Rabu, 03 Desember 2008

PARA KYAI BACA PUISI - FSS 2006

PUISI-PUISI PARA KYAI, atau PARA KYAI BACA PUISI

Catatan:
Tahun 2006 lalu Festival Seni Surabaya, menggelar Sastra Para Kyai Baca Puisi. Kebetulan saya, adalah PO Sastra yang bertugas menggelarpentaskan itu. Hanya sayang, kyai Gus Mus pada waktu itu gak bisa hadir. Ternyata kegiatan para kyai baca puisi ini, banyak masyarakat sastra Surabaya, yang antusias melihat acara ini. Bahkan penontonnya membludag di Gedung Balai Pemuda, Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya tersebut. Agar dokumen tidak hilang, berikut ini puisi-puisi para kyai dan biodatanya tersebut, saya muatkan di blog "malsasa surabaya" ini (aming aminoedhin).**

Agus Ali Mashuri
KUNCI SUKSES ITU DI LANGIT

Jika dengan iman engkau dambakan kedamaian
carilah kedamaian di tempat sunyi
tindakan dan kata adalah saksi pikiran tersembunyi
dari keduanya terpancar hasrat hati nurani
ketahuilah tempat yang sunyi adalah hati

Hati laksana cermin ia memantulkan apa yang dihadapi
dan diinginkannya
hati tak bisa jernih jika tertutup dan ternodai
oleh hawa nafsu dan keserakahan
hati yang bersih bila menerima cahaya Ilahi
maka ia memantulkan kebenaran mendalam

Orang yang berhati rakus dan ambisius lebih panas dari api
orang yang berhati qonaah lebih kaya dari lautan
orang yang berhati bersih dan berperilaku ramah
senantiasa sukses dalam hidupnya
orang yang berhati kasar dan cenderung mencari lawan
tak pernah sukses dalam hidupnya
ketahuilah kunci sukses itu di langit

Kekuatan manusia terbesar adalah doa
jika anda merasa ragu akan kekuasaan Allah
renungkanlah gempa yang melanda Yogya
bersihkanlah hati kita dari tamak dan serakah
dan tanamkanlah di kebun jiwa anda
pohon-pohon hikmah bunga-bunga ilmu
dan kembang-kembang pengetahuan

Bumi Sholawat, 2006


A. Mustofa Bisri
AKU MERINDUKANMU, O MUHAMMADKU

Aku merindukanmu o, Muhammadku
Sepanjang jalan kulihat wajah-wajah
yang kalah
menatap mataku yang tak berdaya
sementara tangan-tangan perkasa
terus mempermainkan kelemahan
airmataku pun mengalir mengikuti panjang
jalan
mencari-cari tangan
lembut-wibawamu

Dari dada-dada tipis papan
terus kudengar suara serutan
derita mengiris berkepanjangan
dan kepongahan tingkah-meningkah
telingaku pun kutelengkan
berharap sesekali mendengar
merdu-menghibur suaramu
Aku merindukanmu o, Muhammadku

Ribuan tangan gurita keserakahan
menjulur-julur ke sana kemari
mencari mangsa memakan kurban
melilit bumi meretas harapan
aku pun dengan sisa-sisa suaraku
mencoba memanggil-manggilmu
O, Muhammadku, o, Muhammadku
Di mana-mana sesama suadara
saling cakar berebut benar
sambil terus berbuat kesalahan

Qur’an dan sabdamu hanyalah kendaraan
masing-masing mereka yang berkepentingan
aku pun meninggalkan mereka
mencoba mencarimu dalam sepi rinduku

Aku merindukanmu o, Muhammadku

Sekian banyak Abu Jahal Abu Lahab
menitis ke sekian banyak umatmu
O, Muhammadku-salawat dan salam bagimu-
bagaimana melawan gelombang kebodohan
dan kecongkakan yang telah tergayakan
bagaimana memerangi umat sendiri?
O, Muhammadku

Aku merindukanmu o, Muhammadku
Aku sungguh merindukanmu.

A. Mustofa Bisri
PUISI JENAKA MUSLIMIN MODERN

Kaum muslimin pun modern
Lihat, mereka berwudlu dengan tissu basah berparfum
Berjumatan di kantor dengan tak lupa shalat
tahiyyatal-kantor
Imam dan khatibnya cukup televisi 50 inci
Tak memerlukan uang transport atau gaji

Kaum muslimin pun modern
Lihat, mereka mendapatkan jodoh
Melalui komputer biro jodoh
Dan mereka kawin via telepon
Dengan penghulu tape-recorder
Dan mas kawin kartu kerdit

Mereka berkomunikasi jarak jauh
Dengan bahasa-bahasa yang tak saling menyentuh
Mereka tak lagi berbeda pendapat
Karena beda pendapat menghabiskan enersi
Dan kita praktis sama sekali
Mereka menggantinya dengan kebencian dan
permusuhan
Toh senjata-senjata mutakhir siap dipergunakan
Mulai cacimaki tajam hingga rudal-rudal kejam

Kaum muslimin pun modern
Bukan, bahkan agaknya sejak lama sekali
Mereka sendiri sudah merupakan robot-robot sejati

1410-H

A. Mustofa Bisri
INPUT DAN OUTPUT

Di mesjid-mesjid dan majlis-majlis taklim
berton-ton huruf dan kata-kata mulia
tanpa kemasan dituang-suapkan
dari mulut-mulut me4sin yang dingin
ke kuping-kuping logam yang terbakar
untuk ditumpahkan ketika keluar

Di kamar-kamar dan ruang-ruang rumah
berhektar-hektar layar kehidupan mati
dengan kemas luhur ditayang-sumpalkan
melalui mata-mata yang letuh
di benak-benak seng berkarat
untuk dibawa-bawa sampai sekarat

Di kantor-kantor dan markas-markas
bertimbun-timbun arsip kebijaksanaan aneh
dengan map-map agung dikirim-salurkan
melalui kepala-kepala plastik
ke segala penjuru urat nadi
untuk diserap sampai mati

Di majalah-majalah dan koran-koran-koran
berkilo-kilo berita dan opini Tuhan
dengan desain nafsu dimuntah-jejalkan
melalui kolom-kolom rapi
ke ruang-ruang kosong tengkorak
orang-orang tua dan anak-anak

Di hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan
beronggok-onggok daging dan virus
dengan bungkus sutera disodor-suguhkan
melalui saluran-saluran resmi
ke berbagai pribadi dan instansi
untuk dinikmati dengan penuh gengsi

Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan
berbarel-barel bensin dan darah
dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan
melalui pori-pori kejantanan
ke tangki-tangki penampung nyawa
untuk menghidupkan sesal dan kecewa

1415-H

Ali Maschan Moesa
TRAGEDI ANAK-ANAK BANGSA
(Gelap bergayut di Irak Selatan)


Ia mencium tangan Ibunya, lalu raib ditelan kelam, disiram embun malam gedung besar meledak, tubuh mereka jatuh berkeping-keping, bersamaan dengan reruntuhan bangunan dan pecahan mesiu

Panas membakar setiap bongkah kota bagdad mereka berlari,
berteriak menjerit, berteriak menjerit
lawan arogansi Amerika, hancurkan kezaliman
gemuruh yel-yel menyambutnya
tiba-tiba-tiba desing peluru menyobek dada mereka
mencipratkan darah merah ke seluruh jaketnya yang lusuh

Pencakar langit yang pongah itu
menyerap udara dingin dan menyemprotkan asap neraka
bajunya yang kotor menempel erat ke tubuhnya yang basah dengan keringat
seperti banteng ketaton, ia menyeruak masuk ke kerumunan
yang penuh sesak
jerit tangis bergabung dengan hingar bingar umpatan
tiba-tiba sebuah rudal melumatkan perut anak muda itu
darah kental mengalir dengan cepat, makin lama makin besar

Dan….. inilah
dunia sejak abad lalu sampai sekarang
umat manusia dicabik-cabik perpecahan
tak jarang darah dengan sia-sia ditumpahkan

Karenanya ….. dengan motivasi kemanusiaan
sebuah posko kami dirikan
untuk mengkonstruksi manusia dengan kemanusiaan
akan realisasikan perasaan perdamaian
dengan kecerdasan hati, kearifan, dan pengetahuan

Akhirnya…. Izinkanlah saya bertanya
di manakah anda wahai Bush dan Blair
apakah anda masih duduk di situ
sebagai pembantai berdarah panas, biru
potonglah tangan-tangan kami
tebas ke leher-leher kami
Demi Allah, sampai teriakan terakhir
akan kami serukan pesan perdamaian
walaupun dengan darah yang sudah kering

Ataukah…….anda-anda yang duduk di sini
seperti para pembela kebersihan hati
serahkan bantuanmu ke tangan-tangan kami
bantu, topang, perkokoh kami
doakan dengan airmatamu
ketika tubuh kemanusiaan dikoyak-koyakkan
oleh mereka yang mengusung arogansi dan tiran

Padahal…..raja sejati adalah Dia
yang menguasai pikirannya
bukan dia yang pikirannya, menguasai dia dan dirinya

Surabaya, 2006

Ali Maschan Moesa
TRAGEDI ANAK-ANAK BANGSA

Jika anak dibesarkan dengan celaaan
ia akan belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan
ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan
ia belajar keadilan
Jika keluarga dibangun atas dasar iman
ia tumbuh dalam nuansa mahabbah, kasih sayang
Jika politik dikonstruksi dengan lawakan
rakyat makin miskin, kurang makan
Jika pemimpin tanpa keteladanan
negara krisis, kelebihan hutang
Jika pemimpin gagal wujudkan kesejahteraan bersama
memang yang dibutuhkan perasaan menderita bersama
Jika ada pemimpin yang luar biasa
namun di sini biasa di luar
Jika pilkada diserahkan kepada rakyat
hati-hati yang terpilih justru konglomerat
Jika sekarang muncul polio, busung lapar
karena rapat terus, subsidi BBM tidak keluar
Jika rusak di laut, di daratan
tsunami, gunung menjadi hamparan
Jika beragama hanya dengan perasaan
hadir Yusman, Lia Aminudin, M. Abd. Rahman
Jika relasi antar agama berparadigma apologi
institusi agama sibuk membagi-bagi rizki


Jika beragama berangkat dengan misi ‘jihad’
anak istri melarat, kekerasan meningkat
Jika dibiarkan indivisualisme tumbuh
manusia memangsa manusia makin kambuh
Jika dunia menyaksikan kerajaan besar jatuh
tidak mustahil Indonesia akan runtuh
Jika aku menjadi pemimpin negeriku
aku akan memikirkan semua kata-kataku
Jika reformasi hanya setengah hati
datanglah kesenjangan, distrorsi, repot nasi
Jika orang bertanya kepada Nabi di manakah Tuhan
ia menjawab ada dalam qolbu orang beriman

Dan……
Jika kau ingin derita, benar-benar hilang dari hidupmu
berjuanglah untuk melepaskan kebijakan dari kepalamu
kebijakan yang lahir dari tabiat akal-akalan
tidak lebih hanyalah khayalan
karena hampa dari limpahan nur-sirr Tuhan

Surabaya, 2006

Ali Maschan Moesa
OH TULKIYEM AYU

Oh Tulkiyem ayu
Areke lemu asalae Semalawaru, rupane sumeh ngguya-ngguyu
Oh Tulkiyem lemu
Numpak dokar jarane telu, doyane lonthong tahu
Oh Tulkiyem lucu
Tuku tempe njaluk tahu, andhok angsle entek sewu
Oh Tulkiyem seneng
Menang-meneng atine seneng, uripe abot nggak tau nggreneng
Oh Tulkiyem kenes
Gelek-gelek digudha kernet, tapi areka nggak tau ngrewes
Oh Tulkiyem gendhut
Bokonge gede medat-medut, sing ngawasi kedat-kedut
Oh Tulkiyem wangi
Ate adus nang pinggir kali, sabune seger cap manuk Sriti
Oh Tulkiyem ayem
Nyruput wedang meram-merem, wis marem senajan mek mangan jemblem

Oh Tulkiyem kesel
Awake linu rasane pegel, tapi atine nggak tau mangkel
Oh Tulkiyem njeglik
Hiburane wong kampung Ngaglik, nggak tau susah senajan nggak duwe duwik
Oh Tulkiyem singset
Masih lemu nggak klelad-kleled, glegas-gleges uripe ulet
Oh Tulkiyem mletik
Atine apik awake resik, nggak tau medit amek duwik
Oh Tulkiyem nyempluk
Cilikane doyan gethuk, awake sehat nggak tau watuk
Oh Tulkiyem mbangir
Teka Semampir masak jangan menir, disir wong sugih tapi areke nggak naksir
Oh Tulkiyem eblas
Kepanasen kipas-kipas, nggak sugih bandha tapi atine bebas
Oh Tulkiyem medhut
Nek mijeti medat-medut, nang awak rasane sedut-senut
Oh Tulkiyem bunder
Muter-muter dodolane lemper, areke nggak duwe tapi nggak minder
Oh Tulkiyem mlerok
Onde-onde wutuh diemplok, bodine semok tambah monthok
Oh Tulkiyem sabar
Munggah bulan numpake dokar, uripe nrima gak nyasar-nyasar
Tuku jemblem nang Yu Tulkiyem. Atur kawula cekap semanten
Yu Painten kleleke jendela, cekap semanten atur kawula

Surabaya, 2006


D. Zawawi Imron
KERONCONG AIRMATA

Bismillah awal alkisah
sebuah negeri yang kaya yang gemah ripah
Serangkaian kepulauan
yang rahim ombaknya menyimpan
dahaga, rindu, dan mutiara

Kalau di situ ada orang bertanya:
“Di manakah janji hari esok sembunyi?”
Daun-daun hijau yang menjadi selimut bumi
Adalah jawabnya

Di situ ada orang berlagu::
Di sini batu-batu
dipecah berbiji emas
Kerikil digosok jadi permata
Alhamdulillah Indonesia
Tanah airku tercinta

Matahari bulan perak
menyapa putih kapas randu
Gunung-gunung tegak
meniru birunya kalbu
Di sana mangga masak
di sini berputik kembang duku
Sawah luas tengadah
mengaku bumi Allah
Bulir padi berjuta untai
merunduk berjurai-jurai
Membisikkan damai
lewat dawai-dawai
angin yang dikipas kelepak murai
Sayang disayang
seribu mayang
Kami bertani
tidak terasa bikin keranda
Karena sawah kami
kami racuni dengan pestisida

Tuhan, benarkah kami
khalifah-Mu di atas bumi?

Kami kaya raya
Punya luas hutan rimba
Di sana hidup ragam binatang
tapir, badak, kijang, dan ular belang
Ada kera yang suka cemberut
lucu seperti badut
Ada harimau perkasa
yang suka merenggu mangsa
Ada kancil, konon binatang paling cendekiawan
yang bicara baik tapi mencelakakan
Memang begitulah
kebinatangan yang mahasempurna
dalam kehutanan di rimba-rimba

Kadang kami tak habis mengerti
pada pekerti kami sendiri
kemarin ketuhanan
sekarang kehutanan
besok pagi kebinatangan
lusa kembali ke ketuhanan
besoknya lagi
kesetanan
lalu kesurupan

Saat tahun 2000 hampir di ujung jari
Hutan-hutan yang menyimpan janji kami bakari
Dengan gencar kami ekspor asap ke luar negeri
Jadinya begitu gencar kami ekspor asap ke luar negeri
Warisan untuk anak cucu kami curi
Demi gengsi kekinian yang tak punya nurani

Batu-batu kerikil
Ranting-ranting gugur kecil
meneteskan getah airmata
Masyaallah Indonesia

Itulah sejarah yang kami tulis
dengan terjang, terkam, dan tangis
Timika terluka
Sambas saling libas
Aceh terleceh
Jakarta berairmata
Jiwa raga
tidak berharga

Kemudian lihat dengan cermat
Pada trotoar kota-kota yang mekar
Di sela gedung-gedung yang tinggi kekar
megah menjulangi langit
Orang-orang compang-camping
menyeret nasibnya yang ringkih
menghela nuraninya yang pedih
meminta-minta ke sana kemari
Yang lain mengais-ngais tumpukan sampah
mencari sisa-sisa rezeki
(yang hanya pantas dilakukan oleh tikus dan coro)
O, mereka adalah saudara-saudara kami yang tersisih
Hatinya penuh tusukan jarum, tusukan paku dan duri
O, sungguh penderitaan yang telah sempurna

Dengan sikap gagah dan tanpa dosa
kami saksikan
kaum gelandangan kesulitan menyeret langkah
dari sebuah kota ke tempat-tempat lainnya
Mobil-mobil kami mendahuluinya di jalan-jalan raya
dengan klakson melengking angin menambah wibawa
Sekaligus mengentutkan asap dan debu
yang memerihkan mata
dan menyesakkan dada
Masyaallah Indonesia

Pada sebuah sunyi yang basah
Kaum gelandang bersumpah
diikuti orang-orang yang hatinya berdarah:
:
Sumpah Kaum Gelandangan

Satu, Kami kaun gelandang bersumpah,
bahwa kami akan mencintai
tanah air kami sehidup semati
Dua, Kami kaum gelandangan bersumpah,
bahwa kami benar-benar
tak punya tanah
Tiga, Kami kaum gelandangan bersumpah,
bahwa kami berlimpah air
kalau ada banjir
Empat, Kami kaum gelandangan bersumpah,
bahwa kami tidak akan
menjadi orang-orang serakah


Kami bersaksi
bahwa orang-orang miskin itu telah menepati semua sumpahnya
Menyimak sumpah itu kami jadi bertanya
Kemakmuran tanah air ini sebenarnya untuk siapa?
Barangkali kami memang lebih dulu tahu
Tapi rasanya kok lebih enak
kalau kami selalu lupa
bahwa kemakmuran itu
untuk seluruh saudara sebangsa
Lalu mengapa ada orang-orang melarat dan terkapar?
Mengapa ada anak-anak perutnya busung disengat lapar?
Mengapa ada orang yang tinggal di gubug reyot,
seatap dengan bau bangkai bekicot?

Nurani yang berguru kepada Baginda Ali menjawab:
“Karena ada orang-orang serakah”
Masyaallah Indonesia

Di atas kerindangan dahan jambu
burung-burung bernyanyi seperti dulu
tentang indahnya langit biru

Burung –burung dalam sangkar juga berlagu
lagu senada
meskipun dengan melodi yang berbeda
Di tempat lain ada pidato berapi-api,
api, api, api
api, api, api
Orang-orang cerdik pandai berkelahi
bersenjata angka, bolpen, dan dasi
api, api, api
der, dor der dor dar der dor
dor
dor doro
doro dor dor
dar der dor
tolong..........!
doro dor
Ibu ..............!
dor dor dor
dor dor
Orang-orang bisu berzikir:
uh ah ah ih ah
uh ah ah ah ah

Mulut-mulut berbunyi
tapi tidak wasis bicara
Kalau bicara
hanya untuk keseleo lidah
Masyaallah Indonesia
Anak-anak gembala kerbau
hatinya menangis resah ke mimpi
karena sungai tempatnya berenang mandi
airnya kotor dicemari limbah industri
Ikan-ikan mati
langit tak biru lagi
Penyair sibuk berdeklamasi
Katanya: “Langit biru yang tersisa
masih tersimpan dalam nurani”
Orang-orang miskin menyanggah:
“Penyair, jangan suapi mulut kami dengan puisi
yang kami inginkan beras atau nasi.”

Adzan di mesjid berkumandang
Talu lonceng gereja berdentang-dentang
Asap dupa semerbak di dalam pura
Kita dengarkan lagi orang miskin bersuara:

Kami berteriak bukannya marah
tetapi bosan kami melarat
Kami bernyanyi bukan gembira
karena capek kami menangis

Mendengar itu
Malaikat di langit termangu
Anak-anak sekolah ikut berlagu:

mana di mana
manusiaku
mana di mana
mana manusiamu

Gitar dipetik berlenting-lenting
Jatuh berdebum si cengkir gading
Gadis desa miskin berkulit langsat
Di antar germo ke hotel bertingkat
Masyaallah Indonesia

Mahasiswa-mahasiswa
turun ke jalan-jalan
mewakili ayah bunda mereka yang gagu:
mana di mana
manusiamu
mana di mana
mana manusiaku

Jauh di lengkung sebuah gua
yang gelap tapi terang
yang benderang tapi gulita
seorang santri tak habis-habis
mengaji duka mengeja darah
seperti mengaji dirinya sendiri:
Siapa yang disebut manusia?
manusia manusia manusia
ma-nu-si-a ma-nu-si-a ma-nu-si-a
manu-sia-sia manu-sia-sia manu-sia-sia
sia-sia-sia-sia-sia-sia
siapa sia-sia?
Ya siapa ya sia-sia
Ya manusia ya sia-sia

Gua itu berbunyi: “Non....sens, nonsens, nonsens!”
Gelas-gelas pecah
Cermin-cermin retak
Huruf-huruf hangus
Kata-kata majal rumus
Umur jadi bisu pada waktu
Angka nol kecurian satu
Ibu, untuk apa hidup ini dari Ahad sampai Sabtu?
Tahun demi tahun terlego ke dalam tipu

Ada bahana bukan suara
bukan bahasa:
Demi waktu!
Sesungguhnya manusia pasti merugi
kecuali yang beriman
dan beramal saleh
dan yang saling bernasihat dengan kebenaran
dan yang saling bernasihat dengan kesabaran

Kami inginkan hidup tenang
bersyukur dari nung ke nang
tapi harus kami gali hening
dalam hening
ada ning
dalam ning
ada kosong
dalam kosong
ada gong
gong
gong
gong

Sekarang milenium ketiga
masih ada sawah terbentang
Alhamdulillah Indonesia
Besok, masih adakah tangan yang melambai
meniru buliran padi yang berjurai
Amin! Ya Allah!
Semoga, Ya Tuhan!
Kami melangkah dalam amin
Kami bergerak dalam semoga
Dari keringat
ke amin
dari amin
ke semoga
Semoga hati
semoga tangan
Semoga ilmu
semoga teknologi
Semoga embun
semoga bunga
Semoga darah
tak simbah lagi
Semoga rusuh
tak suruh lagi
Semoga senyum
bersama Nabi
Semoga damai
beserta Rosul
Semoga senapan
diganti pacul

Di tengah alam yang luas
kami saksikan tamsil yang jelas:

Seekor sapi merumput di kehijauan
Di atas punggungnya tiba-tiba hinggap
seekor burung jalak hitam
Burung Jalak itu memunguti kutu-kutu
disela bulu-bulu sapi
Burung Jalak kenyang sapi pun senang
Sebuah persahabatan
yang menghormati kehidupan
Persaudaraan dua ekor hewan
yang berbeda bentuk, jenis dan kebiasaan
tapi bisa rukun di tengah alam
Bisa damai di bawah Tuhan

Subhanallah Indonesia
Alhamdulillah Indonesia
Masyaallah Indonesia
Astaghfirullah Indonesia

2000

D. Zawawi Imron
ACEH MENDESAH DALAM NAFASKU

Aku belum pernah berkunjung ke Aceh
Tapi aku pernah mencium
aroma pena Syekh Hamzah Fansuri
Aku pernah menikmati
keindahan senyum Teungku Ali Hasjmy

Aku belum pernah menginjakkan kaki ke Aceh
tapi Aceh kini selalu datang ke dalam diriku
Setiap hari, pagi, dan sore
diantarkan koran dan televisi
Aceh menangis, Aceh pun mengalir dalam sedu-sedanku
mengalir dalam airmataku yang terus menderai
bersama sungai tepanjang yang mengalir ke balik langit
berliku-liku di sela bintang gemintang
mencari Telaga Al-Kautsar

Jika Aceh terluka, Aceh berdenyut dalam denyut nadiku
Aceh mendesah dalam nafasku. Aceh berdetak dalam jantungku
memukul-mukul jiwaku, memacu doaku
Dan Aceh kusebut di sela-sela dzikirku

Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Muhaimin, Ya Salam,
Ya Latif, Ya Rauf

Jika Engkau akan menjatuhkan hujan ke bumi
Turunkan derai bersama Damai-Mu
Biar Kasih-Mu meresap basah ke dalam hati
melembutkan segenap nurani
Hidupkan sejuk kami kepada Aceh
dengan cinta yang saleh

Ya Allah Yang Maha Penyayang,
Engkau mengutus Muhammad dengan wajah yang cemerlang
Dengan lidah yang indah
Dengan tatapan pandang yang lembut ramah
Dengan tangan menabur sejuk
menghapus gelisah dengan hati yang bernanah
Dengan cinta yang mekar seperti mawar dan melati yang merekah
Agar kehidupan terasa rahmat
dengan langka-langka kerja yang menderap
menuju damai yang mantap

Tugas Rasul-Mu terus dilanjutkan para ahli waris
pengemban amanah, menjadi mata rantai sejarah
Dan sampai juga ke Tanah Rencong:
Fajar Iman yang damai terbit dari Perlak dan Pasai
untuk bumi Nusantara
Di lintas Jawa ada Walisongo, Syekh Yusuf dari Makassar
dan Sultan Khairun di Ternate

Semua sering terbayang selintas mendengar azan
yang mengalun mendamaikan kalbu
Hayya’alashalah, hayya’alal falah
Mari bersujud damai dalam salat
Mari meraup bahagia yang penuh damai
Damai di bawah naungan Allah

Aku belum pernah datang ke Aceh
Tapi Aceh selalu berdetak dalam jantungku
dalam keindahan mimpiku. Aceh mengalir mengajak zikir
Mengalir dalam damai
ke alam cinta
Di dalam belaian Kasih Sayang Allah


Wahib Wahab
SYAHWAT KORUPSI

kemauan terbakar oleh kesenangan sesaat
harmoni kehidupan pun lenyap
meracuni diri
tak pernah merasa salah
pikiran pun membusuk
terangsang oleh keserakahan
kesempatan menyapa
terbangun oleh kasak kusuk
meraup kekayaan penuh konfirmasi
menggelembung syahwat kerakusan
mencuri keranjang korupsi
tak pernah puas
mata pun buta, telinga pun tuli
wujud strukturalnya manusia
kebuasannya melampaui hewani
gila jabatan, takut kematian
padahal izrail pasti menjemput nyawa
tak pernah salah mendatangi kepada siapa
bila badan terbujur kaku
tak bermakna nada-nada merayu
berharap hidup walau sesaat
untuk diisi dengan jenis-jenis tobat
oh.. sungguh terlambat

Mojokerto, 18 Mei 2006


Wahib Wahab
SANTRI

Berkerumun sekian anak bangsa
Mengukir masa depan
Bersama goresan tinta, kitab dan tasbih
Terbiasa sujud bersajadah tanah
Tanpa alas tanpa tikar dan tak berbantal
Bertaburan tunas asa
Hidup terlatih prihatin
Berjalan alami tanpa gerutu
Berebut memaknai lorong waktu

Hidup terisi ngaji dan mengkaji
Muatan karya ilmuan penuh arti
Terkendali oleh sosok kyai
Tak ada luang tuk mendengkur
Tidur pun hanya tertidur
Kadang ditemani semak-semak
Serta angin belukar yang bergerak
Mendamba santri penuh tutur
Demi bangsa agar tak hancur
Ramah, santun, dan penuh perkawanan

Dihiasi aroma iman
pesantren sebagai ruang pendederan
terbedeng bibit-bibit kesalehan
mengiyakan pesan-pesan Tuhan
membangun kehidupan dengan aman dan nyaman
mengusung kebenaran dengan kejujuran

Mojokerto, 18 Mei 2006


Wahib Wahab
ZAMAN EDAN

Aku terbakar dalam api menyala perlahan
Aku adalah keinginan yang pedih
Aku serahkan percaya pada kesangsian yang hidup
Aku mencari, bertanya dan bercita-cita
Aku tiada hajat pada telinga zaman edan
Akulah suara penyair terpinggirkan
Oleh kepongahan corong – corong kezaliman

Zamanku sendiri tak pernah paham makna kudamba
Aku akan berbuat “sesuatu” dengan keberanian
Yang belum pernah diperbuat oleh para pendahulu
Berteriak demi kemanusiaan yang terkoyak
Oleh korupsi, pornografi
Menghiasi debat panjang menjemukan.

Mojokerto, 18 Mei 2006


Muhammad Thohir
AL-QUR’AN NAN INDAH

Indahnya rumah-rumah itu yang
Al-Qur’an sebagai hiasan dindingnya
Dinding-dinding yang merona dan menyapa
Dengan kalimat-kalimat penuh makna
Namun,
indahkan Al-Qur’an itu
Dari hiasabn dinding menjadi hiasan bibir
Bibir-bibir yang bergetar
Melantunkan melodi makrifat
Mengerti maupun belum memahami
Getaran Al-Qur’an dari bibir-bibir itu
Membuka pintu-pintu keindahan

Lewatlah pintu keindahan itu
Masukkan Al-Qur’an
Dari hiasan bibir menjadi hiasan qolbu
Betapa indahnya qolbu berhias Qur’an
Betapa cerah qolbu itu
Penuh cahaya di lubuknya
Sinarnya membekas di qolbu-qolbu yang mendekati
Qolbu yang sehat dan cerdas
Khazanah Nafsu Muthma’innah

Namun,
Lihat, puncak keindahan itu
Ketika aktualisasi Al-Qur’an
Dari hiasan qolbu menjadi hiasan perilaku
Indah nan cantik perilaku
Yang berhias Al-Qur’an
Pribadi murah hati yang dimuliakan
Pribadi mulia nan elegan
Pribadi rendah hati yang ditinggikan
Pribadi harum nan semerbak
Pribadi Taqwa Bahagia dan membahagiakan orang lain
Senang bila menyenangkan orang lain
Peduli dan memberi
Bagai hadiah untuk diri sendiri
Sekaranglah saat untuk menikmatinya

Surabaya, 25 Maret 2006

Muhammad Thohir
MENATA HATI

Ketika hati sejernih air
Jangan biarkan ia menjadi keruh

Ketika hati seputih awan
Jangan biarkan ia mendung

Ketika hati seindah bulan
Hiasilah ia dengan Iman*)

Ketika hati suram tak karuan
Cerahkan ia dengan Al-Qur’an

Ketika hati memeluk kebenaran
Puaskan ia menikmati kebahagiaan

Ketika hati seputih melati
Gunakan ia untuk interaksi

Ketika hati penuh madu
Racun pun akan berlalu

Ketika hati berbunga-bunga
Berikan ia sebagai tanda cinta

Ketika hati seperti mutiara
Ucapkanlah Al-Hamdulillah

*) tiga bait pertama puisi ‘Mutiara Ramadhan, TVRI, 2005.


Muhammad Thohir
BUMI BERKATA*)

Tuhan,
Sebagai makhluq-Mu aku ini seperti apa?
Dibanding matahari aku hanya sepersejuta
Tapi dalam konfigurasi galaksi
Kau tempatkan aku sebagai posisi
Kau beri aku biosfir dan ekosistem
Berjuta habitat berjuta nuansa
Berjuta flora penuh fauna
Dan manusia-manusia

Tuhan, Bermilyard tahun aku memutar rotasi
Dengan sudut miring dan kecepatan pasti
Langkahku sederhana hasilnya istimewa
Dengan rotasi kupersembahkan malam dan siang
Dengan kemiringanku aku hadiahkan musim yang berganti
Dengan kecepatanku manusia menghitung hari-hari
Energi yang Kau berikan,
betapa besarnya dan di mana sumbernya
Betapa arif Kau tetapkan posisi miringku
Kecepatanku yang istiqomah, betapa canggih kendalinya
Dan itu bukan permainan sederhana

Tuhan,
Di bawah kulitku tersimpan harta karunia-Mu
Di permukaanku berjuta ragam penghuni
Di punggungku tergelar berjuta sandiwara
Samuderaku penuh terhias ayat-ayat-Mu

Gunung-gunung indah terlukis ayat-ayat-Mu
Sungai-sungaiku menawarkan air peradaban
Hutan-hutanku menunjang kehidupan
Di pangkuanku fauna dan flora bercengkrama
Saling isi dan interaksi
Menjaga ekosistem dan habitat serasi
Dengan tulus dan menahan diri

Tuhan, Dihari tuaku datang makhluq baru
Mereka disebut manusia
Tapi benarkah mereka itu manusia?
Mengapa mereka memusuhi sesamanya?
Dan asyik berteman syetan?
Demi tahta dan harta
Mereka melahap apa saja
Atau membunuh siapa saja
Keserakahannya naudzubillah
Kekejiannnya astaghfirullah
Walau kursi dan atributnya wah
Harkat dan martabatnya payah

Tuhan,
Betapa risau umpama tak ada Nabi-Nabi
Dan Rasul-Rasul yang peduli
Hatiku cemas jika tak datang Wali-Wali
Dan Ulama-Kyai yang memperingati
Demi firman-Mu dan ajaran-Mu
Ulama-Kyai menempa jati diri

Tuhan,
Di ruang semesta
Barangkali aku hanya sebutir debu
Tak layak dihitung
Atau diperhatikan
Tapi karena tamu-tamuku yang manusia itu
Yang pintar membangun maupun merusak
Yang ikhlas memberi maupun tega merampas
Yang terpuruk di bawah kaki al-an’am
Atau yang melejit di atas para Malaikat
Aku menjadi ajang terhormat
Atau saksi mulia
Perbuatan dan langkah terjang mereka

Tuhan,
Segala milikku bebas dipakai manusia
Tapi seringkali mereka memperkosanya
Ekosistemku menjadi habitat mereka
Tapi beruilangkali mereka merusaknya
Kuberikan segalanya tapi sia-sia
Aku malu, Tuhan
Penghuniku terlena fatamorgana
Apakah mereka mencintaiku atau memperkosaku?
Cinta mereka kepadaku membawa bencana
Syukur aku terhibur Nabi, Ulama dan pemimpin menghormatiku
dan membelaku
Aku masih bisa berbangga
Musa, Isa dan Muhammad berjuang di punggungku
Mereka sayang kepadaku tetapi lebih cinta kepada-Mu
Jasad mereka di perutku tapi roh mereka di sisi-Mu
Umat mereka manusia pilihan
Yang suka menempuh jalan Tuhan

Tuhan,
Aku yakin keluasan Rahmat-Mu
Aku percaya kearifan-mu
Aku tunduk setia kepada Sunnah-mu
Aku sembahyang kepada-Mu
Ekosistemku, biosfirku, terimalah sebagai tasbihku
Gunungku, hutanku, airku terimalah sebagai pujianku
Rotasiku, revolusiku, terimalah sebagai sujudku


Kampus Unair Surabaya, Agustus 1998

*) diambil dari kumpulan ‘Munajat Semesta’



BIODATA PARA KYAI

A. Mustofa Bisri. Kyai yang lebih dikenal sebagai penyair dengan julukan “Gus Mus” ini lahir di Rembang, 10 agustus 1944. Lulusan Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir) ini kerap kali mengikuti forum baca puisi, termasuk di Festival Mirbid X di Irak. Karya-karya banyak dimuat di sejumlah kumpulan puisi, antara lain: Bosnia Kita, Parade Puisi Indonesia, Antologi Puisi Jawa Tengah. Kumpulan puisinya sendiri: Ohoi, Tadarus, serta Pahlawan dan Tikus.

Agus Ali Mashuri. Kyai ini sebagai pimpinan Pondok Pesantren Bumi Shalawat, Tulangan, Sidoarjo. Banyak ceramah agama di berbagai daerah di wilayah Jawa Timur.

Ali Maschan Moesa. Kyai yang kini menjabat sebagai Ketua PW-NU Jawa Timur, lahir di Tulungagung 1 Januari 1956. Pendidikannya berawal dari pesantren, lantas lulus S-1 Fakultas Adab dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. Lulus Program Pascasarjana Ilmu Sosial – Universitas Airlangga Surabaya dari S-2 dan S-3. Kyai ini juga pengasuh Pesantren Al-Husna, dan sebagai Ketua Forum Lintas Agama dan Etnis Tingkat Jawa Timur.

D. Zawawi Imron. Kyai yang lebih dikenal sebagai penyair ini lahir di Sumenep. Malang melintang jadi penyair, sekaligus kyai. Ceramah agama di berbagai kota, hampir seluruh kota besar di Indonesia.

Wahib Wahab. Doktor dengan kajian studi Islam dari IAIN Suka Yogya-karta ini, lahir di Kediri, 29 September 1965. Tulisannya banyak dimuat di berbagai koran dan majalah. Beberapa terbitan bukunya, berupa buku-buku kajian Islam. Kyai ini bekerja sebagai Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya. Selain itu mengajar di beberbai Perguruan Tinggi Swasta di Jatim, serta beberapa pesantren. Ia juga sebagai pembina “Forum Studi Islam dan Zikir (FORSIZ) Kab/Kota Mojokerto. Anak tiga (Ria, Misbah, dan Nabila dari istri yang baru satu). Dalam hidup ia punya motto: meski aku hidup di era belakangan, sungguh aku akan berbuat sesuatu yang pernah diperbuat oleh orang-orang terdahulu” dan aku ingin “hidup mulia dan Mati sebagai syuhada.”
Kini kyai ini sedang merampungkan tulisan tentang Tafsir al-Qur’an “al-Syifa’ “ (Upaya menggali kedalaman al-Qur’an), dan Tentang Tafsir Ayat Ayat Syetan dalam al-Qur’an (Pendekatan Tafsir Tematik). Kini sedang menyiapkan beberapa tulisan pada acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta tanggal 19 s/d 22 Juni 2006 mendatang.
Alamat : Jl.Wlirang II/21 Kota Mojokerto Telp.0321 7151833 atau mobile 081331121401

Muhammad Thohir, kyai yang satu ini pernah menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Islam Surabaya (1975-1985). Dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj ini, lahir di Surabaya, 26 Maret 1943. Pendidikannya FK Unair Surabaya (1964), Spesialisasi Ilmu Kedokteran Jiwa – FK unair (1990). Jabatan yang pernah diembannya banyak: Pernah jadi Wakil Ketua PWNU Jatim (1987-1997), A’wan Syuriah PBNU (1992-1997), Ketua IV MUI Jatim Bidang Ukhuwah dan Kerukunan, Ketua IDAJI (Ikatan Dokter Ahli Jiwa) Surabaya (1997-2002) Selain itu pernah Ketua VII ICMI Pusat, tahun 1995-2000.

BAHASAN SURABAYA 714 RM YUNANI

BEDAH BUKU ‘SURABAYA 714’
antologi puisi dan guritan malsasa
bahasan RM Yunani Prawiranegara
---*****---
ditulis kembali oleh: Aming Aminoedhin*


Setelah pentas baca puisi “Surabaya 714” Malsasa 2007 di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, 20 Agustus 2007 lalu, yang di antaranya mencatat beberapa nama penyair yang tampil malam itu, seperti: Akhudiat, Aming Aminoedhin, AF Tuasikal, Bagus Putu Parto, L. Machali, Fahmi Faqih, Budi Palopo, R. Giryadi, Ida Nurul Chasanah, Sabrot D. Malioboro, M. Har Harijadi, M. Tauhed, Bambang Kempling, Saiful Bahri, Chamim Kohari (penyair); Suharmono Kasijun, Anank Santosa, Bonari Nabonenar, Sugeng Adipitoyo, Widodo Basuki, Herry Lamongan, Pringgo HR (penggurit); selanjutnya diselenggarakan bedah bukunya.
Bedah buku antologi puisi dan geguritan bertajuk ‘Surabaya 714’ Malsasa 2007, yang diselenggarakan atas kerja sama Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) dengan Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), dan Toko Buku Diskon ‘Togamas’ Surabaya, berlangsung di Toko Buku Togamas, Jalan Diponegoro 9 Surabaya, tanggal 30 Agustus 2007.
Dalam buku tersebut mencatat ada 34 penyair, memuat 78 judul puisi, dan 14 penggurit, memuat 32 judul guritan, yang penulisnya berasal dari: Surabaya, Mojokerto, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Ngawi, Bojonegoro, Pamekasan, Ponorogo, Trenggalek, dan Blitar.

Bahasan RM Yunani
Tampil sebagai pembicara atau pembedah bukunya, RM Yunani Prawiranegara, mantan redaktur senior Harian Surabaya Post. Sedangkan peserta yang hadir dalam bedah buku tersebut, banyak dari kalangan wartawan, praktisi dan akademisi sastra. Di samping masyarakat sastra Surabaya pada umumnya, yang ikut hadir ikut diskusi.
Makalah bedah buku RM Yunani, yang bertajuk ‘Karya sastra adalah karya kontemplatif dan imajinatif’ tersebut menyoroti bahwa hakekat puisi/guritan adalah sebagai media mengekspresikan kreativitas seseorang, penyalur emosi, dan estetika seseorang. Medianya, kata RM Yunani, bisa menggunakan medium bahasa Jawa, Madura, Osing, atau bahasa Indonesia. Namun kenyataannya, dalam buku ‘Surabaya 714’ beberapa penulis di dalamnya sulit membedakan, dia itu penyair atau penggurit. Hanya menyebut contoh beberapa nama, di antaranya: Puput Amiranti (Surabaya), Aming Aminoedhin (Mojokerto), M. Tauhed (Pamekasan), Budi Palopo (Gresik), Mashuri (Lamongan), Debora Indrisoewari (Surabaya), W. Haryanto (Surabaya), Anank (Mojokerto), dan Bonari Nabonenar (Trenggalek).
Lebih lanjut, RM Yunani, juga menyoroti tentang banyak penggurit yang masih terpancang oleh kaidah atau paugeran sastra Jawa yang diciptakan para pujangga terdahulu semacam itu. Kebekuan kreativitas ini karena menganggap Pujangga R. Ng. Ronggowarsito sebagai pujangga terakhir sastra Jawa. Harapannya, janganlah terkurung “dalam bayang-bayang sang Pujangga.”
Contoh: .......................................
numpak bis tingkat
jebule orang enggal mangkat
yen tekan kantor telat
uang makan mesthi disunat

......................................... (Anank, “Nguing-nguing”, hal. 6).
..............................................
Neng Tugu Pahlawan aku kidungan
Kidungane jaman pembangunan
Dudu traktor gantine sapi
Terus goyang ngebor ngebor pornoaksi
Dudu pembangunane gedhongloji
Nanging pembangunane jati diri
..............................(
Sugeng Adipitoyo, “Kidungan Neng Tugu Pahlawan”, hal 26).

Pada bagian lain, RM Yunani lebih menyoroti tentang ejaan dan bahasa yang digunakan penyair/penggurit. Menurutnya ada penyair yang mencoba menggunakan idiom-idiom Jawa, tetapi ejaan dan pemilihannya kurang tepat. Banyak dalam penulisan ejaannya salah, sebut saja tulisan: Puput Amiranti dalam ‘Kayadene Wayah Surup’ (hal.21-22) ; Joko Susilo dalam ‘Misi Hawa Mencari Suci Sukma’ (hal. 42); Adi Susilo Wibowo dalam ‘Lebu Katiup Angin’ (hal. 4); Javed Paul Satha dalam ‘Pangkur’nya (Hal. 39); serta Didik Wahyudi dalam ‘Iling-iling’yang seharusnya ditulis ‘Eling-eling’ (hal. 31).
Sedangkan penyair yang dalam pengungkapan idiom dan kosa kata Jawa cukup mengena adalah:
................................
Perempuan manakah yang bersliweran
..................................... (M. Har Harijadi, ‘Kwartet Keluh Kesah’, hal 50)

.......................................
meski hidup kian mlarat
hidup kian kesrakat

........................... (Aming Aminoedhin, ‘Membaca Surabaya’, hal. 12)

Sebagai pembedah buku, RM Ynunani juga merasakan dalam antologi ‘Surabaya 714’ menemukan penggurit yang puisinya tergolong guritannya gelap, mereka itu: Adi Susilo dalam karyanya Uler Kambang (HAL. 5), Gatot Suryowidodo dalam karya Layang Pungkasan Kanggo Mripat Macapat (hal. 10).

Pemilihan Idiom/Ungkapan Simbolik
Menurut RM Yunani, bahwa pemilihan dan pengambilan kata atau simbol yang tepat sebagai media pengungkapan pesan atau makna, bahkan menjadi sebuah mantra yang memiliki daya magis yang dahsyat. Idiom-idiom itu memiliki daya imajinatif dahsyat, menyiratkan sejuta makna. Dalam antologi ‘Surabaya 714’ ada yang dicatatnya, antara lain:
Bergugurlah bibir bulan
Atas perjalanan bayang awan
Melepas rahasia semesta
........................................(Sabrot D. Malioboro, ‘Catatan Bulan Juni’, hal. 60)

...............................................
Ricik air aliri damai mimpiku
Bulan pun lalu singgah di hatimu
(Andie Nurkolis, ‘Di Dalam Hujan’, hal. 15)

Bung!
Aku ingin menziarahimu
Tapi di mana letak pusaramu
Karena jazadmu menutup wajah kota

.................................. (Bagus Putu Parto, ‘Kota Di Tengah Pusara’, hal. 18)

................................................
Ketika tidak setiap kata adalah kebenaran
Maka tidak setiap diam jadi emas
(Fahmi Faqih, hal.35)

Coba kita bandingkan dengan beberapa puisi yang terkesan kering, vulgar dan kurang imajinatif dalam penggarapannya. Misalnya: Debora Indrisoewari dalam ‘Aku Tak Bisa Lagi’ (hal. 29), Sony Alfansa dalam ‘Ya...Di Sini’ (hal. 67). Tapi cukup imajinatif ketika Sony menulis dalam ‘Gila Kau’ (hal. 66).
Dalam antologi ‘Surabaya 714’ ada penyair yang menggunakan idiom-idiom Barat, teknologi langka, aneh, moderen, asing. Hal ini tidak masalah, kata RM Yunani, asalkan pemilihannya tepat, dan mengungkapkan makna baru serta mendalam, kontemplatif, dan kaya makna. Coba saja simak:

Aku menulis setubuh gadis
Berlumur sedih
NEW ABORTION judulnya

Atau apa
..........................(Anwar Sadat, ‘Gradasi Warna’, hal.16)

............................
dalam sebuah komposisi
Dadali atau Sebastian Bach

........................................... (Bambang Kempling, ‘Ansambel Putih’, hal. 23)




.............................................
Ikan-ikan Benq-Siemens, Sony Ericson, Nokia, Samsung, LG, bersirip kartu as, xl,
simpati, flexi,fren, IM3, 3, Jempol, perutnya menyimpan semilyar nomor
…………

……………………… (R. Giryadi, ‘Saronggi’, hal 59)


Kalau waktu menjadi seikat pelangi
dan di gua itu Cuma ngungutan nyanyian,
“Oh, my live
for the first time in my live
my eyes can see”
(Lagu John Lenon)
……………………………
,
kaupun bernyanyi,
“sleeping in my car! Sleeping in my car!” ( Lagu Roxete)
sampai malam di dua hati

……………………….( Didik Wahyudi, ‘Setangkai Kembang Monyet’, hal. 32)


Akan terasa berbeda jika idiom yang ditulis aneh dengan diksi lokal, tapi tetap terasa indah dan terasa enak. Coba simak tulisan Akhudiat ini:

Jalan berdebu
Dokar bergerit di geladak Karangbendo
Kalong-kalong di pohon sengon kaget
Berterbangan mengitari bukit
Kembali ke sengon
Bagai gantungan berkas-berkas karbon

……………………………………….. (Akhudiat, ‘Karanganyar”, hal.5)

Penyair Pesantren
Dalam antologi ‘Surabaya 714’ ternyata ada penyair pesantren yang muncul. Mereka itu, menurut RM Yunani, masih menggunakan kosa kata, idiom Islam dan Arab. Sayang, beberapa di antaranya belum mampu ke luar dari stereotip kefiqihannya yang hitam putih, halal dan haram. Yang ada benar atau salah, sedang medium, tengah-tengah masih dianggapnya subhat, alias remang-remang. Mereka itu adalah: Chamim Kohari, ‘Qodar dan Jabar’ dan ‘Pilih Yang Mana’ (hal. 26-28), Fahmi Faqih, ‘Dosa Kita’ (hal. 34), Mashuri, ‘Pintu Laut’ (hal. 47). Javed Paul Satha, ‘Pangkur’ (hal. 39).
Menutup bahasannya terhadap antologi ‘Surabaya 714’, RM Yunani Prawiranegara menulis puisi berjudul: "SAJAK BUAT PENYAIR"

Membaca sajakku
Membaca selisih waktu
Dalam ingatan

Membaca sajakku lebih dalam
Merumuskan hidup

Lalu apakah kita
Menjadi sama?




Diskusi Bedah Buku

Selepas pembahasan, tampillah musikalisasi guritan oleh komunitas sastra ‘Sinji’, yang dimainkan oleh AF Tuasikal dan Sarjio Godean. Mereka melantunkan guritan bertajuk ‘Ndhuk Anakku Wadon’ anggitane Aming Aminoedhin.
Tanya jawab seputar sastra dan Malsasa menjadi cukup gayeng, lantaran ada yang mempertanyakan kepenyairan dalam antologi ‘Surabaya 714’, ada juga yang memuji terbitan bukunya yang digarap cukup luks, dan ada pula mengusulkan selektivitas dalam karya puisi dan guritan perlu dibenahi lagi. Tak urung, Akhudiat, juga mengusulkan agar setelah satu dasawarsa Malsasa, seharusnya memilih kembali puisi-puisi yang layak untuk dikumpulkan dalam kumpulan Malsasa edisi terbaik. Wah ini ide menarik. Lantas siapa yang akan memilihnya? Sebab Akhudiat sendiri juga masuk di antologi Malsasa, dari waktu ke waktu.
Dalam diskusi bedah buku tersebut ada juga yang mempertanyakan pembahasan RM Yunani yang membahas penyair pesantren, padahal secara buku, ‘Surabaya 714’ hanya memuat puisi berbahasa Indonesia dan Jawa.
Apabila boleh mencatat, bahwa antologi ‘Surabaya 714’ dan Malsasa 2007 ini cukup banyak mendapat respons masyarakat sastra Surabaya, dan Jawa Timur. Terlepas apakah dalam penggarapannya apik atau kurang menarik, yang pasti itikad yang saya usung adalah bagaimana kita bisa menumbuhkembangkan sastra di Surabaya dan Jawa Timur, agar kian marak, kian semakin banyak, beranak pinak. Lantas karya sastra kian dihargai dan diapresiasi oleh masyarakat sastranya. Salam budaya dan sampai jumpa di Malsasa berikutnya.

Surabaya, Jelang Ramadhan 2007
Ditulis kembali: Aming Aminoedhin