aming aminoedhin
SURABAYA I*
pasar kini telah berubah di sini
pasar adalah lampu-lampu iklan
di mana dagangan ditawarkan
lewat lampu-lampu iklan
yang gemerlap tinggi mencuat
aku hanya bisa nelangsa menatap
orang-orang dimuntahkan oleh bis-kota
dan plaza-plaza bertingkat, dan
di kemudian hari ditelan kembali
dengan jumlah dan hitungan kian sarat
plaza-plaza bertingkat
kian semakin padat pengunjung
rumah-rumah ibadat
semakin kehilangan juntrung
oleh penghujung
lupakah mereka?
Itulah soalnya aku bertanya
Surabaya, 1986
aming aminoedhin
SURABAYA II*
apa yang harus kutulis tentang surabaya
kecuali panas cuaca dan gerah suasana
pada setiap harinya, ketika
musim kemarau tiba
hari-hari melintas cemas
hidup kian semakin bergegas
ruang kehidupan kian pula terbatas
pada sudut-sudut kota
semakin pula sulit membedakan
antara waria dan kupu-kupu malam
antara tante girang dan lelaki
hidung belang
surabaya surabaya
orang semakin gampang
berkata mengulurkan tangan
demi mendapat pekerjaan
dengan sekedar uang imbalan
surabaya surabaya
menjadi kabur batas bantuan
dan niat kepalsuan
lampu-lampu iklan
kian semakin gemerlapan
saling berebut ketinggian
saling berebut pasaran
surabaya surabaya
jalan-jalan semakin hijau
asap beribu mobil semakin kacau
surabaya musim kemarau
hanya debu ketergesaan semakin galau
segalanya berlalu tanpa batas
siapa menunggu kelak tergilas
lampu-lampu iklan
kian semakin gemerlapan
saling berebut ketinggian
saling berebut pasaran
surabaya musim kemarau
aku menatapnya semakin risau
Surabaya 1986
aming aminoedhin
LARUT MALAM SURABAYA*
mobil-mobil yang lintas jalan layang
seakan terbang tanpa sayap
lampu-lampu jalan layang
berjejer diam menyimpan penyap
bunga-bunga taman mayangkara
tidaklah terhitung lengkap
rumput-rumputnya hijau meluas
tanpa ada tersisa sampah-sampah membekas
dan pohonan hias menyejuk mata
di antaranya terselip cahaya
lampu-lampu merkuri menebar asri
lampu-lampu kota warna-warni
lampu-lampu mobil tak mau mati
kota tiada mau diam, meski jam
telah sampai larut malam
kota ini adalah buaya, yang
menelan segala perangkat teknologi
teknologi abad ini, tanpa
terseleksi (diseleksi?)
1989
aming aminoedhin
TAMAN SURYA BULAN PAHLAWAN*
malam ini tidak seperti biasanya
taman surya hanya sepi saja, anak-anak
dan orangtua mereka tak nampak
bermain di antara bunga-bunga
di dekat pintu pagar utama
ada terpancang baliho besar
memuat kobar semangat pahlawan
bagi siapa melihatnya
di luar pagar ada berjajar
sepuluh sang saka jumlahnya
berkibar karena angin menerpa
di antara bunga-bunga taman
kain rumbai berjuntai warna-warni
diterpa angin menderai
taman surya kian asri malam ini
penjual-penjual balon mainan anak
tidak juga kulihat di sana
spanduk slogan kepahlawanan
terpampang di atas baliho
dan di antara pepohonan hijau
meneriakkan pesan-pesan
pahlawan
lampu-lampu hias
di sekitar patung sudirman
menambah pantas tata-rias
di gelap malam kota pahlawan
pasukan kuning masih tampak setia
mengayun sapu lidinya malam ini
menyiapkan keindahan rasa setiap mata
sebelum parak pagi menjemput tiba
esok hari, adalah hari pahlawan
kita peringati bersama
kita adakan upacara bendera
melepas ikhlas doa
teruntuk sang pahlawan bangsa
taman surya malam hari pahlawan
semakin cantik berdandan
malam sepi di taman surya
semakin mengusik hatiku berkata
“pahlawan bangsa
tidak hanya mengangkat senjata
pasukan kuning dan sapu lidinya
guru dan rasa ikhlasnya, termasuk
di antara mereka.”
Surabaya, 9/11/1988
aming aminoedhin
TERMINAL LARUT MALAM*
malam selarut ini, pernah
kita terperangah harus ke mana arah
diputuskan?
sebab kita nyaris alpa
jika garis kencan malam telah habis
(mungkin kita alpa atau barangkali
kita melupakan garis tepi?)
kembali ke alamat semula
atau harus pulang
ke rumah pondokan?
(sulit menentukan batas pasti)
padahal kita tahu jika
pintu rumah keduanya
telah pasti tertutup rapi
pada malam selarut ini
lalu hanya bisa termangu-mangu
menghitung jam menunggu pagi
malam selarut ini
ke mana langkah kaki kita
diarahkan lagi?
malam selarut ini
kini aku sendiri di sini
sambil mengingat peristiwa lama
yang dulu merupakan dilema
malam selarut ini
hanya sisa kenangan tertinggal
lantas ada terminal dalam hati
kian terasa sepi
Surabaya, 1989
aming aminoedhin
GENTENGKALI SIANGHARI*
hari telah siang. ada rimis hujan jatuh sebentar
telah habis oleh mentari yang kembali membakar
ada perasaan riang. setelah sua dalam kabar
dengan perempuan berkacamata yang berbinar
cerita-cerita lama kembali digelar
seperti air yang mengalir terasa segar
cerita-cerita memilih artinya sendiri
pada kenangan yang masih sempat terpatri
ternyata pintu hati masih terbuka
untuk misteri bernama cinta
meski tertangkap samar, namun masih
terasa ada bergetar
Surabaya, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar