Rabu, 22 September 2010

TADARUSAN PUISI BULAN SUCI

TADARUS PUISI RAMADHAN SUCI
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya)


Memasuki bulan Ramadhan 1431 Hijriyah tahun ini, saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu, bahwa kegiatan menyambut Ramadhan selalu diramaikan bebeberapa kegiatan religius di berbagai masjid dan mushola. Sedangkan bentuknya bisa bermacam-macam, dari pengajian biasa, tadarusan, hingga pentas-pentas keseniannya, berupa pentas hadrah, pentas drama Islami, hinggga musikalisasi puisi.
Bila saja mau mencatat kegiatan sastra yang punya korelasi keagamaan (baca: dalam arti Islami), maka saya bisa mencatat tahun 1986 lalu, Dewan Kesenian Jakarta pernah menggelar acara bertajuk “Tuhan Kita Begitu Dekat” – Tadarus Puisi Bulan Suci.
Waktu itu, kegiatannya menyambut bulan Ramadhan tahun 1986. Tak urung seorang HB Jassin (paus sastra Indonesia) ikut memberi sambutan. Dalam sambutannya, Jassin (alm.) antara lain mengatakan, “Di tengah hiruk pikuk dunia serba mesin dan komputer sekarang ini, dengan tempo teknik dan teknologi yang serba cepat dan kian cepat, amatlah sedikit waktu kita untuk berada dengan diri kita sendiri, dan merenungkan arti hidup kita. Hubungan kita dengan dunia, lingkungan, dan dengan Tuhan.” Lebih lanjut HB Jassin menandaskan, “Maka beruntunglah kita bahwa ada penyair-penyair yang mencoba menyelami hakekat hidup, hakekat gerak, hakekat diam dan sunyi, yang mempertemukan kita dengan keabadian. Penyair melihat dengan matabatinnya, apa yang hidup dan bergolak di bawah permukaan segala kejadian yang nampak dan tidak, oleh mata kepala kita yang kasar”.
Sederet nama penyair ikut tergabung dalam acara itu, ada Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, Mohammad Saribi, Goenawan Mohamad, Mohammad Diponegoro, Taufiq Ismail, dan Masbuchin.
Menengok di tingkat provinsi Jawa Timur, maka perhelatan sastra Islami yang cukup besar yang pernah digelar tahun 1993, adalah di Go Skate – Surabaya Indah – Jalan Embong Malang Surabaya; dengan tajuk “Parade Puisi Sejuta Doa Untuk Bosnia.”. Kegiatan yang melibatkan MUI Jatim, Kanwil Depag, Masjid Al-Falah, Mujahidin, Kemayoran, serta Dewan Kesenian Surabaya tersebut, cukup meriah. Acara digelar cukup mendapatkan respons positif pada waktu itu. Terbukti, penonton yang hadir memenuhi ruangan lantai dua Go Skate Surabaya Indah. Beberapa nama penyair besar Jakarta turun pada acara ini. Ada Sutardji Calzoum Bachri, Hammid Jabbar, Ikranegara, Jose Rizal Manua, Taufiq Ismail, Slamet Sukirnanto, Soeparwan G Parikesit, Pertiwi Hasan, dan Aspar Paturisi. Sedangkan penyair Jawa Timur yang tampil ketika itu: Sam Abede Pareno. D. Zawawi Imron, Budi Darma, Aming Aminoedhin. M. Fudoli Zaini, dan Emha Ainun Nadjib.
Selanjutnya, pada 2006 lalu, ketika menggelar Festival Seni Surabaya (FSS), saya sebagai orang menangani sastranya, dengan berbekal keberanian menampilkan pentas sastra “Para Kyai Baca Puisi”. Ada beberapa kyai dijadwalkan baca puisi, mereka adalah: A. Mustofa Bisri (Rembang), D. Zawawi Imron (Sumenep), Ali Maschan Moesa (PW-NU Jatim, Surabaya), Wahib Wahab (Dosen IAIN Surabaya), dan Muhammad Thohir (Surabaya), dan Gus Ali (Kyai Tulangan, Sidoarjo). Hanya sayangnya, kyai asal Rembang, A. Mustofa Bisri, tidak hadir dan tampil baca puisi. Dari tampilan mereka, terbukti para kyai cukup baik dalam menulis dan membacakan puisinya. Bahkan penonton membludak memenuhi gedung Balai Pemuda Surabaya tersebut.
Kembali masuk di bulan Ramadhan, dua tahun lalu, tepatnya September 2008, meski hanya beberapa nama penyair dan penggurit, Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) dengan Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Surabaya, dan Arek Teve juga menggelar acara “Tadarus Puisi Bulan Suci” di halaman depan kantor Arek Tevelisi, Rich Palace, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya. Mereka yang tampil waktu itu: M. Shoim Anwar, Aming Aminoedhin, Suharmono Kasijun, Bonari Nabonenar, AF Tuasikal, R. Giryadi, Budi Palopo, Widodo Basuki, Suko Widodo (Dosen Unair), Priyo Budi Santoso (anggota DPR-RI), dan Imung Mulyanto (Arek Teve). Di sela-sela penyair tampil, ada tampilan Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Surabaya, yang dipimpin oleh Bokir Surogenggong.
Acara tadarus puisi bulan suci yang direkam oleh Arek Televisi, sejak mulai lepas tarawih, hingga sahur dekati imsak baru usai rekamnya. Kemudian rekaman tadarus puisi pun juga ditayangkan oleh Arek Televisi. Meski penayangannya agak lambat waktunya, tapi tadarus puisi itu tetap bisa ditayangkan bagi warga masyarakat Jawa Timur.
Puasa ramadhan adalah untuk menahan nafsu dari berbagai syahwat, sehingga manusia bersiap meniti dan mencari sesuatu yang menjadi puncak kebahagiaannya. Puasa tidaklah hanya menahan nafsu makan dan minum saja, akan tetapi juga menahan nafsu seks (birahi) seorang manusia, pada waktu siang hari. Menurut Abdul Munir Mulkan (Kompas-Opini, 10/8/2010), hakikat puasa adalah kesantunan kemanusiaan berbasis kerendah-hatian (tawadldlu’), dan pengendalian diri (nafsu) sebagai akar nilai hak asasi manusia.
Untuk itu, ketawadldlu’an dan pengendalian nafsu seorang manusia, bukanlah diartikan diam saja. Akan tetapi, dalam menjalankan puasa, sebagai manusia yang berpuasa, bukan lantas tidak berbuat apa-apa. Tidak! Tidak harus begitu! Bahkan sebagai pengarang (baca: penyair), saya tidaklah salah jika mengajak rekan-rekan penyair muslim se-Jatim untuk menggelar acara seperti dua tahun lalu, “Tadarus Puisi Ramadhan Suci” di pertengahan Ramadhan 1431-H tahun ini. Kebetulan, Drs. Karsono, M.Pd. sebagai kepala UPT Dikbangkes Taman Budaya Jatim, kemarin menawarkan tempatnya di pendapa Taman Budaya Jatim, dan FSBS bisa menggelarnya pada Jumat, 27 Agustus 2010 ini. Beberapa kawan yang ikut tampil di acara “Tadarus Puisi Ramadhan Suci 1431-H” tidak hanya dari Surabaya, tapi juga dari: Malang, Lamongan, Blitar, Bangkalan, Bojonegoro, Mojokerto, dan Sidoarjo.
Mereka itu adalah: Akhudiat (Surabaya), Bonari Nabonenar (Malang), Herry Lamongan, Pringgo HR, Bambang Kempling (Lamongan), Puput Amiranti, W. Haryanto (Blitar), Dewi ‘Bangkalan’ Masyithoh (Bangkalan), Ariyoko KSMB (Bojonegoro), AF Tuasikal, Aming Aminoedhin, Suyitno Ethexs (Mojokerto), serta Yudi Joyokusumo, Pung AD Mulya, Sarifudin Miftah (Sidoarjo). Beberapa nama yang sebenarnya juga akan tampil dan berhalangan adalah R. Giryadi dan Widodo Basuki (Sidoarjo) dan Budi Palopo (Gresik).
Adapun musik religius yang tampil adalah dari arek-arek Sanggar Alang-Alang pimpinan Didiet Hape, yang menyajikan dengan sangat memberi warna lain pada tampilan malam “Tadarus Suci Ramdhan Suci 1431-H” tersebut.
Selain syiar Islam, serta meningkatkan iman dan taqwa di bulan ramadhan suci ini, kegiatan ini juga menepis istilah bahwa orang puasa itu hanya bermalas-malas saja. Menepis anggapan bahwa penyair ketika puasa tidak kreatif adalah salah. Penyair tetap kreatif, dan akan tetap ngaji puisi, pada malam yang Ramadhan suci tahun ini.

Tadarus Puisi DKKM Mojokerto
Setelah sukses menggelarpentaskan malam “Tadarus Puisi Bulan Suci 1431-H” di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya; Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) selanjutnya menggandeng Dewan Kesenian Kabuapten Mojokerto (DKKM) untuk menggelarpentaskan kembali acara tersebut.
Tertanggal 7 September 2010, acara serupa digelar di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mojokerto, Jalan Jayanegara, Mojokerto. Mereka yang tampil tidak hanya penyair Mojokerto, tapi juga kyai Wahab Wahib, Wakil Bupati Terpilih, Ibu Hajjah Khairunnissa. Musik religi ditampilkan kelompok musik Girilaya Mojokerto.
Gelaran malam “Tadarus Puisi Ramadhan Suci 1431-H”, selain membaca al-Quran, juga membaca puisi Islami, serta musik-musik shalawatan yang membawa angin surgawi. Semoga acara ini bisa digelar di Ramadhan yang akan datang, seperti telah dijanjikan Drs. Karsono, M.Pd. Kepala UPT DikBangKes Taman Budaya Jatim, dan Drs. H. Eko Edy Susanto, M.Si., ketua DKKM Mojokerto. Semoga!


Desaku Canggu, Idul Fitri 1431-H

Minggu, 22 Agustus 2010

puisi-puisi aming termuat hari ini

Minggu, 22 Agustus 2010
dua puisi untuk tadarus puisi 2010
Jawa Pos, Minggu, 22 Agustus 2010

Puisi-Puisi Aming Aminoedhin

aming aminoedhin
AKU MASIH MELIHAT

* catatan ramadhan 1431-h

aku masih melihat
orang-orang melangkah ke masjid
selepas magrib jelang isya tiba
berharap bisa tarawih dengan berjamaah

aku masih melihat
orang-orang melangkah ke mal dan plasa
melepas duit jelang hari raya
agar lebaran tampak gagah lupa hati pongah

aku masih melihat
mal dan plasa berjuta orang
mengigau berjamaah, hamburkan uang
tanpa pernah dirasa atau merasa
ada berjuta orang di luar sana
atau mungkin di sekitar kita
teramat miskin papa

aku masih melihat
jurang menganga
begitu dalam tak terjangkau
dari matabatin orang-orang mengigau

aku masih melihat
berjuta orang meracau dan mengigau
di negeriku yang kacau

Canggu, 19 Agustus 2010


aming aminoedhin
MATEMATIKA LAILATUL QODAR

pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu

aku termangu (mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?

Canggu, 19/8/2010


aming aminoedhin
DENTANG SUARA


dentang suara benar itu tak selamanya enak didengar. hari-hari biasa kau bisa diburu langkahmu. hanya lantaran suara kebenaran yang kau kicaukan terasa sesakkan dada penguasa

dentang suara yang kaunyanyikan bukan lagu merdu bagi penguasa

langkahmu hari ini bisa terhenti. tapi berjuta politisi jalankan kembali langkahmu, yang kian mengarah suara benar tak enak didengar itu

dentang suaramu mendedah bagi penguasa berhati pongah (mungkin serakah) dalam hidup ini. mengalah bukan kalah, saudaraku

tapi kau semakin tak peduli. bahkan mungkin rakyat
juga kian ingin bukti kebenaran itu terungkap
dentang suaramu memang tak enak didengar
tapi benar yang kau tebar akan jadi bukti
nyanyian kau lantunkan adalah kebenaran
tak terbantahkan. tak terbantahkan!

Desaku Canggu, 13/4/2010

aming aminoedhin
PELUIT ITU JADI NYANYIAN

peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
dunia memang telah jungkirbalik

polisi menangkap maling, dan malingnya
berbalik tangkap polisi
peluit itu terus bernyanyi, bagai peluit keretaapi
setiap stasiun berbunyi. setiap pejabat korup
peluit berbunyi. suara peluitmu, jadi hantu
bagi setiap pejabat korup jadi takut
adakah pada dirinya akan juga bernyanyi?

peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya

ternyata masih ada juga manusia berhati mulia
semulia nyanyian peluitmu terus memburu
para koruptor itu

Desaku Canggu, 13/4/2010

aming aminoedhin
TELAH TAMAT
* sp

persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
helatan kau tawarkan basi. tanpa makna arti
sebab segala acara, hanya bersandar pada takar harta
bukan getar jiwa. puisi adalah getar jiwa
bukan harga takar uang kau punya. bukan!
puisi berwarna dasar hati suci mewangi, sedang kau
coba tawarkan otak keledai berbungkus bangkai
busuk dan masai!

aku tak tahu ada juga ikut barisan itu
beriring-iringan bagai keledai nan bodoh
mengangkut berkarung kesalahan tak senonoh
tapi mereka tak paham, terus berjalan
ke mana arah dilangkahkan?

persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
gedung itu bisu. kau kian tambah bisu
hati kelu menimbun beribu-ribu, dan
barisan mereka hanya bilang setuju!

Sidoarjo, 8/6/2010

*) Aming Aminoedhin, staf Balai Bahasa Surabaya, penggagas Malam Sastra Surabaya (Malsasa). Penyair, tinggal di Mojokerto

**) termuat di Jawa Pos Minggu, 22 Agustus 2010.

Senin, 09 Agustus 2010

MARKUS SASTRA JAWA, ADAKAH?

MARKUS SASTRA JAWA, ADAKAH?
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS)

artikel ini dimuat di harian pagi Radar Surabaya, Minggu, 8 Agustus 2010. Rubrik Horizon, di halaman 7.


Beberapa waktu yang lalu ada beberapa artikel yang menyoal tentang perhelatan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V terpublikasi. Mereka itu antara lain dari pikiran birokrat peduli sastra Jawa, yaitu Tirto Suwondo (kepala Balai Bahasa Yogyarkata). Dia menulis di koran Jawa Pos, menyoal tentang persiapan KBJ V yang dirasa belum terasa maksimal tersebut.
Ada juga ada Beni Setia, Aming Aminoedhin, Bonari Nabonenar, dan W. Haryanto, yang tulisannya termuat di koran Kompas, Radar Surabaya, Jawa Pos, Kompas dan Radar Surabaya. Hampir semua artikel mempertanyakan persiapan KBJ V yang akan diselenggarakan Pemprov Jawa Timur.
Pada ranah majalah berbahasa Jawa, juga ramai bermunculan tulisan gonjang-ganjing persiapan KBJ V. Tak urung penulis asal Tulungagung, Sunarko ‘Sodrun’ Budiman, ketua Sanggar Triwida, menulis tentang adanya markus Bahasa Jawa dalam jagad sastra Jawa. Narko menulis adanya markus tanpa menyebut nama seseorang. Artikel Sodrun berjudul, Mapag KBJ V, Markus Basa Jawa, Sumono Gugat, dimuat di PS, No. 18, 1 Mei 2010.
Dari tulisan itu, kemudian ditanggapi, Bonari Nabonenar, ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), dengan judul artikel ‘Bonari Nabonenar Markus-e Basa Jawa?’ dimuat di PS No. 20, 15 Mei 2010.
Artikel yang ditulis dalam bahasa Jawa tersebut, Bonari merasa seperti tertuduh sebagai markus, padahal secara eksplisit Sodrun tidak menuduh nama seseorang. Bahkan dalam tulisan itu pula, Bonari tidak lagi hanya bicara soal markus bahasa Jawa, tapi juga menyangkut masalah penghargaan sastra Rancange yang konon pada tahun ini, dia akan mendapatkan hadiah tersebut. Meskipun hadiah itupun, hanya pengalihan dari RM Yunani yang kebetulan meninggal dunia. Sehingga harus dialihkan kepada seseorang yang masih ada (baca: hidup), dan kemudian terpilihlah Bonari. Sebab penerima hadiah Rancage tidak mungkin diterimakan kepada orang telah meninggal dunia.
Bonari, sang calon penerima Hadiah Rancage tahun ini, saya pikir panitia pemilihan Hadiah Sastra Rancage tidaklah salah pilih. Sebab, betapa pun sang Bonari memang telah malang-melintang di ranah sastra Jawa berpuluh tahun. Bahkan mungkin telah sampai berdarah-darah! Menulis cerkak dan guritan, juga punya jam terbang cukup lama. Lantas menangani PPSJS telah bertahun lamanya. Meski sekarang ini, PPSJS mungkin kurang ada gaungnya, lantaran program Lomba Baca Guritan se-Jatim yang harusnya dua tahunan digelar tak juga digelar. Namun sang Bonari masih bersedia jadi ketuanya. Sebab selama ini, hampir semua orang di komunitas PPSJS ini, menolak jika dipilih jadi ketua.
Apabila Bonari, bersama Keliek Eswe sebagai sang penggagas Kongres Sastra Jawa (KSJ) Solo dan Semarang, yang dinilai banyak orang sebagai tandingan KBJ III dan IV pada tahun-tahun sebelumnya, itu pun bukanlah salah, apa lagi dosa. Namun malah merupakan sebuah kerja kreatif, kompetitif, dan sekaligus kritik bagi penyelenggara KBJ.
Membaca beberapa artikel yang ramai menyoal KBJ V Surabaya, yang antara lain: bicara soal sastrawan Jawa masuk sekolah, persiapan yang belum matang, belum terimplementasikan hasil KBJ terdahulu, dan ramainya sastra Jawa di majalah bahasa Jawa soal markus sastra Jawa; barangkali perlu direspons positif oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur. Betapa pun wacana tentang KBJ V Surabaya memang perlu dipersiapkan secara matang.
Menyosong Kongres Bahasa Jawa 2011, tugas utama kita memang agar semua manusia Jawa tetap ‘nguri-uri’ (melestarikan) bahasa Jawa. Toh yang punya gawe juga Pemda Jatim, DIY, dan Jateng. Menyongsong KBJ V selayaknyalah para Panitia Penyelenggara mempersiapkan kegiatan itu secara maksimal, dan tidak hanya seremonial belaka. Sebab biayanya, konon, milyaran rupiah!
Barangkali kita tak perlu mempersoalkan lagi adakah markus sastra Jawa di negeri ini, tapi bagaimana kita bisa nyengkuyung (bersama-sama) mempersiapkan dan melaksanakan KBJ V ini dengan nurani hati. Tidak syak wasangka kepada sesama. Dan bekerja dengan hati terbuka hati pun membunga! Hasilnya, pasti KBJ V akan sukses terselenggara! Mari!

Desaku Canggu, 7 Juni 2010

Jumat, 06 Agustus 2010

Pelukis Yang Penyair Jatim

Obituari M Thalib Prasodjo
Pelukis yang Penyair Jatim
Jumat, 6 Agustus 2010 | 14:08 WIB

Oleh Aming Aminoedhin

Hari (4/8) Rabu pagi, saat ikut takziah mengantarkan M Thalib Prasodjo (pelukis/sketcher) ke pemakaman umum di Taman Praloyo, Jalan Lingkar Timur, Sidoarjo, saya bertemu beberapa seniman dan pelukis. Mereka antara lain Akhudiat, Sabrot D Malioboro, Henry Nurcahyo, Wadjie MS, Cak Poeng, Dhargandhen, Surachman KS, dan Haryadjie BS.
Dari pertemuan tersebut, yang paling menarik dan berkesan atas ketokohan Mbah Thalib adalah berbincang dengan Harryadjie BS. Pasalnya, ketika saya menanyakan tentang puisi-puisinya, dia menjawab sekarang tidak lagi bisa menulis puisi. Namun, ia lebih sering menanam pohon di berbagai hutan di berbagai kota, antara lain Lumajang, Malang, dan Lamongan.
Hal itu hanya sebagai ilustrasi betapa ingatan saya meloncat ke 17 tahun lalu, tepatnya 1993, ketika saya (sebagai anggota Biro Sastra DKS) membuat kumpulan sajak pelukis bertajuk Jembatan Merah yang diterbitkan Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Harryadjie BS adalah salah satu penyair yang bergabung dalam kumpulan tersebut. Kumpulan sajak pelukis yang sangat sederhana tersebut memuat 40 judul puisi yang ditulis para pelukis. Mereka adalah Abdul Kadir Zaelani (alm) yang menulis 7 puisi, Rudi Isbandi 8 puisi, Harryadjie BS 7 puisi, Hardjono WS 11 puisi, dan Wiwiek Hidayat (alm) 7 puisi.
Tidak hanya puisi yang termuat dalam kumpulan sajak Jembatan Merah, tetapi kumpulan sajak ini juga memuat sketsa-sketsa M Thalib Prasodjo. Selain sketsa bergambar Jembatan Merah yang dijadikan sampul kumpulan sajak, sketsa-sketsa beliau juga termuat.
Fakta tersebut membuktikan bahwa M Thalib Prasodjo memang benar-benar seorang sketcher sejati. Pada waktu itu saya hanya mendapatkan fotokopiannya, tetapi beliau mau meminjamkan sketsanya guna melengkapi tampilan kumpulan sajak para pelukis Surabaya ini.
Tidak hanya itu, Mbah Thalib pernah pula bercerita tentang sosok Markeso (alm), ludruk garingan yang kerap kali mampir di DKS. Beliau mengatakan, Markeso tidak pernah minta uang, tetapi selalu menggunakan sanepan (sindiran) dengan mengatakan, "Mbah, bojoku gorung nempur hari ini (Mbah, istri saya belum beli beras hari ini)." Dengan mengatakan kalimat itu, Mbah Thalib tahu bahwa Markeso tidak punya uang. Maka, beliau pasti akan memberikan uang meski tidak banyak jumlahnya, tetapi yang pasti bisa buat membeli 2-3 kilogram beras. Mbah Thalib sungguh seniman yang tahu kesulitan seniman lain.

"Jembatan Merah"
Kembali bicara masalah kumpulan sajak pelukis Jembatan Merah (Biro Sastra DKS, 1993). Menghimpun sajak-sajak pelukis ini memang amat sulit. Ide dan rencana ini sudah lama sekali, tetapi naskah yang masuk ke Biro Sastra DKS teramat lambat.
Menarik untuk dicatat pula, ketika kumpulan sajak ini digelarpentaskan di DKS, banyak yang bertanya mengapa nama pelukis sekaliber Amang Rahman tidak ikut dalam kumpulan puisi ini. Padahal, Amang juga menulis banyak puisi. Syukurlah, saya telah menjawabnya dalam pengantar, yang antara lain saya katakan, "Seperti misalnya Amang Rahman, tidak masuk dalam antologi ini-karena sudah berkali-kali ditagih karyanya, tak pernah memberi. Sayang sekali!"
Dari perjalanan panjang sastra Indonesia, nama pelukis yang juga menulis sastra (terutama puisi) memang tidak banyak jumlahnya. Di Jatim, misalnya, ada Trisno Sumardjo, Rudi Isbandi, Amang Rahman, D Zawawi Imron, Mh Iskan, Wiwiek Hidayat, Hardjono WS, Harryadjie BS, Abdul Kadir Zaelani, dan mungkin masih ada lagi tetapi tidak tercatat di tulisan pendek ini.
Dari pelukis yang penyair di Jatim yang tidak banyak jumlahnya tersebut, ternyata ada juga yang peduli dan rela puisinya dibukukan dalam kumpulan puisi sangat sederhana tersebut. Jembatan Merah, yang diprakarsai Biro Sastra DKS waktu itu, sungguh sebuah dokumentasi sastra yang agak berbeda dengan lainnya. Kumpulan sajak yang ditulis pelukis lengkap dengan ilustrasi sketsanya. Terima kasih, Mbah Thalib, yang telah banyak ikut berkiprah merealisasikan semua ini.
Mengakhiri tulisan ini, barangkali menarik apa yang ditulis Rudi Isbandi dalam larik-larik puisi berjudul "Rumah Sakit Simpang": Tak ada yang kekal memang. Tak ada yang tiba dan yang pergi silih berganti hari demi hari memanjang menjadi kenyataan kehidupan memberikan suka-duka dan bahagia (dari Jembatan Merah, halaman 14) Selamat jalan Mbah Thalib, semoga Allah SWT menerima segala amal ibadah dan mengampuni segala dosa. Amin!

Aming Aminoedhin Penyair, Tinggal di Desa Canggu - Mojokerto

diunduh dari Kompas Jatim Online, 6 Agustus 2010

Rabu, 02 Juni 2010

SURABAYA SURABAYA

SURABAYA KEHILANGAN JATI DIRI
oleh: aming aminoedhin*

artikel ini termuat di koran Radar Surabaya edisi khusus menyambut Ultah Kota Surabaya 717 -- Senin, 31 Mei 2010

Menurut asumsi hampir semua orang di Indonesia, bahwa kota Surabaya, adalah kota kedua di Indonesia, setelah yang pertama Jakarta, sebagai ibu kota negara. Sebagian yang lain, ada juga berasumsi bahwa kota Surabaya, bukan lagi kota kedua, tetapi sebagai kota peringkat enam terbesar di Indonesia. Mengapa demikian? Karena di atas kota Surabaya, ada lima kota lainnya, yaitu: Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan ada Jakarta Timur. Sehingga sebagai kota terbesar di Indonesia, kota Surabaya hanya menduduki peringkat keenamnya.
Terlepas dari persoalan Surabaya sebagai kota kedua atau keenam, yang pasti Surabaya sebentar lagi akan ada pilihan walikota baru. Para kandidatnya sekarang lagi kampanye, agar benar-benar jadi walikota. Bahkan Surabaya, tahun ini, telah sudah 717 tahun usianya. Surabaya, kota besar setelah Jakarta, terus saja berbenah mengejar ketertinggalannya. Meski belum punya bus-way, seperti Trans Jakarta dan Trans Yogya. Meski pun belum punya kereta rel listrik (KRL), tapi Surabaya sudah punya ‘komuter’, kereta angkutan penumpang murah-meriah bagi warga masyarakatnya. Lantas baru-baru ini ada jembatan terpanjang di Indonesia bernama “Suramadu” yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura.
Sebagai kota besar yang konon berjaya di sebagai kota kedua atau keenam ini, infrastrukturnya pun cukup memadai. Surabaya mempunyai pelabuhan besar ‘Tanjung Perak’ guna mendukung laju perkembangan kotanya. Belum lagi, Surabaya, juga mempunyai bandara internasional ‘Juanda’, lantas jalan-jalan tol yang terus dibangun, terminal bus antarkota ‘Purabaya’ yang representatif sarana dan prasarananya. Belum lagi banyaknya gedung-gedung menjulang berupa mal-mal, pusat perkantoran, hingga plaza, pasar swalayan, hotel, dan seabreg rumah-rumah susun yang dibangun.
Bahkan konon, Surabaya, sebagai kota besar juga punya julukan yang tidak tanggung-tanggung, katanya sebagai kota nomor wahid soal pelacurannya.
Apakah ini benar? Masih perlu penelitian lebih mendalam. Tapi jika mau melihat kenyataan, memang sebenarnya bisa dibenarkan. Karena hampir di semua sudut kota ini, banyak sekali praktik-praktik pelacuran. Dari yang hanya berdiri di pinggir jalan, pinggir rel kereta api, ruang-ruang tunggu terminal, dan bahkan yang terang-terangan, seperti kawasan: Dolly, Njarak, dan Kremil. Belum lagi, praktik-praktik pelacuran yang di hotel-hotel, kost-kosan, dan banyak lagi.
Bahkan kini Surabaya sedang ngebut menata-garap jalan Ahmad Yani sisi timurnya, yang konon nantinya akan dijadikan satu arah menuju selatan. Konon, juga akan digarap jalur bus-way, dan kereta mono-rail? Wah.... Surabaya kian mempesona, jadinya!
Surabaya, memanglah kota hebat, sehebat pahlawannya yang mengusir para penjajah yang mencoba kembali memasuki negeri ini.
Pada ulang tahunnya ke-717, angka yang sangat cantik layaknya nomor cantik telepon seluler ini, adakah yang hilang dari kota ini?

Benarkah ini kota Surabaya?

Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang kawan dari Ngawi yang datang ke kota Surabaya. Dalam pembicaraan malang-melintang tersebut, termasuk di antaranya bicara kangen-kangenan tentang kota Ngawi yang sepi, masjid (yang sebenarnya cagar budaya) telah diambrugkan, bicara pula kawan-kawan lama yang tak lagi bersua. Kawan-kawan yang kini telah jadi kaya, lantas kawan yang tetap setia dengan idealismenya, dan ada juga pembicaraan tentang bahasa. Berbicara tentang item yang terakhir, yaitu bahasa inilah, yang kemudian saya jadi terjaga.
Mengapa terjaga? Karena pertanyaan yang dilontarkan kawan lama saya tersebut adalah, “Apakah orang kota Surabaya ini, sudah tidak bisa berbahasa Indonesia lagi?”
“Lho, memangnya kenapa?” tanya saya kemudian.
“Ming, aku memasuki Surabaya kini, seperti memasuki kota di luar negeri!” katanya kalem, tanpa ekspresi.
“Lantas apanya yang luar negeri!” tanyaku mendesak.
Dengan berbisik menggelitik dia mengatakan bahwa Surabaya kini, sudah keinggris-inggrisan, padahal masih tetap ada tukang becak, ada pasar loak, ada wilayah kumuh (jika tak boleh dikatakan rusuh). Ini kan lucu? Lihatlah, dengan mentereng di jalan-jalan protokol itu, bahasanya sangat Inggris. Sebut saja misalnya: Cito (City of Tomorrow) yang di atasnya tertulis FIRST, Jatim Expo International, Hypertmart Royal Plaza, Giant Hypermarket, Carrefour, Dramo Trade Centre, Mercure Hotel, Mc. Donald, Kentucky FC, Tunjungan Plaza, The Empire Palace Hotel, BRI Tower, BG Junction, JW Marriot Hotel, Sheraton Hotel, Garden Palace Hotel, Citraland, dan seabreg nama-nama yang semuanya menggunakan bahasa Inggris. Belum lagi ada nama-nama Kentucky Fried Chicken, Mc. Donald, Texas Fried Chicken, dan banyak lagi lainnya.
Dari keterangan kawan lama tersebut, saya benar-benar terjaga. Ternyata, memang benar, kota Surabaya, telah jadi kota yang kehilangan jati diri, sebagai kota yang berada di Indonesia. Semuanya hampir berlabel bahasa Inggris, lantas benarkah ini kota Surabaya? Dari sini kemudian muncul tanya, siapakah yang harus disalahkan? Balai Bahasa Jawa Timur? Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Indonesia? Walikota? Atau Gubernur?
Saya tak tahu jawabnya?


Surabaya, Jelang Ultah 717

Senin, 19 April 2010

ceramah sastra di unipa

CERAMAH SASTRA DI UNIPA SURABAYA

Jumat siang (16 April 2010), sekitar pukul 14.00. WIB. ada kegiatan ceramah sastra di Universitas PGRI Adi Buana, jalan Ngageldadi Surabaya. Tampil sebagai narasumber M. Shoim Anwar yang bicara soal bagaimana menulis cerita pendek, dan Aming Aminoedhin bicara soal menulis dan baca puisi.
Kegiatan semacam lokakarya ini dilanjutkan esok harinya, Sabtu (17/4/2010) dengan acara praktik penulisan puisi dan cerpen, yang dibimbing oleh para dosennya sendiri.
Sebanyak lebih kurang 100 peserta ikut gabung dalam acara ini, yang terdiri dari guru dan mahasiswa.
Acara ceramah jadi manarik saat Shoim bermonolog dengan contoh pembuatan cerpennya, sedang Aming membaca salah satu puisi berbahasa jawanya, berjudul 'Dhuk Anakku Wadon' dan 'Berjamaah di Plaza'.
(amg-amd)***

Minggu, 18 April 2010

KARTINI, BUMI DAN SASTRA

KARTINI, BUMI, DAN SASTRA
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), koordinator Malsasa
Dimuat koran Radar Surabaya, rubrik Horizon, Minggu 18 April 2010


Apa hubungannya Kartini, Bumi, dan Sastra? Pertanyaan itu memang wajar dimunculkan, sebab ketika kita memasuki bulan April yang diingat masyarakat adalah Hari Kartini. Pendekar emansipasi wanita negeri ini. Padahal, di bulan April, ada peringatan hari besar lainnya yaitu Hari Bumi dan Hari Sastra. Namun demikian, banyak orang tidak tahu adanya dua peringatan yang saya sebut terakhir. Ironis memang!

Hari Kartini

Beberapa waktu yang lalu di harian Kompas (Minggu, 21/3/2010) saya baca berita tentang ‘Gairah Mendaki di Usia 50 Tahun” yang di dalam laporannya mengisahkan tentang kegairahan para perempuan berusia lebih dari 50 tahun tetap melakukan pendakian gunung, lantaran hobby mereka sejak masih muda. Komunitas itu ada dua, yaitu Fit@Fifty dan Kartini Petualang (Karpet). Bahkan mereka para pendaki perempuan ini akan merencanakan pendakian Gunung Himalaya, dan merayakan Hari Kartini, 21 April 2010 di puncaknya.
Dari berita ini membuktikan bahwa perempuan itu bukanlah sebagai kanca wingking belaka, teman di belakang suami saja, adalah benar! Buktinya, mereka juga bisa beraktivitas tanpa harus merengek pada suaminya. Mendaki gunung bersama sesama kaum perempuan lain, bahkan ketika mereka telah berusia di atas 50 tahun.
Kata perempuan mempunyai konotasi wanita. Jika wanita, bisa diartikan dalam bahasa Jawa wani ditata, berani ditata; maka kata perempuan, yang berasal dari kata empu dan puan, lebih berkonotasi lebih terhormat katimbang wanita. Sebab kata empu, berarti gelar kehormatan yang berarti tuan atau seorang ahli (utamanya keris), dan puan, berarti tempat sirih dari emas atau perak. Perempuan, artinya orang yang harus dihormati, dan harganya cukup mahal karena layaknya emas, yang termasuk barang mulia. Maka, perempuan seharusnya dihormati dan dimuliakan.
Perempun di negeri kita, Indonesia, hampir semua mengidoalakan perempuan bernama Kartini. Pahlawan bangsa, yang telah memperjuangkan kesejajaran (emansipasi) antara perempuan dan lelaki. Kartini, juga seorang yang telah berjuang agar para perempuan juga mendapatkan pendidikan, seperti layaknya kaum lelaki.
Bila kita mau menerjemahkan agak luas lagi, kata perempuan identik juga ibu. Sedangkan kata ibu, mempunyai keampuhan makna tersendiri. Betapa tidak? Bayangkan, ketika dalam bahasa Indonesia, ada kata Ibu Jari, Ibu Pertiwi, Hari Ibu, Ibu Negara, Ibu Peri, dan Ibu Kota, dan mungkin masih banyak lagi. Jika kata-kata tersebut kita coba untuk dipertentangkan, maka tidak akan pernah ada kata: Bapak Jari, Bapak Pertiwi, Hari Bapak, Bapak Negara, Bapak Peri, dan Bapak Kota.
Kata-kata tersebut meyakinkan kepada kita semua bahwa perempuan yang identik dengan ibu itu memanglah hebat atau ampuh, seampuh sebutannya perempuan. Ini sekaligus memperkuat komitmen Nabi Besar Muhammad SAW, yang meletakkan Ibu pada urutan satu sampai tiga dalam menghormati dan selalu memuliakannya. Baru kemudian angka keempatnya, disebutkan Bapak.
Perempuan, tidak selamanya lemah, terbukti ada para perempuan yang berusia 50-an tahun ke atas masih tetap tegar, dan akan mendaki gunung Himalaya, dalam peringati Hari Kartini tahun ini. Perempuan, itu bisa jadi pemimpin yang tangguh. Selamat berhari Kartini, dan janganlah para perempuan selalu merasa lemah. Bergairahlah, seperti para perempuan komunitas Fit@Fifty dan Karpet itu.

Hari Bumi

Mengingat tanggal 22 April 2010 ini adalah Hari Bumi Internasional, maka selayaknyalah kita mengingatkan kembali kepada warga masyarakat Indonesia, termasuk diri kita sendiri; untuk tidak berbuat kerusakan di bumi ini.
Persoalan lingkungan hidup memang terkadang dilupakan begitu saja, dan bahkan manusia baru sadar ketika bencana itu datang dengan tiba-tiba. Banjir, misalnya; yang menenggelamkan ribuan rumah-rumah penduduk. Menelan korban bagi manusia yang tak sempat mencari selamat, karena banjir datang tiba-tiba. Begitu pula tanah longsor yang mengubur manusia hidup-hidup dalam sekejap saja. Lebih lagi bencana gempa seperti tsunami di Aceh, yang menyapu bersih ribuan manusia dan rumah-rumahnya. Begitu cepat, begitu tiba-tiba.
Sungguh, semua itu adalah tanda-tanda kebesaran Ilahi, dan sekaligus pertanda bahwa manusia tidak boleh berbuat kerusakan di muka bumi ini. Manusia, seharusnya merawat bumi, agar bumi tetap lestari dan tetap nyaman dihuni bagi manusia berikutnya, dari generasi ke generasi. Mari lestarikan bumi, dengan mewajibkan seorang anak manusia menanamkan satu pohon, pada peringatan Hari Bumi tahun ini.
Mengingat Hari Bumi berarti kita harus menyadari bahwa dunia semakin tua, tak layak bagi kita membuatnya kian renta, kian runyam, dan kita tetap berbuat kerusakan bagi alam sekitar. Tidak! Tidak harus begitu! Mari bersama kita menanam pohon di kota, agar kota juga bisa bernafas lega. Punya jantung atau paru-pru kota, bernama hutan kota. Bersihkan pula sungai dari kotoran dan limbah, agar kota kian jadi indah.

Hari Sastra

Tidak banyak yang tahu, bahwa pada tanggal 28 April adalah peringatan Hari Sastra, yang mana pada tanggal itu tahun 1949 lalu, merupakan tanggal wafatnya sang penyair binatang jalang, Chairil Anwar.
Meskipun penetapan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra menuai pro-kontra dari para sastrawan pada waktu itu, tapi yang pasti banyak para mahasiswa fakultas sastra di berbagai perguruan tingggi, akan tetap memperingatinya. Mengapa demikian? Karena Chairil Anwar merupakan tonggak kepenyairan Indonesia di zamannya, dan tetap diakui hingga sekarang ini.
Bahkan kritikus sastra, yang berpredikat paus sastra Indonesia, HB Jassin; sang penyair Chairil Anwar, atau yang punya predikat si binatang jalang itu, telah dinobatkan sebagai tokoh Angkatan ’45 dalam sastra Indonesia. Chairil, dari catatan Jassin. ternyata selama periode tahun 1942 hingga 1949 hanya membuat 70 puisi asli tulisannya sendiri, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Tidak banyak ternyata! Tapi namanya sangat melambung tinggi ke langit peta sastra Indonesia. Begitu pula karyanya, melebihi usianya yang tidak panjang itu, bahkan puisinya berjudul ‘Aku’ telah melampaui abad terdahulu. Dari abad 20 ke abad 21.
Untuk mengingatkan kembali puisi berjudul ‘Aku’ itu, kami muatkan puisinya secara utuh dalam tulisan ini. Berikut ini adalah bait-baitnya: Kalau sampai waktuku/’Ku mau tak seorang ‘kan merayu/Tidak juga kau// Tak perlu sedu sedan itu//Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang//Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri//Dan aku akan lebih tidak perduli//Aku mau hidup seribu tahun lagi//Maret 1943.
Menyimak isi yang tersurat dan tersirat dalam puisi itu, seseorang akan merasakan betapa seorang Chairil, memang sosok pahlawan yang pantang menyerah. Bahkan rayuan apapun tak akan menggoyahkan kemauannya untuk terus melangkah. Begitu pula, jika ada peluru yang akan merobektembuskan tubuhnya, ia akan tetap meradang menerjang demi kemauan citanya itu. Ada luka ada bisa, tetap meneguhkan hati untuk tetap berlari, meraih cita hingga perih luka jadi sirna. Tidak perduli! Chairil, kemudian mengunci puisinya dengan kalimat: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Sebuah semangat berjuang yang terasa tak pernah mau mati.
Perjuangan Kartini perlu diteladani, bumi harus dijaga lestari, dan semangat Chairil Anwar tak harus mati di bumi Indonesia tercinta ini.

Desaku Canggu, 11 April 2010

Selasa, 12 Januari 2010

BERITA MALSASA 2009


MASIH DIHUNI MUKA LAMA

Oleh : Risang Anom Pujayanto

”Sebagian besar sastrawan Surabaya dihasilkan dari lomba baca puisi, tapi lomba baca puisi 2009 kemarin seperti tidak ada yang bisa diharapkan untuk memunculkan nama baru di kancah kesusastraan daerah maupun nasional,” kata Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Sabrot D Malioboro saat memberikan sambutannya di acara Malam Sastra Surabaya (Malsasa) 2009, di pendapa Taman Budaya-Jatim (29/12). Malsasa 2009 diharapkan dapat kembali memotivasi geliat kesusastraan Surabaya ke depan, lanjutnya.
Seperti Malsasa 2007 yang bertajuk ’Surabaya 714’, Malsasa 2009 juga menggelarpentaskan puisi dan geguritan. Hanya saja cerita pendek (cerpen) atau cerita cekak (cerkak) tidak kembali ditampilkan. Ini bukan menjadi masalah karena konsep awal Malsasa yang dilakukan sejak tahun 1989 memang adalah sekumpulan penyair untuk turut berpartisipasi merayakan hari jadi kota pahlawan. Dengan versi khas penyair, mereka menulis dan membacakan puisi.
Khusus Malsasa 2009 yang dilaksanakan di pendapa Taman Budaya-Jatim ini diikuti oleh 26 penyair dan penggurit dari 11 kota di kawasan Jatim. Penyair dan penggurit dari Banyuwangi, Blitar, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Caruban, Surabaya, Malang, Ngawi, Madiun dan beberapa kota lainnya, selain berkumpul untuk mempersembahkan sesuatu untuk kota Surabaya, ajang ini juga menjadi ajang menjalin tali silahturrahim antar-seniman Jatim.
Beberapa nama yang ikut dalam barisan Malsasa 2009 ini. Antara lain; AF Tuasikal, Akhudiat, Anas Yusuf, Aming Aminoedhin, Bagus Putu Parto, Bambang Kempling,Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Beni Setia, Fahmi Faqih, Hardho Sayako SPB, Herry Lamongan, J F X. Hoery, Kusprihyanto Namma, Tan Tjin Siong, Tengsoe Tjahjono, Rusdi Zaki, Ribut Wijoto, R Giryadi, Sabrot D Malioboro, Samsudin Adlawi, Suharmono Kasijun, Pringgo HR, Puput Amiranti, W Haryanto, dan Widodo Basuki.
Sementara sebagai variasi pemeriah acara Malsasa 2009, Sanggar Alang-Alang pimpinan Didit HP juga turut mengisi acara. Dengan alat tradisional, mereka memainkan irama lagu-lagu daerah Jatim. Dua penari semakin melengkapi acara kesenian malam itu menjadi menjadi semakin meriah.
Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya, Aming Aminoedhin menjelaskan, Malsasa 2009 ini dimaksudkan untuk kembali membisikkan sastra kepada telinga masyarakat. Pasalnya, gaung sastra di Surabaya dan Jawa Timur kurang terdengar lagi. Suaranya sangat lirih. Kalau pun ada, gregetnya masih melingkupi area intern.
”Saya tidak melihat signifikansi penyelenggaraan kegiatan sastra di Jawa Timur, khususnya di Surabaya,” tegas Aming Aminoedhin.
Sejatinya, penyelenggaraan sastra di Surabaya dan Jatim tidak bisa dikatakan minim. Tercatat setiap bulan ada diskusi sastra dalam ’Halte Sastra’. Baru-baru ini, Festival Seni Surabaya 2009 juga menggelar lomba nembang macapat, lomba geguritan, dan lomba maca crita cekak dengan bahasa Jawa Suroboyoan. DKS juga menggelar baca puisi pada pertengahan Desember 2009. Sementara di tingkat Jatim ada Festival Bazar Tantular yang diselenggarakan di Museum Mpu Tantular. Dalam festival ini juga masih mengikutkan bidang sastra. Kendati begitu, kata Aming, tidak adanya output yang jelas dalam semua pagelaran sastra tersebut membuat sastra tidak terlihat ketimbang seni-seni lainnya.
”Barangkali fakta kegiatan tersebut sanggup membuktikan bahwa sastra Jawa Timur tidak lesu darah. Hanya gaungnya saja yang kurang bergairah,” kata pria yang pernah dijuluki sebagai ’Presiden’ Penyair Jatim itu.
Melihat acara Malsasa 2009 dapat dikatakan terdapat beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama, penyair dan penggurit yang berpartisipasi merupakan seniman sastra senior. Kedua, semacam aktualisasi diri karena ternyata ada penyair atau penggurit yang mampu membacakan masing-masing karyanya dengan baik. Ketiga, sastra Surabaya dan Jatim masih berhenti pada lingkaran genre persajakan. Sempat keluar, berkembang, tapi kembali lagi. Bagi sastrawan Surabaya; sastra adalah puisi, tanpa kebalikan. Keempat, semangat tinggi sastrawan Jatim tak pernah mati.
Khusus pernyataan terakhir, bahwa dikatakan semangat tidak pernah mati karena kegiatan Malsasa meskipun berbekal dengan dana minim, terlebih didanai secara mandiri, tetapi perhelatan acara Malsasa 2009 masih bisa berlangsung dengan lancar dan meriah.
”Dari dulu untuk membuat buku antologi puisi, Kami selalu patungan sendiri. Ini jika dikatakan sebagai proyek, maka proyek merugi. Meski begitu, Kami ingin membuktikan dedikasi Kami kepada dunia kesusastraan Surabaya dan Jatim,” papar Aming Aminoedhin. Setidaknya, Malsasa 2009 mampu memberi warna baru dan sanggup membuat angin segar dalam peta pentas sastra Surabaya dan Jatim, imbuhnya.
Upaya mengadakan Malsasa 2009 ini tidak sia-sia. Teknik pembacaan puisi yang meliputi penampilan panggung, vokalisasi, ekspresivitas sangat mendukung suasana atas teks. Aming Aminoedhin, misalnya. Eksplosivitas pembacaan puisi Aming yang meledak-ledak dengan suara menggelegar, kadangkala disertai dengan satu kakinya terangkat di atas kursi menunjukkan bahwa puisi merupakan persoalan serius yang mencengkeram problematika kehidupan.
Sementara Sabrot D Malioboro sebaliknya. Kelugasan teknik pembacaan menjadi kekuatan tersendiri dalam mentransfer isi puisi yang diharapkan kepada pendengar. Mendayu-dayu, tenang seolah berada di tanah lapang yang penuh kebebasan. Bebas mencerap apa saja tanpa ketakutan. Baris kata cinta itu membahana di samudera luas. ’Bulan berlayar.’
Lain Aming Aminoedhin, lain Sabrot D malioboro, lain pula Akhudiat. Salah satu sesepuh Bengkel Muda Surabaya itu menggunakan kekuatan prolog sebagai penghantar masuk ke dalam pembacaan puisi. Persoalan kiamat 2012, teleskop hubble, dan kelakar cerdas merespon tata cara kesetiaan Aming dalam berpuisi pun terlontar dari mulutnya serupa gerbong panjang. Rentetan narasi sebelum dirinya membacakan salah satu puisi yang pernah dibuatnya.
”Ketika buih di laut menjelma kata Allah, dan di atasnya berdiri Aming yang sedang membaca puisi,” begitu akhir prolog Akhudiat.
Berbicara Malsasa, sejatinya tema yang diangkat berkisar tentang lingkungan dan habitus Surabaya. Entah berkisar tentang kebersihan, kesemerawutan, kekumuhan, kekasaran, sumpah serapah kota, keserakahan, sejarah dan sebagainya asalkan akrab dengan keSurabayaan.
Dan, antologi puisi Surabaya Kotaku di tahun 1989 yang di dalamnya ada nama-nama sastrawan besar seperti Aming Aminoedhin, Ang Tek Khun, Viddy Alymahfoedh Daery, Roesdi-Zaki, Jil P Kalaran, Pudwianto, dan Herry Lamongan menjadi peletak tradisi Malsasa yang digelarpentaskan hingga saat ini. Namun karena watak dasar seorang seniman yang tak mau dikotak-kotakan, maka tematik ini pun menyebar ke berbagai arah, seperti percintaan, daun, bulan, mentari, gunung, bahkan kata dengan segala keampuhan daya ungkapnya.
”Ijinkan Saya membuka Malsasa 2009 ini dengan puisi Akhudiat yang berjudul Keindahan Ada Di Mana-Mana,” kata Aming Aminoedhin. Bersama kita buka majelis puisi ini, Selamat Menikmati. (b2)
________________
Sumber: Surabaya Post, Minggu 3 Januari 2010


diunduh dari blognya fahmi faqih.

Minggu, 10 Januari 2010

PUISI-PUISI AMING AMINOEDHIN

aming aminoedhin
KUSIMPAN KANGEN INI

kusimpan kangen ini
kusimpan. ternyata aku tak bisa
tak bisa tak membuka
dan kubuka hati

membaca tanda atas status tertera
barangkali hanya kata usang
tak berubah, hingga petang
telah tiba kini

lama nian tak bersua
lantaran jarak mendinding antara
tapi dunia maya, antarkan
semua bisa bicara. ada sesuatu
begitu menggoda. lalu .........
sepi. begitu sepi, dan barangkali
hanya sejumlah doa
terucap tanpa terasa

ada sesuatu terkadang bisa lupa
ada sesuatu terkadang menghadang
termasuk jarak lokasi dan waktu
ada juga sebersit rasa ingin memburu
tapi hanya mimpi angan yang sirna
ditelan jarak dan waktu itu

kangen, bikin hidup kian gairah
meski mungkin hanya desah
ah......
kangenku kusimpan di ujung resah
pada hujan petang yang basah!

canggu, desember rain 2009

aming aminoedhin
GERIMIS TELAH HABIS

bila sesuatu kadang lupa
tak harus ada curiga
gerimis telah habis pada senja
ketika aku bersiap menangis
pada sesuatu terlupa

barangkali gerimis menipu kita
tanda setujunya berpuluh tahun lalu
hanya sekedar kata-kata
tak pernah ada. tak pernah ada
tanpa ada ujung dan juntrungnya

tapi gerimis telah habis
aku kehilangan angan menulis
senja berdiri hanya sunyi
selebihnya langit hitam
lorong jalanan, tak ada orang
lalu-lalang. begitu menakutkan

jarum jam tak bergerak
seperti aku dan kau
dibatasi waktu dan jarak

Siwalanpanji, 10 /12/ 2009


aming aminoedhin
MELANGKAH KE SURAU ITU

gerimis siapakah itu
membentur pada dinding waktu
senja memang telah berlalu
tinggal gerimis, dan kerdip lampu-lampu
dibalut kabut terasa syahdu

gerimis siapakah itu
mengetuk pintuku lantas berlalu

disc musik mozart mengalun
antarkan senja pada rembang petang itu
kadang menghentak kadang syahdu
membalutbangunkan angan rinduku
ada juga suara adzan terdengar
sayup-sayup di kejauhan
ajak langkahku menuju surau itu, lalu
kubunuh mozart menghentak syahdu

gerimis belum juga habis
kucari payung tak kutemu juntrung
gerimis terus saja jatuh
tak harus membuat hatiku kisruh

jika ada rinduku bertumbuh
biarkan tumbuh di surau-Mu

gerimis boleh menghadangku
tapi langkah rinduku tetap bermuara
pada-Mu, kaki melangkah ke surau itu

Desaku Canggu, 10 /12/ 2009

aming aminoedhin
TENTANG GURITA ITU


penghujung tahun langit warna kelabu
ada gurita bernama buku
mengganggu langkah
setiap jaga-tidur rakyatmu
tapi langkah bisa tak terarah
angin demokrasi telah berhembus
tak perlu risau atas semua itu

tahun baru perlu ada buku baru
barangkali bukan tentang gurita
tapi bisa tentang paus, raja-diraja ikan
yang berkuasa di samudra

tahun lalu biarkan berlalu
kita berbenah di tahun baru
menulis buku tanpa mengganggu
tidur-jaga rakyat yang berseteru
menulis buku demokrasi bukan democrazy
menulis buku politik bukan sekedar kritik
menulis buku tentang cinta sesama, lantas
menulis buku yang bermuara
atas kebesar-esaan-Mu

Mojokerto, 27/12/2009



Catatan: puisi-puisi di atas termuat di Jawa Pos, Minggu, 10 Januari 2010.

Jumat, 08 Januari 2010

MERIAH PENTAS MALSASA 2009

Meriah dan Sukses!
PENTAS KESEMBILAN
MALSASA 2009 DI TBJT SURABAYA


• Banyak bintang tamu ikut tampil baca puisi
• Dimeriahkan Sanggar Alang-alang – Didiet Hape



Catatan : Aming Aminoedhin



Angka sembilan merupakan angka terbesar nilainya, dibandingkan angka delapan, tujuh dan seterusnya. Tapi adakah angka sembilan pada pesta Malam Sastra Surabaya 2009 tahun ini benar-benar akan yang terbesar dalam perhelatannya? Sebuah tanya yang barangkali kita semua baru bisa menjawabnya, setelah pentas benar-benar digelar.
Hanya saja bahwa ketika pada tahun ini, 2009, acara Festival Seni Surabaya (FSS) dan Festival Cak Durasim (FCD) tidakdiselenggarakan, praktis acara sastra yang berlevel Jawa Timur berkurang. Karena kedua festival tersebut, biasa mengusung kegiatan sastra pada kedua aktivitasnya. Setidaknya kegiatan sastra yang melibatkan banyak penyair atau cerpenis sastra Jawa Timur beraktivitas (menonton acaranya atau ikut terlibat jadi panitianya), serta ikut tampil dan baca sastra, tidak ada lagi.

Sejalan dengan persoalan inilah, maka saya bersama komunitas FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), mencoba kembali menggelarpentaskan “Malsasa 2009” atau malam sastra Surabaya, betapa pun pahitnya. Karena kegiatan sastra yang didanai sendiri, hampir semua orang tahu pasti, adalah sebuah kegiatan yang merupakan projek merugi. Kegiatan ini pun, masih seperti tahun-tahun sebelumnya, membuat buku dan pentas sastranya, didanai secara patungan (urunan dana) oleh para penyair dan pengguritnya. Adanya Malsasa 2009 ini, sekaligus untuk menjawab atas tidak adanya kedua festival yang sudah cukup dikenal masyarakat Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Setidaknya ada sedikit angin segar yang akan mewarnai peta sastra Surabaya dan Jawa Timur.

Malsasa 2009 digelar pada penghujung tahun 2009, tepatnya 29 Desember 2009, bertempat di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya. Diawali dengan sambutan Ketua Dewan Kesenian Surabaya, Sabrot D. Malioboro. Lantas penyair, Aming Aminoedhin, sang penggagas Malsasa, sedikit memberikan cerita tentang sejarah awal kegiatan Malsasa yang digelar sejak tahun 1989 hingga tahun ini. Dilanjutkan kepala Taman Budaya Jawa Timur, Drs. Karsono M.Pd., memberikan sambutan, dan sekaligus membaca salah satu puisi karya penyair yang ada dalam kumpulan guritan dan puisi Malsasa 2009, yaitu puisi berjudul:


af. tuasikal
SUARA LIAR TERDENGAR


hari pertama

sesekali kita harus menengok ke bawah
tundukkan congkak lenturkan jiwa
suara liar terdengar mengunci langkah
ketika ku hanya lewat berlalu saja
tak hirau cermin di dinding hatiku

hari kedua

sesekali kita harus ulurkan tangan tanpa harapan
tumpahkan harta luluhkan serakah
suara liar terdengar mengunci langkah
ketika ku tetap lewat berlalu saja
tak hirau cermin di brankas hati ikhlas

hari ketiga

sebelum suara-suara liar terdengar
sebelum suara-suara mengunci langkah
ketika ku hanya lewat berlalu saja
ku coba berkaca pada cermin
di dinding hatiku
ku coba berkaca pada cermin
di brankas hati ikhlas

namun tak kutemukan apa-apa
di depan wajah yang hanya bias cahaya

hari keempat

tanpa mendengar bisikan
atau suara-suara liar terdengar
ketika ku hanya berlalu begitu saja
ku langsung berdiri di depan cermin itu
“kau menatapku dan aku menatapmu”
tanpa kedip berkedip aku tetap menatapmu
dan kau juga tetap menatapku
mungkin bisa dihitung dengan beberapa kedip berlalu
lalu tanpa berkata aku mendesah
kenapa tak kutemukan apa-apa
di depan wajah yang hanya bias cahaya
apa barangkali ada sekat di cermin hati
hingga bias cahaya
tak dapat tampak tertangkap mata
tak dapat tampak terbaca jiwa

hari kelima

tanpa suara-suara yang membuatku terjaga
ketika ku hanya berlalu tak hirau cermin itu
aku biasakan memandang bias diriku
meski hanya sekilas
ternyata banyak sesuatu terkupas

hari keenam

suara-suara itu tak ada lagi
yang ada hanya diam
di depan mata
memandang mata
membaca kaca
mengeja jiwa
menghitung alpa

hari ketujuh

suara itu datang lagi
“lenturkan jiwa
luluhkan serakah
cerminku adalah cermin hatimu
suaraku adalah suara hatimu
bercerminlah
sebelum kau melangkah
bercerminlah”

sidoarjo, 17--24 oktober 2008


Malsasa 2009 juga dimeriahkan oleh komunitas anak-anak “Sanggar Alang-Alang” pimpinan Didiet Hape, yang menyuguhkan komposisi angklung versi Jawa Timuran. Kata Didiet Hape, bahwa komposisi ini memang digarap dengan media angklung yang ada di Jawa Timur, yaitu angklung Banyuwangi, Ponorogo, dan Tengger-Bromo, Probolinggo. Ketiganya diramu dan kemudian ditampilkan apik di hadapan penonton Malsasa, malam itu. Lengkap pula dengan dua anak-gadis menari yang melanggak-lenggok dengan gemulainya. Sungguh sebuah seni pertunjukan yang menawan.
Malsasa 2009 benar-benar sebuah pentas sastra yang cukup menarik dan enak dinikmati. Tak urung, Arek Teve Surabaya dan Radio Suara Surabaya, juga meliput atas gelaran Malsasa tahun ini.
Setelah Drs. Karsono, membuka dengan baca puisi; dilanjutkan dengan beberapa penyair dan penggurit tampil membacakan puisi dan guritannya. Ada Tengsoe Tjahjono, Sabrot D. Malioboro, Suharmono Kasijun, Aming Aminoedhin, Bonari Nabonenar, Widodo Basuki, AF Tuasikal, W. Haryanto, Hardho Sayoko SPB, Kusprihyanto Namma, Akhudiat, Herry Lamongan, Bambang Kempling, Pringgo HR, dan Budi Palopo.

Sayang beberapa nama yang seharusnya ikut tampil harus absen, mereka itu: Anas Yusuf dan Beni Setia (Madiun), Samsudin Adlawi (Banyuwangi), R. Giryadi dan Rusdi Zaki (Sidoarjo), Fahmi Faqih, Ribut Wijoto dan Tan Tjin Siong (Surabaya), Bagus Putu Parto dan Puput Amiranti (Blitar), serta JFX Hoery (Bojonegoro). Namun demikian, ketidakhadiran mereka, tidak mengurangi semaraknya pentas Malsasa 2009 malam itu, karena ada beberapa bintang tamu yang banyak tampil malam itu: Pribadi Agus Santosa (mantan Kepala TBJT), Yudho Herbeno (penyair kawakan Surabaya), Alfiana Latief (guru dari SMAN 3 Ciamis-Jabar), Arieyoko dan Gampang (Bojonegoro), Aan Tjandra Anie Asmara dan Yanto (Surabaya).
Gaya baca puisinya pun berbeda-beda, Aming yang menghipnotis audiensnya. Sabrot baca datar tapi cukup menarik. Akhudiat, sebelum baca puisi malah berorasi. Kata Diat, ketika zaman sudah tanpa batas, campur bawur informasi yang tiada henti, Aming tetap mengajak baca puisi. Bahkan mungkin, kata Diat, ketika datang seperti zaman seperti Nabi Nuh, semua pulau tenggelam, maka Aming tetap baca puisi. Lantas dengan santainya, Diat membaca dua judul puisinya.
Lain Aming, Diat, dan Sabrot, Widodo Basuki sang penggurit, sebelum baca gurit melantunkan sepenggal tembang Jawa yang berupa doa. AF tampil bacakan puisinya Fahmi Faqih, selain baca dua puisinya sendiri. Sedang penggurit yang lain, Bonari Nabonenar, tidak baca gurit, tetapi malah mengajak rembugan setelah acara pentas Malsasa. Tapi, apa lacur, dia malah menghilang duluan, sedang yang lain masih rembugan.
Tiga penyair asal Lamongan, Bambang Kempling, Herry Lamongan, dan Pringgo HR tampil biasa saja. Kecuali Pringgo agak tampak memberi muatan seni dalam pembacaan puisinya. Kota Blitar, diwakili W. Haryanto baca dua puisinya, dan kota Malang, tampil Tengsoe Tjahjono yang juga dosen Unesa, tampil menarik di depan audiens yang lesehan memenuhi di pendapa Taman Budaya Jawa Timur itu.
Seperti juga Diat, Budi Palopo, tampil baca puisi dengan mengawali orasi dulu. Bicara soal keris dan semacamnya. Tapi Budi tampil apik dan menarik.
Sungguh pentas Malsasa 2009 ini cukup memuaskan para audiens yang hadir malam itu.



Malsasa dari waktu ke waktu

Ketika kita mau mengenang Malsasa-Malsasa sebelumnya, maka kita akan mencatat nama-nama pengarang seperti: Hardjono WS, Akhudiat, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Robin Al-Kautsar, Mh. Zaelani Tammaka, W. Haryanto, S. Yoga, Sirikit Syah, Adi Setijowati, Ida Nurul Chasanah, Debora Indrisoewari, Puput Amiranti, Suhandayana, Zoya Herawati. L. Machali, HU Mardiluhung, Tan Tjin Siong, Tubagus Hidayathullah, Surasono Rashar, Poedwianto Arisanto, Sigit Hardadi, Saiful Hadjar, Saiful Bakri, Arief B. Prasetyo, M. Shoim Anwar, Leres Budi Santosa, Mashuri, Jil Kalaran, Roesdi-Zaki, Redi Panuju,adalah nama-nama yang pernah ikut tampil di Malsasa.
Pada awalnya Malsasa hanya melibatkan penyair saja, lantas pada perkembangannya Malsasa juga melibatkan penggurit, bahkan juga cerpenis dalam buku Malsasa tersebut.
Sedangkan pada gelaran pentas Malsasa 2009, melibatkan 26 penulis sastra (pernyair dan penggurit) yang akan tampil akhir tahun 2009, di Taman Budaya Jatim. Nama-nama yang akan tampil adalah: AF Tuasikal, Akhudiat, Anas Yusuf, Aming Aminoedhin, Bagus Putu Parto, Bambang Kempling, Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Beni Setia, Fahmi Faqih, Hardho Sayoko SPB, Herry Lamongan, J.F.X. Hoery, Kusprihyanto Namma, Tan Tjin Siong, Tengsoe Tjahjono, Rusdi Zaki, Ribut Wijoto, R. Giryadi, Sabrot D. Malioboro, Samsudin Adlawi, Suharmono Kasijun, Pringgo HR, Puput Amiranti, W. Haryanto, dan Widodo Basuki.
Harapan pentas Malsasa ini adalah menjawab atas kurang adanya aktivitas sastra berlevel Jawa Timur pada tahun ini, dan sekaligus menumbuhkembangkan kembali pentas sastra di depan masyarakatnya. Karena sastra, tanpa sosialisasi secara pentas sastra semacam ini, kurang ada gaungnya. Meski saya sadar, bahwa tidak selamanya karena sosialisasi pentas sastra, mesti berhasil. Mesti bergaung! Tidak! Tidak selamanya!

Kegiatan ini juga diharapkan memicu kreativitas dan aktivitas penyair-penyair muda lainnya untuk juga tampil, dan sekaligus membuat kegiatan semacam Malsasa di waktu lainnya. Artinya, bahwa penyair muda Jawa Timur, haruslah juga mempunyai greget bersastra melebihi penyiar-penyair terdahulu. Semoga!
Kembali ke awal tulisan, yang mempertanyakan kebesaran pentas Malsasa 2009. Angka sembilan merupakan angka terbesar nilainya, dibandingkan angka delapan, tujuh dan seterusnya. Tapi adakah angka sembilan pada pesta Malam Sastra Surabaya 2009 tahun ini benar-benar akan yang terbesar dalam perhelatannya?
Jawabnya, memang selama Malsasa digelar dari waktu ke waktu, Malsasa ke-9 ini memang yang paling meriah. Selain banyak bintang tamu hadir dan tampil, juga ada tampilan "Sanggar Alang-Alang" yang tampil menawan. Sanggar Alang-alang pimpinan Didiet Hape, menyumbangkan seni pertunjukan angklung Jawa Timuran yang tampil apik dan menarik, bahkan menyemarakkan malam sastra kian mempesona. Lepas tampilan malam itu, komunitas ini, langsung ke Denpasar – Bali, untuk tampil pada malam tahun baruan di pulau Dewata.
Apakah Malsasa kesepuluh nanti masih bisa digelar kembali? Apakah angka sepuluh seampuh angkanya? Wallahu alam bissawab!
Tinggal apakah kita semua bisa tetap bersinergi untuk urunan kembali menggelar Malsasa tahun 2010 dengan suka cita. Mari! Mari bersinergi!

** Desaku Canggu, Penghujung Desember nan Basah 2009