Selasa, 12 Januari 2010

BERITA MALSASA 2009


MASIH DIHUNI MUKA LAMA

Oleh : Risang Anom Pujayanto

”Sebagian besar sastrawan Surabaya dihasilkan dari lomba baca puisi, tapi lomba baca puisi 2009 kemarin seperti tidak ada yang bisa diharapkan untuk memunculkan nama baru di kancah kesusastraan daerah maupun nasional,” kata Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Sabrot D Malioboro saat memberikan sambutannya di acara Malam Sastra Surabaya (Malsasa) 2009, di pendapa Taman Budaya-Jatim (29/12). Malsasa 2009 diharapkan dapat kembali memotivasi geliat kesusastraan Surabaya ke depan, lanjutnya.
Seperti Malsasa 2007 yang bertajuk ’Surabaya 714’, Malsasa 2009 juga menggelarpentaskan puisi dan geguritan. Hanya saja cerita pendek (cerpen) atau cerita cekak (cerkak) tidak kembali ditampilkan. Ini bukan menjadi masalah karena konsep awal Malsasa yang dilakukan sejak tahun 1989 memang adalah sekumpulan penyair untuk turut berpartisipasi merayakan hari jadi kota pahlawan. Dengan versi khas penyair, mereka menulis dan membacakan puisi.
Khusus Malsasa 2009 yang dilaksanakan di pendapa Taman Budaya-Jatim ini diikuti oleh 26 penyair dan penggurit dari 11 kota di kawasan Jatim. Penyair dan penggurit dari Banyuwangi, Blitar, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Caruban, Surabaya, Malang, Ngawi, Madiun dan beberapa kota lainnya, selain berkumpul untuk mempersembahkan sesuatu untuk kota Surabaya, ajang ini juga menjadi ajang menjalin tali silahturrahim antar-seniman Jatim.
Beberapa nama yang ikut dalam barisan Malsasa 2009 ini. Antara lain; AF Tuasikal, Akhudiat, Anas Yusuf, Aming Aminoedhin, Bagus Putu Parto, Bambang Kempling,Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Beni Setia, Fahmi Faqih, Hardho Sayako SPB, Herry Lamongan, J F X. Hoery, Kusprihyanto Namma, Tan Tjin Siong, Tengsoe Tjahjono, Rusdi Zaki, Ribut Wijoto, R Giryadi, Sabrot D Malioboro, Samsudin Adlawi, Suharmono Kasijun, Pringgo HR, Puput Amiranti, W Haryanto, dan Widodo Basuki.
Sementara sebagai variasi pemeriah acara Malsasa 2009, Sanggar Alang-Alang pimpinan Didit HP juga turut mengisi acara. Dengan alat tradisional, mereka memainkan irama lagu-lagu daerah Jatim. Dua penari semakin melengkapi acara kesenian malam itu menjadi menjadi semakin meriah.
Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya, Aming Aminoedhin menjelaskan, Malsasa 2009 ini dimaksudkan untuk kembali membisikkan sastra kepada telinga masyarakat. Pasalnya, gaung sastra di Surabaya dan Jawa Timur kurang terdengar lagi. Suaranya sangat lirih. Kalau pun ada, gregetnya masih melingkupi area intern.
”Saya tidak melihat signifikansi penyelenggaraan kegiatan sastra di Jawa Timur, khususnya di Surabaya,” tegas Aming Aminoedhin.
Sejatinya, penyelenggaraan sastra di Surabaya dan Jatim tidak bisa dikatakan minim. Tercatat setiap bulan ada diskusi sastra dalam ’Halte Sastra’. Baru-baru ini, Festival Seni Surabaya 2009 juga menggelar lomba nembang macapat, lomba geguritan, dan lomba maca crita cekak dengan bahasa Jawa Suroboyoan. DKS juga menggelar baca puisi pada pertengahan Desember 2009. Sementara di tingkat Jatim ada Festival Bazar Tantular yang diselenggarakan di Museum Mpu Tantular. Dalam festival ini juga masih mengikutkan bidang sastra. Kendati begitu, kata Aming, tidak adanya output yang jelas dalam semua pagelaran sastra tersebut membuat sastra tidak terlihat ketimbang seni-seni lainnya.
”Barangkali fakta kegiatan tersebut sanggup membuktikan bahwa sastra Jawa Timur tidak lesu darah. Hanya gaungnya saja yang kurang bergairah,” kata pria yang pernah dijuluki sebagai ’Presiden’ Penyair Jatim itu.
Melihat acara Malsasa 2009 dapat dikatakan terdapat beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama, penyair dan penggurit yang berpartisipasi merupakan seniman sastra senior. Kedua, semacam aktualisasi diri karena ternyata ada penyair atau penggurit yang mampu membacakan masing-masing karyanya dengan baik. Ketiga, sastra Surabaya dan Jatim masih berhenti pada lingkaran genre persajakan. Sempat keluar, berkembang, tapi kembali lagi. Bagi sastrawan Surabaya; sastra adalah puisi, tanpa kebalikan. Keempat, semangat tinggi sastrawan Jatim tak pernah mati.
Khusus pernyataan terakhir, bahwa dikatakan semangat tidak pernah mati karena kegiatan Malsasa meskipun berbekal dengan dana minim, terlebih didanai secara mandiri, tetapi perhelatan acara Malsasa 2009 masih bisa berlangsung dengan lancar dan meriah.
”Dari dulu untuk membuat buku antologi puisi, Kami selalu patungan sendiri. Ini jika dikatakan sebagai proyek, maka proyek merugi. Meski begitu, Kami ingin membuktikan dedikasi Kami kepada dunia kesusastraan Surabaya dan Jatim,” papar Aming Aminoedhin. Setidaknya, Malsasa 2009 mampu memberi warna baru dan sanggup membuat angin segar dalam peta pentas sastra Surabaya dan Jatim, imbuhnya.
Upaya mengadakan Malsasa 2009 ini tidak sia-sia. Teknik pembacaan puisi yang meliputi penampilan panggung, vokalisasi, ekspresivitas sangat mendukung suasana atas teks. Aming Aminoedhin, misalnya. Eksplosivitas pembacaan puisi Aming yang meledak-ledak dengan suara menggelegar, kadangkala disertai dengan satu kakinya terangkat di atas kursi menunjukkan bahwa puisi merupakan persoalan serius yang mencengkeram problematika kehidupan.
Sementara Sabrot D Malioboro sebaliknya. Kelugasan teknik pembacaan menjadi kekuatan tersendiri dalam mentransfer isi puisi yang diharapkan kepada pendengar. Mendayu-dayu, tenang seolah berada di tanah lapang yang penuh kebebasan. Bebas mencerap apa saja tanpa ketakutan. Baris kata cinta itu membahana di samudera luas. ’Bulan berlayar.’
Lain Aming Aminoedhin, lain Sabrot D malioboro, lain pula Akhudiat. Salah satu sesepuh Bengkel Muda Surabaya itu menggunakan kekuatan prolog sebagai penghantar masuk ke dalam pembacaan puisi. Persoalan kiamat 2012, teleskop hubble, dan kelakar cerdas merespon tata cara kesetiaan Aming dalam berpuisi pun terlontar dari mulutnya serupa gerbong panjang. Rentetan narasi sebelum dirinya membacakan salah satu puisi yang pernah dibuatnya.
”Ketika buih di laut menjelma kata Allah, dan di atasnya berdiri Aming yang sedang membaca puisi,” begitu akhir prolog Akhudiat.
Berbicara Malsasa, sejatinya tema yang diangkat berkisar tentang lingkungan dan habitus Surabaya. Entah berkisar tentang kebersihan, kesemerawutan, kekumuhan, kekasaran, sumpah serapah kota, keserakahan, sejarah dan sebagainya asalkan akrab dengan keSurabayaan.
Dan, antologi puisi Surabaya Kotaku di tahun 1989 yang di dalamnya ada nama-nama sastrawan besar seperti Aming Aminoedhin, Ang Tek Khun, Viddy Alymahfoedh Daery, Roesdi-Zaki, Jil P Kalaran, Pudwianto, dan Herry Lamongan menjadi peletak tradisi Malsasa yang digelarpentaskan hingga saat ini. Namun karena watak dasar seorang seniman yang tak mau dikotak-kotakan, maka tematik ini pun menyebar ke berbagai arah, seperti percintaan, daun, bulan, mentari, gunung, bahkan kata dengan segala keampuhan daya ungkapnya.
”Ijinkan Saya membuka Malsasa 2009 ini dengan puisi Akhudiat yang berjudul Keindahan Ada Di Mana-Mana,” kata Aming Aminoedhin. Bersama kita buka majelis puisi ini, Selamat Menikmati. (b2)
________________
Sumber: Surabaya Post, Minggu 3 Januari 2010


diunduh dari blognya fahmi faqih.

Minggu, 10 Januari 2010

PUISI-PUISI AMING AMINOEDHIN

aming aminoedhin
KUSIMPAN KANGEN INI

kusimpan kangen ini
kusimpan. ternyata aku tak bisa
tak bisa tak membuka
dan kubuka hati

membaca tanda atas status tertera
barangkali hanya kata usang
tak berubah, hingga petang
telah tiba kini

lama nian tak bersua
lantaran jarak mendinding antara
tapi dunia maya, antarkan
semua bisa bicara. ada sesuatu
begitu menggoda. lalu .........
sepi. begitu sepi, dan barangkali
hanya sejumlah doa
terucap tanpa terasa

ada sesuatu terkadang bisa lupa
ada sesuatu terkadang menghadang
termasuk jarak lokasi dan waktu
ada juga sebersit rasa ingin memburu
tapi hanya mimpi angan yang sirna
ditelan jarak dan waktu itu

kangen, bikin hidup kian gairah
meski mungkin hanya desah
ah......
kangenku kusimpan di ujung resah
pada hujan petang yang basah!

canggu, desember rain 2009

aming aminoedhin
GERIMIS TELAH HABIS

bila sesuatu kadang lupa
tak harus ada curiga
gerimis telah habis pada senja
ketika aku bersiap menangis
pada sesuatu terlupa

barangkali gerimis menipu kita
tanda setujunya berpuluh tahun lalu
hanya sekedar kata-kata
tak pernah ada. tak pernah ada
tanpa ada ujung dan juntrungnya

tapi gerimis telah habis
aku kehilangan angan menulis
senja berdiri hanya sunyi
selebihnya langit hitam
lorong jalanan, tak ada orang
lalu-lalang. begitu menakutkan

jarum jam tak bergerak
seperti aku dan kau
dibatasi waktu dan jarak

Siwalanpanji, 10 /12/ 2009


aming aminoedhin
MELANGKAH KE SURAU ITU

gerimis siapakah itu
membentur pada dinding waktu
senja memang telah berlalu
tinggal gerimis, dan kerdip lampu-lampu
dibalut kabut terasa syahdu

gerimis siapakah itu
mengetuk pintuku lantas berlalu

disc musik mozart mengalun
antarkan senja pada rembang petang itu
kadang menghentak kadang syahdu
membalutbangunkan angan rinduku
ada juga suara adzan terdengar
sayup-sayup di kejauhan
ajak langkahku menuju surau itu, lalu
kubunuh mozart menghentak syahdu

gerimis belum juga habis
kucari payung tak kutemu juntrung
gerimis terus saja jatuh
tak harus membuat hatiku kisruh

jika ada rinduku bertumbuh
biarkan tumbuh di surau-Mu

gerimis boleh menghadangku
tapi langkah rinduku tetap bermuara
pada-Mu, kaki melangkah ke surau itu

Desaku Canggu, 10 /12/ 2009

aming aminoedhin
TENTANG GURITA ITU


penghujung tahun langit warna kelabu
ada gurita bernama buku
mengganggu langkah
setiap jaga-tidur rakyatmu
tapi langkah bisa tak terarah
angin demokrasi telah berhembus
tak perlu risau atas semua itu

tahun baru perlu ada buku baru
barangkali bukan tentang gurita
tapi bisa tentang paus, raja-diraja ikan
yang berkuasa di samudra

tahun lalu biarkan berlalu
kita berbenah di tahun baru
menulis buku tanpa mengganggu
tidur-jaga rakyat yang berseteru
menulis buku demokrasi bukan democrazy
menulis buku politik bukan sekedar kritik
menulis buku tentang cinta sesama, lantas
menulis buku yang bermuara
atas kebesar-esaan-Mu

Mojokerto, 27/12/2009



Catatan: puisi-puisi di atas termuat di Jawa Pos, Minggu, 10 Januari 2010.

Jumat, 08 Januari 2010

MERIAH PENTAS MALSASA 2009

Meriah dan Sukses!
PENTAS KESEMBILAN
MALSASA 2009 DI TBJT SURABAYA


• Banyak bintang tamu ikut tampil baca puisi
• Dimeriahkan Sanggar Alang-alang – Didiet Hape



Catatan : Aming Aminoedhin



Angka sembilan merupakan angka terbesar nilainya, dibandingkan angka delapan, tujuh dan seterusnya. Tapi adakah angka sembilan pada pesta Malam Sastra Surabaya 2009 tahun ini benar-benar akan yang terbesar dalam perhelatannya? Sebuah tanya yang barangkali kita semua baru bisa menjawabnya, setelah pentas benar-benar digelar.
Hanya saja bahwa ketika pada tahun ini, 2009, acara Festival Seni Surabaya (FSS) dan Festival Cak Durasim (FCD) tidakdiselenggarakan, praktis acara sastra yang berlevel Jawa Timur berkurang. Karena kedua festival tersebut, biasa mengusung kegiatan sastra pada kedua aktivitasnya. Setidaknya kegiatan sastra yang melibatkan banyak penyair atau cerpenis sastra Jawa Timur beraktivitas (menonton acaranya atau ikut terlibat jadi panitianya), serta ikut tampil dan baca sastra, tidak ada lagi.

Sejalan dengan persoalan inilah, maka saya bersama komunitas FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), mencoba kembali menggelarpentaskan “Malsasa 2009” atau malam sastra Surabaya, betapa pun pahitnya. Karena kegiatan sastra yang didanai sendiri, hampir semua orang tahu pasti, adalah sebuah kegiatan yang merupakan projek merugi. Kegiatan ini pun, masih seperti tahun-tahun sebelumnya, membuat buku dan pentas sastranya, didanai secara patungan (urunan dana) oleh para penyair dan pengguritnya. Adanya Malsasa 2009 ini, sekaligus untuk menjawab atas tidak adanya kedua festival yang sudah cukup dikenal masyarakat Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Setidaknya ada sedikit angin segar yang akan mewarnai peta sastra Surabaya dan Jawa Timur.

Malsasa 2009 digelar pada penghujung tahun 2009, tepatnya 29 Desember 2009, bertempat di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya. Diawali dengan sambutan Ketua Dewan Kesenian Surabaya, Sabrot D. Malioboro. Lantas penyair, Aming Aminoedhin, sang penggagas Malsasa, sedikit memberikan cerita tentang sejarah awal kegiatan Malsasa yang digelar sejak tahun 1989 hingga tahun ini. Dilanjutkan kepala Taman Budaya Jawa Timur, Drs. Karsono M.Pd., memberikan sambutan, dan sekaligus membaca salah satu puisi karya penyair yang ada dalam kumpulan guritan dan puisi Malsasa 2009, yaitu puisi berjudul:


af. tuasikal
SUARA LIAR TERDENGAR


hari pertama

sesekali kita harus menengok ke bawah
tundukkan congkak lenturkan jiwa
suara liar terdengar mengunci langkah
ketika ku hanya lewat berlalu saja
tak hirau cermin di dinding hatiku

hari kedua

sesekali kita harus ulurkan tangan tanpa harapan
tumpahkan harta luluhkan serakah
suara liar terdengar mengunci langkah
ketika ku tetap lewat berlalu saja
tak hirau cermin di brankas hati ikhlas

hari ketiga

sebelum suara-suara liar terdengar
sebelum suara-suara mengunci langkah
ketika ku hanya lewat berlalu saja
ku coba berkaca pada cermin
di dinding hatiku
ku coba berkaca pada cermin
di brankas hati ikhlas

namun tak kutemukan apa-apa
di depan wajah yang hanya bias cahaya

hari keempat

tanpa mendengar bisikan
atau suara-suara liar terdengar
ketika ku hanya berlalu begitu saja
ku langsung berdiri di depan cermin itu
“kau menatapku dan aku menatapmu”
tanpa kedip berkedip aku tetap menatapmu
dan kau juga tetap menatapku
mungkin bisa dihitung dengan beberapa kedip berlalu
lalu tanpa berkata aku mendesah
kenapa tak kutemukan apa-apa
di depan wajah yang hanya bias cahaya
apa barangkali ada sekat di cermin hati
hingga bias cahaya
tak dapat tampak tertangkap mata
tak dapat tampak terbaca jiwa

hari kelima

tanpa suara-suara yang membuatku terjaga
ketika ku hanya berlalu tak hirau cermin itu
aku biasakan memandang bias diriku
meski hanya sekilas
ternyata banyak sesuatu terkupas

hari keenam

suara-suara itu tak ada lagi
yang ada hanya diam
di depan mata
memandang mata
membaca kaca
mengeja jiwa
menghitung alpa

hari ketujuh

suara itu datang lagi
“lenturkan jiwa
luluhkan serakah
cerminku adalah cermin hatimu
suaraku adalah suara hatimu
bercerminlah
sebelum kau melangkah
bercerminlah”

sidoarjo, 17--24 oktober 2008


Malsasa 2009 juga dimeriahkan oleh komunitas anak-anak “Sanggar Alang-Alang” pimpinan Didiet Hape, yang menyuguhkan komposisi angklung versi Jawa Timuran. Kata Didiet Hape, bahwa komposisi ini memang digarap dengan media angklung yang ada di Jawa Timur, yaitu angklung Banyuwangi, Ponorogo, dan Tengger-Bromo, Probolinggo. Ketiganya diramu dan kemudian ditampilkan apik di hadapan penonton Malsasa, malam itu. Lengkap pula dengan dua anak-gadis menari yang melanggak-lenggok dengan gemulainya. Sungguh sebuah seni pertunjukan yang menawan.
Malsasa 2009 benar-benar sebuah pentas sastra yang cukup menarik dan enak dinikmati. Tak urung, Arek Teve Surabaya dan Radio Suara Surabaya, juga meliput atas gelaran Malsasa tahun ini.
Setelah Drs. Karsono, membuka dengan baca puisi; dilanjutkan dengan beberapa penyair dan penggurit tampil membacakan puisi dan guritannya. Ada Tengsoe Tjahjono, Sabrot D. Malioboro, Suharmono Kasijun, Aming Aminoedhin, Bonari Nabonenar, Widodo Basuki, AF Tuasikal, W. Haryanto, Hardho Sayoko SPB, Kusprihyanto Namma, Akhudiat, Herry Lamongan, Bambang Kempling, Pringgo HR, dan Budi Palopo.

Sayang beberapa nama yang seharusnya ikut tampil harus absen, mereka itu: Anas Yusuf dan Beni Setia (Madiun), Samsudin Adlawi (Banyuwangi), R. Giryadi dan Rusdi Zaki (Sidoarjo), Fahmi Faqih, Ribut Wijoto dan Tan Tjin Siong (Surabaya), Bagus Putu Parto dan Puput Amiranti (Blitar), serta JFX Hoery (Bojonegoro). Namun demikian, ketidakhadiran mereka, tidak mengurangi semaraknya pentas Malsasa 2009 malam itu, karena ada beberapa bintang tamu yang banyak tampil malam itu: Pribadi Agus Santosa (mantan Kepala TBJT), Yudho Herbeno (penyair kawakan Surabaya), Alfiana Latief (guru dari SMAN 3 Ciamis-Jabar), Arieyoko dan Gampang (Bojonegoro), Aan Tjandra Anie Asmara dan Yanto (Surabaya).
Gaya baca puisinya pun berbeda-beda, Aming yang menghipnotis audiensnya. Sabrot baca datar tapi cukup menarik. Akhudiat, sebelum baca puisi malah berorasi. Kata Diat, ketika zaman sudah tanpa batas, campur bawur informasi yang tiada henti, Aming tetap mengajak baca puisi. Bahkan mungkin, kata Diat, ketika datang seperti zaman seperti Nabi Nuh, semua pulau tenggelam, maka Aming tetap baca puisi. Lantas dengan santainya, Diat membaca dua judul puisinya.
Lain Aming, Diat, dan Sabrot, Widodo Basuki sang penggurit, sebelum baca gurit melantunkan sepenggal tembang Jawa yang berupa doa. AF tampil bacakan puisinya Fahmi Faqih, selain baca dua puisinya sendiri. Sedang penggurit yang lain, Bonari Nabonenar, tidak baca gurit, tetapi malah mengajak rembugan setelah acara pentas Malsasa. Tapi, apa lacur, dia malah menghilang duluan, sedang yang lain masih rembugan.
Tiga penyair asal Lamongan, Bambang Kempling, Herry Lamongan, dan Pringgo HR tampil biasa saja. Kecuali Pringgo agak tampak memberi muatan seni dalam pembacaan puisinya. Kota Blitar, diwakili W. Haryanto baca dua puisinya, dan kota Malang, tampil Tengsoe Tjahjono yang juga dosen Unesa, tampil menarik di depan audiens yang lesehan memenuhi di pendapa Taman Budaya Jawa Timur itu.
Seperti juga Diat, Budi Palopo, tampil baca puisi dengan mengawali orasi dulu. Bicara soal keris dan semacamnya. Tapi Budi tampil apik dan menarik.
Sungguh pentas Malsasa 2009 ini cukup memuaskan para audiens yang hadir malam itu.



Malsasa dari waktu ke waktu

Ketika kita mau mengenang Malsasa-Malsasa sebelumnya, maka kita akan mencatat nama-nama pengarang seperti: Hardjono WS, Akhudiat, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Robin Al-Kautsar, Mh. Zaelani Tammaka, W. Haryanto, S. Yoga, Sirikit Syah, Adi Setijowati, Ida Nurul Chasanah, Debora Indrisoewari, Puput Amiranti, Suhandayana, Zoya Herawati. L. Machali, HU Mardiluhung, Tan Tjin Siong, Tubagus Hidayathullah, Surasono Rashar, Poedwianto Arisanto, Sigit Hardadi, Saiful Hadjar, Saiful Bakri, Arief B. Prasetyo, M. Shoim Anwar, Leres Budi Santosa, Mashuri, Jil Kalaran, Roesdi-Zaki, Redi Panuju,adalah nama-nama yang pernah ikut tampil di Malsasa.
Pada awalnya Malsasa hanya melibatkan penyair saja, lantas pada perkembangannya Malsasa juga melibatkan penggurit, bahkan juga cerpenis dalam buku Malsasa tersebut.
Sedangkan pada gelaran pentas Malsasa 2009, melibatkan 26 penulis sastra (pernyair dan penggurit) yang akan tampil akhir tahun 2009, di Taman Budaya Jatim. Nama-nama yang akan tampil adalah: AF Tuasikal, Akhudiat, Anas Yusuf, Aming Aminoedhin, Bagus Putu Parto, Bambang Kempling, Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Beni Setia, Fahmi Faqih, Hardho Sayoko SPB, Herry Lamongan, J.F.X. Hoery, Kusprihyanto Namma, Tan Tjin Siong, Tengsoe Tjahjono, Rusdi Zaki, Ribut Wijoto, R. Giryadi, Sabrot D. Malioboro, Samsudin Adlawi, Suharmono Kasijun, Pringgo HR, Puput Amiranti, W. Haryanto, dan Widodo Basuki.
Harapan pentas Malsasa ini adalah menjawab atas kurang adanya aktivitas sastra berlevel Jawa Timur pada tahun ini, dan sekaligus menumbuhkembangkan kembali pentas sastra di depan masyarakatnya. Karena sastra, tanpa sosialisasi secara pentas sastra semacam ini, kurang ada gaungnya. Meski saya sadar, bahwa tidak selamanya karena sosialisasi pentas sastra, mesti berhasil. Mesti bergaung! Tidak! Tidak selamanya!

Kegiatan ini juga diharapkan memicu kreativitas dan aktivitas penyair-penyair muda lainnya untuk juga tampil, dan sekaligus membuat kegiatan semacam Malsasa di waktu lainnya. Artinya, bahwa penyair muda Jawa Timur, haruslah juga mempunyai greget bersastra melebihi penyiar-penyair terdahulu. Semoga!
Kembali ke awal tulisan, yang mempertanyakan kebesaran pentas Malsasa 2009. Angka sembilan merupakan angka terbesar nilainya, dibandingkan angka delapan, tujuh dan seterusnya. Tapi adakah angka sembilan pada pesta Malam Sastra Surabaya 2009 tahun ini benar-benar akan yang terbesar dalam perhelatannya?
Jawabnya, memang selama Malsasa digelar dari waktu ke waktu, Malsasa ke-9 ini memang yang paling meriah. Selain banyak bintang tamu hadir dan tampil, juga ada tampilan "Sanggar Alang-Alang" yang tampil menawan. Sanggar Alang-alang pimpinan Didiet Hape, menyumbangkan seni pertunjukan angklung Jawa Timuran yang tampil apik dan menarik, bahkan menyemarakkan malam sastra kian mempesona. Lepas tampilan malam itu, komunitas ini, langsung ke Denpasar – Bali, untuk tampil pada malam tahun baruan di pulau Dewata.
Apakah Malsasa kesepuluh nanti masih bisa digelar kembali? Apakah angka sepuluh seampuh angkanya? Wallahu alam bissawab!
Tinggal apakah kita semua bisa tetap bersinergi untuk urunan kembali menggelar Malsasa tahun 2010 dengan suka cita. Mari! Mari bersinergi!

** Desaku Canggu, Penghujung Desember nan Basah 2009