjono WS – Sendyakalaning Palagan Kurusetra
15. Gatot Sukarman – Mari Kita Bicara
-- Bulan dan Malam
16. Widodo Basuki – Nyawang Praune Anakku
-- Kadurakan ing Kedung Srengenge
17. Akhudiat -- Saya Minta Maaf
18. Debora Indrisoewari – Anggrek Bulan
-- Bunga Mimpi
19. Beni Setia – Monster Hijau
-- Kesunyian Dalam Kepikukan
20. Surasono Rashar – Sajak Tentang Bunga
-- Aku Menggambar Wajahku
21. Sabrot D. Malioboro – Gang Bisu

ditulis kembali datanya oleh: aming aminoedhin, 1 desember 2008

TRILOGI TANAH
Kumpulan puisi: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, dan Aming Aminoedhin
Editor: Aming Aminoedhin
Kumpulan puisi sedang dalam proses pencetakan


Tanah Persada – 1

sajak-sajak mh. iskan -- 2
sebuah jendela terbuka pagi ini – 3
bersihkan bajumu – 4
di jalan-jalan tengah kota – 5
kepada penggali kubur – 7
jam berapakah ini – 9
sajak-sajak m. har harijadi -- 10
siang hari – 11
dengan puisi – 12
sebelum senja – 13
waktu ini: belum juga – 14
elegi – 15
bila hati sedang bergegar – 16
dimuka sriwedari – 17
sajak-sajak aming aminoedhin -- 18
selamat tinggal kota – 19
ujung batas – 20
waktu terbuang sia-sia – 22
larut malam kota ngawi – 23
denpasar pagi hari – 24
bali – 25
patung – 26
sajak kunang-kunang – 27


Tanah Kapur – 28
sajak-sajak mh. iskan -- 29
sawah – 30
aku mengerti tentang guraumu ang sepi – 31
gerbong – 34
tanganpun menggapai mega – 35
rumput-rumput bergoyang di tanah lapang – 37
ombak – 38
akrabnya biru langit di atas bukit –39
kakek di bawah flamboyant – 40
kamar pengantinku – 42
sepiku sepimu – 43
suling – 45
sajak-sajak m. har harijadi -- 47
sketsa sore – 48
malioboro – 49
musim hujan telah datang – 50
ibu dalam mangu – 51
sebelum patah hati – 52
pas patah hati – 53
setelah patah hati – 54
colt dini – 55
becak dini – 56
cuaca dini – 57
taman gayam – 58
di solo – 59
di ngawi – 60
di brosot – 61
jembatan merah – 62
kwatren bangun tidur – 63
dumplengan – 65
ngunengan – 66
sajak-sajak aming aminoedhin -- 67
batu bata – 68
stasiun balapan – 69
sajak tebu – 70
lima kuatren jalan tanjung – 71
penjaga palang rel kereta di jalan raya tengah kota – 72
betapa – 73
kota lama – 74
malam-malam di bangkalan – 75
bulan musim penghujan – 76
yang terpendam – 77
di bawah tower – 78
lanskap malam – 79
gerimis hujan –80
tanah kapur—81

Tanah Rengkah – 82

sajak-sajak mh. iskan – 83
langkah-langkah – 84
lewat jendela – 85
bukit batu – 86
malam melulur bagai ular – 88
teka-teki pagi – 89
sajak kapuk randu – 90
langgar di antara pokok-pokok jati – 91
sajak tengah malam – 92
sajak percakapan – 93
lagu sepanjang rel – 94
lembayung bakung – 95
barangkali – 96
kaliku kali jati – 97
sajak tembang kapur – 98


sajak-sajak m. har harijadi – 99
keputusan – 100
kantuk dini – 101
terminal dini – 102
perempuan dini – 103
musim hujan telah datang – 104
sebelum shalat – 105
sepanjang jalan raya – 106
mencipta sajak – 107
hotel di gunung bromo – 108
di puncak bromo – 109
dalam cahaya cuaca – 110
gedongtataan – 111
pringsewu – 112
sajak-sajak aming aminoedhin -- 113
sajak kunang-kunang – 114
fatamorgana – 115
antara desa dan kota – 116
meracunku tanpa daya – 117
bulan sabit – 118
kutoleh sekali lagi – 119
malam kian larut – 121
waktu adalah pedang – 122
mataku mata ikan – 123
februari hujan pagi – 124
di kota – 125
tanah rengkah I—127
tanah rengkah II – 129

ditulis kembali: aming aminoedhin
23 Februari 2009

Kamis, 19 Februari 2009

cak kandar, pelukis bulu

Cak Kandar Sang Pelukis Bulu
SOSOK UNIK YANG KREATIF
• Pernah dapat penghargaan Gubernur Jawa Timur
• Sangat gaul dengan seniman lainnya

Oleh: Aming Aminoedhin



Dua tahun lalu, tepatnya pada tanggal 7 Oktober 2004 lalu, bertempat di Gedung Negara Grahadi Surabaya, ia menerima penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur, H. Imam Utomo; bersama 9 seniman lainnya. Cak Kandar yang pernah sekolah pelayaran, dalam kegiatan ini mendapatkan penghargaan seni, sebagai penggerak kesenian.
Bicara soal arti penghargaan seni yang baru saja diterimanya, pelukis bulu asal Banyuurip Surabaya ini, dikatakan bahwa penghargaan baginya, adalah sebagai cermin agar mawas diri.
Tidak hanya kali ini ia dapat penghargaan, sebab ia pernah terima penghargaan lain, yaitu: Penghargaan dari Yayasan Harapan Kita (1992) atas pengabdiannya di TMII, Mall Taman Anggrek (1998) bersama WS Rendra, Hamsad Rangkuti dan Maruti, atas pengabdiannya pada kesenian. Lantas pernah juga dapat Penghargaan Kemitraan Lingkungan Hidup atas jasanya dalam pemanfaat limbah di tahun 1992.
Pelukis yang punya warna kesukaan putih ini mempunyai konsep hidup dan berkesenian, bahwa seni harus dihidupkan dan menghidupi senimannya. Maknanya spiritual dan material.

Siapa Cak Kandar?
Sosok pelukis yang selalu berpakaian putih-putih, dan suka menenteng tustel di pundaknya ini, memang sangat unik dan kreatif. Benarkah?
Pelukis yang awalnya lebih dikenal sebagai pelukis bulu ini, adalah kelahiran Surabaya, 17 Agustus 1948. Ia punya tiga orang anak dan satu istri, akunya. Dalam keunikan dan kreativitasnya berkesenian, ia pameran lukisan tidak di galeri tapi di RS Darmo Surabaya. Dalam pamerannya banyak dipamerkan gambar-gambar bunga dan kupu-kupu. Tapi dari semua lukisan yang diusung untuk dipamerkan kali ini, ternyata lukisannya yang menggunakan media bulu, memang tampak lebih menonjol dibanding lukisan cat minyaknya.
Tak heran! Karena Cak Kandar, pada awal karier melukisnya berawal dari pelukis bulu. Dan dia dapat predikat sebagai pelukis bulu oleh masyarakat. Sayangnya, sudah lama melukis dengan bulu sebagai bahannya, telah ia tanggalkan. Kini ia beralih ke lukisan cat minyat di atas kanvas.
Pelukis Surabaya yang kini berdomisili di Jakarta, tapi tetap malang-melintang di kota-kota besar di Indonesia, utamanya Surabaya; Cak Kandar adalah orang yang suka memotivasi pelukis lain. Dia suka membantu teman pelukis lainnya dengan menjualkan lukisannya. Mengenalkan pada kolektor-kolektor lukisan. Memprakasarsai pameran bersama pelukis lain, baik di Jakarta, Bandung, Yogya, dan Surabaya sendiri. Dialah pemrakarsa Pameran Gelar Akbar di Bank Duta (1990) yang melibatkan pelukis-pelukis Jawa Timur. Belakangan memprakarsai Pameran Lukisan Bersama Pelukis Jatim di Balai Kota Surabaya, dalam rangka Ultah Surabaya ke-710.
Cak Kandar juga salah satu pendiri Himpunan Pelukis Jakarta (HIPTA), dan Himpunan Pelukis Surabaya (HIPBAYA). Dia pula yang memprakarsai lahirnya Koempoel Art Foundations, dan sekaligus memamerkan lukisan-lukisan sang maestro Koempoel di Sheraton Hotel, beberapa waktu yang lalu.
Obsesinya, bahwa di kota Surabaya ini ada nama jalan Koempoel, karena dia sang maestro lukis kota Surabaya.

Yang Unik dan Kreatif dari Cak Kandar
Ada pertanyaan yang dilontarkan seorang seniman kepada seniman lainnya, ketika ditanya, “Apakah you sudah bezuk Cak Kandar di RS Darmo?”
Jawabannya, “Belum!” dan dilanjutkan kalimat pertanyaan lainya, “Apakah Cak Kandar sakit?”
Lalu seniman itu tertawa ngakak. Soalnya, yang dimaksud bezuk dalam kalimat pertanyaan tersebut adalah nonton pameran lukisannya Cak Kandar. Sebab waktu itu, Cak Kandar sedang menggelar pameran di Auditorium Rumah Sakit Darmo Suranaya, Jalan Raya Darmo 90 Surabaya; dari tanggal 6 s.d. 14 Oktober 2004 lalu.
Barangkali ini sebuah fenomena menarik dari sebuah pameran lukisan. Dan sebuah fenomena baru yang diusung Cak Kandar di pentas pameran lukisan di Surabaya.
Dulu, sekitar tahun 1960-1970-an, ketika para pelukis belum pernah menggelar pameran lukisan di hotel, dia telah memulainya pameran lukisan di hotel. Sekarang ini, ketika para pelukis belum pernah pameran lukisan di Rumah Sakit, ia memulainya dengan menggelar di RS Darmo Surabaya. Sebuah Rumah Sakit yang terletak di jantung kota Surabaya.
Banyak yang berceloteh minor terhadapnya, tapi Cak Kandar tetap saja melaku-kan pameran lukisan di sana. Konsepnya adalah bahwa lukisan bisa dijadikan terapi bagi si sakit. Tak urung CEO-nya Rumah Sakit Darmo, Prof. Dr.dr. Soedijono,Sp. THT, perlu menyempatkan membuka pameran lukisan yang berkonsep lukisan atau karya seni bisa dijadikan terapi sakit. Apa lagi coba? Bahkan pameran lukisan ini digelar saat kota Surabaya sedang menggelar Festival Budaya Jatim 2004, yang mana ia adalah satu seniman yang turut mendapatkan penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur.
Waktu itu lukisan yang dipamerkan ada sekitar 51 lukisan, baik yang bermedia cat minyak dan media bulu.
Inilah fenomena Cak Kandar di Surabaya.
Ada lagi yang aneh dari Cak Kandar, baru-baru ini, ia melukis bersama orang-orang yang sakit gila di RSJ Menur Surabaya.
Dengan para seniman dia sangat welcome jika diajak bicara kesenian. Tidak hanya para pelukis, tapi juga sastrawan, penari, teatrawan dan bahkan seniman tradisi; seperti ludruk dan tayup. Ia tak segan ikut nimbrung tayuban ketika digelar tayuban di Taman Budaya Jawa Timur, beberapa waktu yang lalu.
Dalam setiap pembicaraannya, dia selalu memberikan semangat berkesenian kepada lawan bicaranya. Bahkan sering kali memberi motivator, tidak hanya kritik dan saran, akan tetapi juga dana berupa uang.
Itulah profil sosok sang pelukis bulu Cak Kandar. Seni, tandasnya meyakinkan, haruslah dihidupkan sekaligus menghidupi senimannya. Mengapa tidak? (aa)*****


Desaku Canggu, 22/6/2006

biodata akhudiat

Akhudiat
SOSOK SASTRAWAN YANG DRAMAWAN
Oleh: Aming Aminoedhin


bencana dan keberuntungan silih berganti
jangan menangis, indonesia

malang dan mujur silih berganti
jangan menangis, indonesia

kejayaan dan keruntuhan silih berganti
jangan menangis, indonesia

manis dan pahit
susah dan senang
sakit dan bahagia
lapar dan kenyang
silih berganti
jangan menangis, indonesia

tak ada puasa terus-menerus
tak ada pesta terus-menerus

pesta akan ditagih ongkos kenikmatan
puasa akan temukan hari lebaran

jangan menangis, indonesia
tawa dan tangis silih berganti




Puisi di atas adalah puisi Akhudiat, yang termuat di antologi puisi dan geguritan ‘Malsasa’ 2005, dengan judul ‘Jangan Menangis Indonesia. Ia tidak hanya menulis puisi dan cerpen, sebagai sastrawan; tapi juga menulis naskah drama dan kerapkali memenangkan di tingkat nasional.
Diat, demikian nama panggilannya. Akhudiat, lahir di Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, pada tanggal 5 Mei 1946. Ayahnya, Akwan (lahir tahun 1925), adalah seorang petani yang tekun di desa Karanganyar, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan ibunya, bernama Musarapah (kelahiran tahun 1930).
Menikah dengan Mulyani pada tanggal 4 November 1974. Bersama istrinya ini, Akhudiat, mempunyai tiga anak, yaitu: Ayesha Mutiara Diat (perempuan, lahir tahun 1975), Andre Muhammad Diat (laki-laki, lahir tahun 1976), dan Yasmin Fitrida Diat (perempuan, lahir tahun 1978).
Bersama keluarganya, sekarang Akhudiat beralamat di Jalan Gayungan PTT 51-E Surabaya. Budaya pesantren yang kental dan dikenal oleh Diat sejak kecil, membentuk pribadi seorang Akhudiat yang bersahaja.

Sekolah dan Bekerja
Sekolah awalnya, Diat memasuki Sekolah Rakyat (SR) Rogojampi, Banyuwangi dan lulus pada tahun 1958. Setelah itu, dengan penghasilan dari sawah dan kebun kelapa warisan kakek-nenek, ia melanjutkan sekolah di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) IV Jember. Di sekolah ini, Diat lulus tahun 1962. Dari PGAPN Jember, Akhudiat melanjutkan sekolah di PGAA Malang. Hal tersebut dilakukannya sambil mengajar di beberapa SMP/SMA, serta madrasah tsanawiyah/aliyah. Selepas itu, Diat belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) III Yogyakarta, dan mengantongi ijazah tahun 1965. Tidak hanya itu, pada sekitar tahun 1972—1973, Akhudiat, pernah kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS), namun tidak diselesaikannya.
Akhudiat juga ikut kursus Bahasa Inggris di Lembaga Indonesia Amerika (LIA) Jalan Dr. Soetomo Surabaya, hingga tingkat advance. Gelar sarjananya didapatkan pada tahun 1992 dari Universitas Terbuka (UT) Fakultas Ilmu Sosial (FISIPOL). Sebagai seorang sastrawan, Akhudiat, tidak hanya sekolah formal seperti tersebut di atas, tapi juga mengikuti: International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, USA, pada tahun 1975.
Sewaktu masih sekolah di PGAA Malang, Diat pernah mengajar di beberapa SMP/SMA, Madrasah Tsanawiyah/Aliyah. Menurut catatan Akhudiat, bahwa lulusan SHD (Sekolah Hakim Djaksa) akan menjadi panitera pengadilan negeri, sedangan lulusan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) akan menjadi panitera pengadilan agama. Tapi apa yang terjadi? Akhudiat, yang lulusan PHIN Yogyakarta itu, mendapatkan Surat Keputusan Menteri Agama RI yang berisi pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil di Kantor Pusat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, sejak tahun 1970. Jabatan terakhir yang disandang Akhudiat adalah Kepala Bagian Kemahasiswaan, Kantor Pusat IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan pensiun pada tahun 2002. Setelah pensiun, sejak tahun 2002 hingga sekarang ini, ia menjadi Dosen Luar Biasa pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Aktivitas dalam dunia seni dan budaya, utamanya sastra dan teater, mengantarkan Akhudiat untuk dapat kepercayaan menjabat sebagai Komite Sastra dan Teater pada Dewan Kesenian Surabaya tahun 1972—1982. Pada tahun yang sama (1972—1982) sebagai sutradara dan penulis naskah teater di komunitas Bengkel Muda Surabaya (BMS). Jabatan lainnya, ia anggota pleno di Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), dari tahun 1999 hingga sekarang. Menjabat sebagai steering committee Festival Seni Surabaya (FSS) dari tahun 2000 hingga sekarang.

Dunia Sastra
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa Akhudiat adalah anak desa yang lahir di Rogojampi, Banyuwangi. Sejak masih sekolah di tingkat Sekolah Rakyat (SR) —sekarang Sekolah Dasar (SD)— ia sudah sangat gemar membaca. Segala buku dibacanya, dari bacaan komik Gareng-Petruk, hingga ensiklopedia kesehatan.
Menarik sekali, ketika di depan sekolahnya terdapat kedai/toko buku yang sekaligus merangkap agen koran dan majalah; sehingga Akhudiat kecil bisa mengintip/mencuri-curi baca saat istirahat sekolah. Bahkan di rumah Pakdenya yang Jururawat, banyak sekali tumpukan koran dan majalah terbitan Surabaya dan Yogya, sehingga ia dengan leluasa bisa membacanya. Diantaranya ada Minggu Pagi (Yogya), Terang Bulan (Surabaya), serta buku-buku tebal tentang kesehatan. Di rumah pamannya yang lain, bernama Paman Ahim, Akhudiat, membaca majalah Indian Film (Surabaya), lantas di rumah Guru Rasad membaca habis majalah Wijaya (Surabaya), buku-buku serial Naga Mas (Surabaya), dan Serikat 17 (Jakarta). Di rumah teman mainnya yang terbuka siang dan malam, Diat bisa membaca habis konik Mahabarata dan Ramayana karya Kosasih.
Menurut pengakuan Akhudiat, buku yang sangat menarik perhatiannya sewaktu usia SR adalah buku-buku karya Motinggo Bosye (1937—1999) pada koran Minggu Pagi, dan Supriyadi Tomodihardjo (kini di Belanda) pada koran Terompet Masyarakat.
Selain bacaan yang banyak, kepekaan Diat diperkaya juga dengan pengalaman masa kecilnya yang suka menonton bioskop, sandiwara keliling berbahasa Indonesia, seperti: Bintang Surabaya, Gema Masa, Kintamani, Opera Melayu, Ketoprak, Wayang Orang, dan Ludruk. Dia, Akhudiat, juga menonton Kentrung Trenggalek, Rengganis, yakni sejenis wayang menak dengan tokoh Amir Ambyah, Umarmoyo, Umarmadi, Putri, China, Jin Baghdad, Lamdahur. Tidak itu saja, ia menonton juga Orkes Melayu, Wayang Potehi, Sandiwara Misri, dan banyak lagi. Itulah yang kemudian menjadikan Akhudiat kaya referensi tentang seni dan budaya, dan bahkan ia bisa menulis cerpen, puisi, dan naskah drama.
Sewaktu masih di Yogyakarta, sekitar tahun 1962—1965, ia lebih sering keluyuran ke perpustakaan, toko-toko buku, pasar loak buku, melihat pementasan drama dan pameran lukisan. Lukisan yang paling ia sukai adalah karya Isnaeni, pelukis Sanggar Bambu yang selalu memakai celana pendek. Pementasan drama yang pernah ia saksikan dan masih berkesan adalah Iblis (Mohammad Diponegoro), Setan-setan Tua (Arifin C. Noer), Hai yang di Luar Itu (terjemahan William Saroyan) yang dimainkan mahasiswa UGM, dengan sutradara WS Rendra, sebelum berangkat ke New York, Amerika Serikat.

Akhudiat juga mengaku pernah ikut kursus akting di Teater Muslim pimpinan Mohamad Diponegoro dan juga berguru pada teater milik Arifien C. Noer. Menurut pengakuannya, Yogyakarta merupakan kota yang membekalinya dengan kosakata teater. Ucapan Arifien C. Noer yang selalu dia ingat adalah, “Bacalah naskah drama, pelajari dialog-dialognya, kamu akan bisa menulis naskah sendiri.”
Sejak saat itu, Akhudiat ingin belajar menulis drama dengan langsung belajar dari naskah jadi yang dipunyainya. Di samping itu, ia juga belajar dengan cara membaca naskah, seperti Malam Jahanam (tragedi), Nyonya dan Nyonya (farce-play, banyolan), Iblis, Timadar, dan banyak lagi.
Di kampungnya sendiri, Rogojampi, ia mengaku pernah mementaskan drama Jebakan Maut (sayang, ia lupa nama pengarangnya), dan Akhudiat bahkan jadi aktor, yang berperan sebagai dokter, dengan menutup lakon dengan teriakan’ “Vox populi vox Dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan.)

Tulisan pertama Akhudiat adalah tentang Markeso, seorang aktor tunggal “Ludruk Garingan”. Markeso merupakan tokoh kunci dalam kesenian khas Jawa Timur Ludruk. Tulisan Akhudiat tentang hal itu termuat di Surabaya Post tahun 1970. Pada saat itu, Akhudiat menerima honorarium sebesar Rp100,00 (Seratus Rupiah) untuk tulisannya itu.
Melihat drama sampai pada tahun 1970 dalam format prosenium, baik dalam pementasan Malam Jahanam, Pinang (Chekov), Citra (Usmar Ismail), Taman (Iwan Simatupang), atau Sendyakalaning Majapahit (Armijn Pane), Akhudiat beranggapan bahwa panggung prosenium mengangankan bingkai pada gambar dua dimensi yang tampak depan, samping (profil), dan satu fokus utama. Gambar atau adegan itu meniru alam atau dunia di luar panggung. Maka kita biasanya sangat akrab dengan adegan yang ada di panggung seperti suasana di dalam rumah dengan segala perlengkapan perabotannya, atau adegan hutan, jalan, pantai, taman, dengan layar scenery dan para pelaku duduk-duduk atau jejer wayang dalam melakoni nasibnya. Menurut Diat, panggung indah dan rapi begini sudah berlangsung sejak era Stamboel atau Opera Melayu. Ini masih bisa dilihat turunannya pada panggung Srimulat, Ketoprak, atau Ludruk.
Melihat “drama” semacam itu, Akhudiat beranggapan kurang imajinatif, kurang “liar”, dan terlalu “diatur”. Menyikapi hal tersebut, bersama komunitas Bengkel Muda Surabaya, Akhudiat menawarkan panggung yang lain, yaitu “panggung kosong”.
Dunia panggung adalah dunia imajiner, make-believe, pura-pura, rekaan, mungkin tiruan alam luar panggung, mungkin juga tidak. Bisa berasal dari mana pun: gagasan sejarah, pengalaman, peristiwa sehari-hari, berita/artikel, mimpi, bahkan pure nothing, diraih dari angin. Maka muncullah di panggung, orang atau barang, baik sebagai pelaku/pelakon atau properti/alat bermain. Semuanya berubah, bergerak, berombak, berirama, berganti, bertukar, berkeliaran, bahkan berontak, menjadi lakon. Maka adegan-adegannya dominan out-door/exterior. Beberapa lakon awal saya juluki dengan “teater jalanan.” Bisa main di dalam gedung, taman, lapangan, halaman, pendapa, arena, atau di mana saja.
Dengan pikiran “teater jalanan” Diat mendapat gagasan ketika sering ketemu corat-coret (graffiti, tunggal: graffito) berupa tulisan atau cukilan di tembok, pohon, batu, bangku, gardu, halte, stasiun, terminal, tempat wisata, atau di mana pun, yang hanya berisi dua nama, pemuda dan pemudi yang sedang bercinta. Pesan singkat ini tentu mengandung kisah panjang di baliknya. Coretan atau “Grafito” kemudian dijadikan judul naskah dramanya.
Grafito yang ditulis tahun 1972 ini berkisah tentang dua remaja, Ayesha dan Limbo, ketemu di jalanan. Keduanya adalah pemimpin geng yang terlibat dalam kisah love/hate, cinta/benci. Ini merupakan sebuah konflik. Untuk menambah derajat konflik lebih berbelit dan tegang, maka saya imbuhi: pemuda Limbo beragama Katolik, Ayesha seorang Muslimah. Dua geng bisa akur, kedua pemimpin bersetuju nikah, tapi Kyai dan Pastur tidak mau kompromi dan ambil resiko. Mereka cari-cari solusi: perkawinan teatrikal di tengah lapangan dengan ritus sesajen, mendatangkan Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya dari Kerajaan Kayangan atau langit. Jadilah kemudian sebuah perkawinan teater. Dan ini merupakan sebuah parodi. Pada tahun 1973, puisinya berjudul Gerbong-gerbong Tua Pasar Senen, mendapat juara II Lomba Penulisan Puisi versi Dewan Kesenian Surabaya.
Tulisan naskah drama lainnya adalah Jaka Tarub dan Rumah Tak Beratap, yang memenangkan lomba naskah drama versi Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1974. Lantas naskah drama yang ia tuliskan adalah Bui (1975) dan RE (1977).
Di samping menulis naskah drama, artikel, dan esai, Diat juga menulis puisi, cerpen, dan terjemahan apa saja dari bahasa Inggris. Karangan terjemahan Akhudiat adalah: Fred – Sherwood Anderson, yang kemudian diubah berjudul Kematian di dalam Hutan. Sumur-Agusto Cespedes, Model- Bernard Malamud, Apotek – Anton Chekov, Kisah Pohon Abu – Peter Handke, Benang Laba-laba – Ryanusuke Akutagawa, Pusat Teater Internasional Peter Brook, Raja Ubu – Alfred Jarry, Jalan Tembakau – Erskine Caldwell.
Terakhir Diat menerjemahkan drama absurd, “Drama tentang Drama” tulisan Samuel Beckett, yaitu Katastrof dari New Yorker, dengan sub-titel Untuk Vaclav Havel, Sastrawan, Presiden Ceko. Salah satu cerpen Diat berulang kali disiarkan adalah “New York Sesudah Tengah Malam”, pertama kali dimuat di Majalah Horison, Oktober 1984. Karya tersebut diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Dede Oetomo, dosen Unair Surabaya, dengan New York After Midninght, dan dijadikan judul buku kumpulan sebelas cerpen Indonesia dari 11 cerpenis, merujuk pengalaman tinggal di Amerika Serikat serta pandangan mereka tentang Amerika. Buku tersebut disunting oleh Satyagraha Hoerip (Oyik), diterbitkan Executive Committee, Festival of Indonesia, USA, 1990-1991. Diterjemahkan lagi oleh John H. McGlynn, New York After Midninght, dimasukkan dalam kumpulan puisi, cerpen, dan esai tentang New York setelah mengalami tragedi 11 September 2001. Disunting McGlynn, diterbitkan Lontar, Jakarta, 2001, tiga bulan sesudah tragedi. Terjemahan McGlynn ini dimuat oleh majalah Persimmon, Asian Literature, Art and Culture, Volume III, November 1, Spring 2002, diterbitkan Contemporary Asian Culture, New York. Cerpen New York After Midninght berkisah tentang tiga kota: Jember 1960, New Yok 1975, dan Surabaya 1983, lewat dia narator mengalami semacam dejavu, hadir di suatu tempat atau situasi pertama kali tapi terasa sudah pernah hadir atau mengalami sebelumnya.
Menonton konser jazz lima Negro di PPIA Surabaya, seperti yang dialami ketika menonton grup Black Theatre Ensemble mementaskan jazz, tari, drama dengan tajuk Hi, I Can Cope di Village Theatre, Greenich Village, New York. Penari tunggal, lelaki hitam gundul, berkeringat, cuma bercawat, pada pembukaan dan penutup teater ensemble, terbayang penari Sardono W. Kusumo, imaji kelahiran manusia pertama yang purba. “Petualangan” dibawa lari subway dari bawah trotoar Jalan Kedelapan di Village, bagian selatan New York, sampai Jalan Keseratus Tiga Puluh Lima, di Harlem, bagian utara, adalah perwujudan dari pembacaannya ketika di Jember, di majalah Life, esai foto tentang penumpang sendirian di subway bertajuk New York After Midninght.
Dejavu yang pernah Akhudiat alami, ketika pertama kali di Wonokromo, jalan raya dari persilangan rel di selatan ke arah Kebun Binatang di utara tepian timurnya dilewati rel untuk gerbong langsir dari Stasiun Wonokromo ke Stasiun Trem Uap Wonokromo Ujung Perak. Jalan raya tengah kota dengan rel kereta api ini pernah Diat lihat (dalam mimpi) semasa masih di Yogya. (m. amir tohar).

Rabu, 18 Februari 2009

komitmen tribroto ws

Komitmen Tribroto WS:
KI@T MENGHIDUPKAN THR SURABAYA

• perlu membuat ‘kampoeng seni’ thr surabaya
• perlu sinergi pengelola dan komunitas-komunitas kesenian se jatim
• pertunjukan seni tradisi (ludruk, srimulat, wayang, ketoprak) secara kontinyu


Mengkondisikan Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya agar dapat hidup kembali perlu adanya kiat. dan terobosan yang mampu mendobrak kondisi yang ada. Kalau dicermati tata letak dan kondisi saat ini, maka pertama-tama yang perlu dibedah adalah brand image-nya. THR Surabaya yang konon sebagai Taman Hiburan Rakyat di era tahun 1960-an, tentu saja tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi saat ini, tempat itu sudah tidak cocok lagi menjadi taman hiburan, tetapi akan lebih berhasil bila mengedepankan sebuah aktivitas seni dan budaya. Sedangkan kegiatan seni dan budaya itu sendiri juga mengandung unsur hiburan. Dan sangat kebetulan sekali bahwa Kota Surabaya sebagai kota metropolis belum mempunyai pusat kebudayaan, atau “kampoeng seni”, hal ini sangat penting karena pembangunan rohani, sikap, mental dan prilaku berbudaya melalui kesenian juga merupakan penyeimbang pembangunan pada sektor non-fisik yang patut menjadi catatan penting dalam pembangunan kota ini yang secara fisik sudah cukup berlimpah.
Secara simple, pemikiran terhadap upaya menghidupkan “kampoeng seni” THR Surabaya ini sangat tidak sulit, pertama-tama yang sangat penting adalah adanya komitmen dan keinginan untuk maju bersama antara pihak pengelola, dan komunitas kesenian, sebagai bagian dari kehidupan kota Surabaya. Kedua adalah adanya kegiatan pertunjukan yang bersifat regular, yaitu Ludruk, Wayang, Ketoprak, Srimulat, yang merupakan produk bersejarah yang menjadikan ciri pusat kesenian. Bila kegiatannya diselenggarakan sekali dalam satu minggu, maka dalam satu tahun ada 54 kegiatan pertunjukan seni tradisi yang disubsidi oleh Pemerintah Daerah. Akan lebih hebat apabila berbagai kegiatan kesenian lainnya seperti: sastra/geguritan, seni rupa/lukis, musik/karawitan, juga terfasilitasi meskipun diprogram secara insidentil, tetapi harus jelas capaiannya. Melalui ini semua akan mengkondisikan arek Surabaya untuk dapatnya berkreasi dan berapresiasi seni mengeksplorasi keindahan sebagai salah satu wujud pengalaman batin. Apabila kerangka dasar “kampoeng seni” samacam ini dapat berjalan, maka Kota Surabaya akan menjadi sangat hebat, jika tak boleh dikatakan sebagai ‘dahsyat’.
Sebenarnya potensi kesenimanan di Surabaya ini sangat luar biasa, sayang mereka selama ini tidak terfasilitasi, secara moral maupun finansial. Oleh karena itu apabila Surabaya dapat mewujudkan “kampoeng seni” sebagai salah satu tempat mangkalnya para warga Surabaya untuk berkesenian. Hal ini adalah hal yang patut diperjuangkan, disadari bersama, dan dipahami secara mendalam atas realita kebutuhannya. Memang tidak semuanya harus dituntut dengan target PAD. Sehingga tiket masuk lokasi juga bisa dibebaskan, sedangkan penggalangan PAD dari sewa stand/kios dan fasilitas gedung. Sedangkan penggunaan gedung itu pun, juga perlu keberanian untuk menggunakan sistem subsidi silang. Artinya, ada yang diberikan fasillitas secara penuh (gratis sewa gedung), ada kegiatan yang harus sewa.
Untuk penerapan strategi ini memang diperlukan wawasan budaya yang mengacu pada kepentingan pembangunan masyarakat berbudaya yang lebih ke depan. Prospek apa yang bisa diberikan kepada masyarakat ditengah-tengah pembangunan ekonomi yang terus menukik ini, tidak lain adalah sebuah harapan, cita-cita di sektor seni dan budaya yang mampu membuka peluang bagi masyarakat untuk dapat menikmati pembangunan keindahan.
Sejak Januari 2008, kerjasama dengan berbagai komunitas telah dijalin dan beberapa komunitas di antaranya telah mewujudkan action-nya, antara lain : komunitas musik indie “Surabaya Bergerak” oleh Nendi, komunitas musik indie “Trendy Bangsat” oleh Effendi, Latihan Bersama Musik Band “Lentera United”, Forum Sastra Bersama Surabaya oleh Aming Aminoedhin, komunitas dance-street, latihan tari oleh Si Wrahat Nala, latihan melukis oleh Sanggar Palem, latihan burung berkicau oleh Komunitas Suramadu, Komunitas oi (orang Indonesia), maupun komunitas musik perkusi.
Beberapa waktu yang lalu telah juga menyelenggarakan kegiatan pentas teater oleh Teater Gress dan komunitas teater dari Lamongan. Pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember, komunitas Sawunggaling juga menyelenggarakan malam musik kepahlawanan.
Ke depan sudah ada yang mengajak kerjasama untuk menyelenggarakan event antara lain: oleh PASBI (Paguyuban Seni Budaya Indonesia), Log’in Production, Latihan musik perkusi oleh Suwandi dkk.
Wajah baru di tahun 2009 yang akan masuk lagi sedang dalam persiapan adalah kelompok tari Take d’Dance, Perguruan Pencaksilat “Perisai Diri”.
Nah.. kalau kita perhatikan perkembangan tersebut di atas, ini sudah menunjukkan adanya take and give antara Pemerintah dengan komunitas kesenian di Surabaya. Semoga saja untuk memfasilitasi seni pertunjukan seni tradisi pada tahun 2009, masih dapat kepedulian, sehingga mereka tetap dapat bisa bermain dengan disubsidi, pada setiap seminggu sekali. Karena pertunjukan seni tradisi ini memang sangat memerlukan perhatian khusus dalam upaya pelestarian dan pengembangannya. Karena sejak Januari 2008 tontonan tradisi tersebut rata-rata menyerap penonton minimal 100 orang, tidak benar bila ada pihak yang meng-issue-kan bahwa pertunjukan seni tradisi di THR hanya ditonton oleh tujuh orang. yaitu komunitas dari dalam THR sendiri. Padahal yang benar di antara penonton tersebut, mereka ada yang rumahnya di Mojokerto, Krian, dan Sidoarjo. Sementara itu para seniman juga kami harapkan mengadakan regenerasi, agar kelak tradisi kesenian mereka tetap dapat dipertahankan dan menjadi sumber inspirasi dalam proses kreatif.
Dengan demikian untuk mewujudkan THR Surabaya sebagai “kampoeng seni” yang mempunyai karakteristik tersendiri, memang memerlukan pendekatan budaya yang lebih konsisten, pemikiran yang positif dan upaya maksimal, terutama pendekatan nuansa ketradisian yang lebih kental. Sehingga dapat mewujudkan pusat-pusat kesenian di Surabaya yang bermacam ragamnya, di THR Surabaya lebih didominasi oleh nuansa ketradisiannya, di Balai Pemuda didominasi oleh nuansa kesenian showbiz, di Pantai Kenjeran didominasi oleh nuansa pantai, di kompleks masjid Ampel didominasi oleh nuansa religi Islami, di Taman Prestasi ada wisata perahu. Kalau pendekatan keragaman dan spesifikasi budaya seperti ini dapat terkondisi, maka hal itu, baru dapat dikatakan Surabaya memiliki kekayaan objek wisata yang beragam. Bukankah hal ini akan menjadi luar biasa. Dahsyat barangkali?
Untuk pintu masuk ke THR Surabaya yang selama ini dikeluhkan oleh pengunjung, sedang kami koordinasikan dengan pihak Hi-Tech Mall, dan sudah ada respon positif. Mudah-mudahan segera ada realisasi renovasi. Karena hal ini sangat penting, tidak hanya untuk THR Surabaya, tetapi termasuk kesan kenyamanan melewati lokasi Hi-Tech Mall Surabaya.
Sekali lagi ini komitmen saya guna menumbuhkembangkan THR Surabaya! Semoga ada respons positif dari Pemerintah, dan juga pihak-pihak sponsorship. Mari kita benahi THR Surabaya!

Surabaya, 29 Desember 2009
Narasumber,
Tribroto Ws, Kepala UPTD THR Surabaya
tri.brotows@gmail.com

syair nyanyian leo kristi

Salam dari Desa
nyanyian leo kristi


kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
katakan padanya padi-padi telah kembang
ani-ani seluas padang roda giling berputar putar
siang malam tapi bukan kami punya

kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
katakan padanya tebu-tebu telah kembang
putih-putih seluas padang
roda lori berputar –putar siang malam
tapi bukan kami punya

anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
nyanyi-nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung
anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
nyanyi-nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya

tanah pusaka tanah yang kaya
tumpah darahku di sana kuberdiri
di sana kumengabdi dan mati
dalam cinta yang suci

kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
katakan padanya nasi tumbuk telah masak
kan kutunggu sepanjang hari
kita makan bersama-sama berbincang-bincang
di gubuk sudut dari desa
di gubuk sudut dari desa
di gubuk sudut dari desa

ditulis kembali aming aminoedhin
19 januari 2009


Lewat Kiara Condong
nyanyian leo kristi


lewat Kiara Condong kereta laju
panorama di sana memaksa ku tersenyum
bocah bocah tak berbaju
berlari-lari disepanjang tepi
di setiap detak roda yang kelima
bergerombol bocah-bocah

bermain gundu kudaku lepas
mengejar layang sampai ke awan
bermain gundu kudaku lepas
mengejar layang sampai ke awan

oh... bilakah mereka mainkan buku
dan pena di tangan?

lewat Kiara Condong kereta laju
seorang gadis telanjang dada
basah rambutnya berkeramas
sempat kulihat tisik kainnya
dibalik dinding bambu
reyot dan tak beratap

ketika lewat Kiara Condong
matahari tidur…dibalik gunung
ketika lewat Kiara Condong
tuan-tuan tidur di sejuk gunung



ditulis kembali aming aminoedhin
19 januari 2009


Hati Muda Ley Ley
nyanyian leo kristi

riuh di terminal bis malam
seorang gadis gelandangan
menangis tersedu di sudut
gagal mencuri nasi
sedang di belakangku
seorang bocah merengek-rengek
sambil melemparkan kulit coklat
ke segala sudut

campur berisik suara kaset yang merengek-rengek
..uhhh pusingnya…

hujan lebat lewat bus malam
di sisi cikar-cikar sayup
dengan percik lumpur jalanan
dalam jaket tua yang lemah
kududuk di sisi pak sopir
dengan mata burung hantu malam

bersama hilangnya bayangmu
bis malamku tiba
lai loley ley lai loley lai loley ley
oleiyo ooooo..
lai loley ley lai loley lai loley ley
oleiyo ooooo

sepi di terminal bis malam
lampu lampu neon telah padam
ketika kutersandar letih
sesekali suara memaki
senda gurau menjelang pagi
membuat hati resah berahi
senyum yang kucari tiada jumpa
betapa rinduku….

hati muda ley ley
hati muda ley ley
hati muda ley ley
hmmmmmm……

ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009


Roda Pedati
nyanyian leo kristi


roda pedati telah menunggu
selamat tinggal
salam bagimu cinta dan doa adik
cakrawala langit biru tidurku

roda pedati malam sepi ini
dingin beku
salam bagimu cinta dan doa adikku


ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009



Kereta Laju

nyanyian leo kristi

kereta melaju berlari
di atas kopor ku angkat kaki
serasa melayang serasa terbang
senyumku terkembang walau kusendiri

bawalah aku cepat berlari
bawalah aku jauh-jauh pergi

ai ai ai ai
kum bam ba kum ba kum bam ba kum ba
aahhhhh….


ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009


Langit Makin Merah-Hitam

nyanyian leo kristi

dia saudaraku
dia saudaraku
bernyanyi riang di ufuk fajar
dalam ytidur senyap ini
bersama nya bunga-bunga
dengan tiga butir peluru di dada.
di dada…

hai kaihoro..

dia saudaraku
dia saudaraku
yang kini menang kedamaian
tertelungkup atas salib
di depan altar suci
dengan tiga butir peluru di dada
di dada..

langit makin merah hitam
langit makin merah hitam
merah hitam , hitam merah , hitam

dia saudaraku
dia saudaraku
terlentang di padang kunang-kunang
bongkah tanah di genggamnya
tanah air yang tercinta
dengan tiga butir peluru di dada
hai kaihoro..

langit makin merah hitam
langit makin merah hitam
merah hitam , hitam merah , hitam


ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009


Jabat Tangan Erat-Erat Saudaraku

nyanyian leo kristi

lihatlah layar layar terkembang di laut
panji –panji merah dan putih turun senja
kini tiba saatnya nyalakan bara hati
angin bertiup semakin dingin
di simpang-simpang gelap
lentera-lentara jalan tak mengenal dirinya lagi

kalau cermin tak lagi punya arti
pecahkan berkeping-keping
kita berkaca di riak gelombang
dan sebut satu kata : hakku !

jabat tangan erat-erat
jabat tangan erat-erat
jabat tangan erat-erat
saudaraku!
saudaraku!
saudaraku!

ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009

Di atas Sukapura 2
nyanyian leo kristi

oh dusunku ,oh dusunku
akan lama kutinggalkan dirimu
selamat tinggal gadis manis
tak kulupa hangat tubuhmu

sunyi…
pagi ini aku melangkah
dinginnya pagi tak terasa
lalalalala…

bukit…bukit…
betapa indah warna rona
di sela-sela kabut putih

gunung gunung biru kurindu…

ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009


Nyanyian Pantai
nyanyian leo kristi

tepian pantai serakan lokan
angin laut yang bertiup
deburan ombak suara pekik bangau
sinar surya memeluk pantai
sinar surya pagi

kulihat camar-camar
kulihat layar-layar
di batas cakrawala
bersama mengalunkan
simfoni kedamaian
hu…….. kedamaian!
Laila….ila….la…. kedamaian


ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009


Laut Lepas Kita Pergi
nyanyian leo Kristi

angin sepoi ……….
angin sepoi………..
layar-layar di dermaga
telah tumbuh telah tumbuh

tegukkan cangkir kopi terakhir
senja ini senja ini
kemarin hanya mimpi
diteluh tangan sakti
aku tak mengerti
gelapnya dunia ini
hingga hari yang sepi
kuterjaga dari mimpi

layar-layar di dermaga
telah tumbuh telah tumbuh
apa lagi kau tangisi
ucapkanlah selamat tinggal
hari kemarin
ke laut lepas kita pergi

hu….hu….hu….. hu….
ai…ai…..ai…..ai……
kemarin hanya mimpi
diteluh tangan sakti
aku tak mengerti
gelapnya dunia ini
hingga hari yang sepi
kuterjaga dari mimpi


ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009


Jerami
nyanyian leo Kristi

rumput jerami tepi dangau
jadi istana malam ini
dijalin tangan ku dan dia
sepanjang malam purnama

petikan kecapi dan tembang sunyi
sayup seiring berahi
di sini siang hari berjajar tangis
dengan ani-ani dan nyanyi

lai lai lai lai lai lai
lai lai lai lai lai lai
ani ani nyanyi nyanyi
ani ani dan nyanyi

mata tertutup rambutku kukusut
sepanjang malam jerami

lai lai lai lai lai lai

ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009