Selasa, 12 Januari 2010

BERITA MALSASA 2009


MASIH DIHUNI MUKA LAMA

Oleh : Risang Anom Pujayanto

”Sebagian besar sastrawan Surabaya dihasilkan dari lomba baca puisi, tapi lomba baca puisi 2009 kemarin seperti tidak ada yang bisa diharapkan untuk memunculkan nama baru di kancah kesusastraan daerah maupun nasional,” kata Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Sabrot D Malioboro saat memberikan sambutannya di acara Malam Sastra Surabaya (Malsasa) 2009, di pendapa Taman Budaya-Jatim (29/12). Malsasa 2009 diharapkan dapat kembali memotivasi geliat kesusastraan Surabaya ke depan, lanjutnya.
Seperti Malsasa 2007 yang bertajuk ’Surabaya 714’, Malsasa 2009 juga menggelarpentaskan puisi dan geguritan. Hanya saja cerita pendek (cerpen) atau cerita cekak (cerkak) tidak kembali ditampilkan. Ini bukan menjadi masalah karena konsep awal Malsasa yang dilakukan sejak tahun 1989 memang adalah sekumpulan penyair untuk turut berpartisipasi merayakan hari jadi kota pahlawan. Dengan versi khas penyair, mereka menulis dan membacakan puisi.
Khusus Malsasa 2009 yang dilaksanakan di pendapa Taman Budaya-Jatim ini diikuti oleh 26 penyair dan penggurit dari 11 kota di kawasan Jatim. Penyair dan penggurit dari Banyuwangi, Blitar, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Caruban, Surabaya, Malang, Ngawi, Madiun dan beberapa kota lainnya, selain berkumpul untuk mempersembahkan sesuatu untuk kota Surabaya, ajang ini juga menjadi ajang menjalin tali silahturrahim antar-seniman Jatim.
Beberapa nama yang ikut dalam barisan Malsasa 2009 ini. Antara lain; AF Tuasikal, Akhudiat, Anas Yusuf, Aming Aminoedhin, Bagus Putu Parto, Bambang Kempling,Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Beni Setia, Fahmi Faqih, Hardho Sayako SPB, Herry Lamongan, J F X. Hoery, Kusprihyanto Namma, Tan Tjin Siong, Tengsoe Tjahjono, Rusdi Zaki, Ribut Wijoto, R Giryadi, Sabrot D Malioboro, Samsudin Adlawi, Suharmono Kasijun, Pringgo HR, Puput Amiranti, W Haryanto, dan Widodo Basuki.
Sementara sebagai variasi pemeriah acara Malsasa 2009, Sanggar Alang-Alang pimpinan Didit HP juga turut mengisi acara. Dengan alat tradisional, mereka memainkan irama lagu-lagu daerah Jatim. Dua penari semakin melengkapi acara kesenian malam itu menjadi menjadi semakin meriah.
Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya, Aming Aminoedhin menjelaskan, Malsasa 2009 ini dimaksudkan untuk kembali membisikkan sastra kepada telinga masyarakat. Pasalnya, gaung sastra di Surabaya dan Jawa Timur kurang terdengar lagi. Suaranya sangat lirih. Kalau pun ada, gregetnya masih melingkupi area intern.
”Saya tidak melihat signifikansi penyelenggaraan kegiatan sastra di Jawa Timur, khususnya di Surabaya,” tegas Aming Aminoedhin.
Sejatinya, penyelenggaraan sastra di Surabaya dan Jatim tidak bisa dikatakan minim. Tercatat setiap bulan ada diskusi sastra dalam ’Halte Sastra’. Baru-baru ini, Festival Seni Surabaya 2009 juga menggelar lomba nembang macapat, lomba geguritan, dan lomba maca crita cekak dengan bahasa Jawa Suroboyoan. DKS juga menggelar baca puisi pada pertengahan Desember 2009. Sementara di tingkat Jatim ada Festival Bazar Tantular yang diselenggarakan di Museum Mpu Tantular. Dalam festival ini juga masih mengikutkan bidang sastra. Kendati begitu, kata Aming, tidak adanya output yang jelas dalam semua pagelaran sastra tersebut membuat sastra tidak terlihat ketimbang seni-seni lainnya.
”Barangkali fakta kegiatan tersebut sanggup membuktikan bahwa sastra Jawa Timur tidak lesu darah. Hanya gaungnya saja yang kurang bergairah,” kata pria yang pernah dijuluki sebagai ’Presiden’ Penyair Jatim itu.
Melihat acara Malsasa 2009 dapat dikatakan terdapat beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama, penyair dan penggurit yang berpartisipasi merupakan seniman sastra senior. Kedua, semacam aktualisasi diri karena ternyata ada penyair atau penggurit yang mampu membacakan masing-masing karyanya dengan baik. Ketiga, sastra Surabaya dan Jatim masih berhenti pada lingkaran genre persajakan. Sempat keluar, berkembang, tapi kembali lagi. Bagi sastrawan Surabaya; sastra adalah puisi, tanpa kebalikan. Keempat, semangat tinggi sastrawan Jatim tak pernah mati.
Khusus pernyataan terakhir, bahwa dikatakan semangat tidak pernah mati karena kegiatan Malsasa meskipun berbekal dengan dana minim, terlebih didanai secara mandiri, tetapi perhelatan acara Malsasa 2009 masih bisa berlangsung dengan lancar dan meriah.
”Dari dulu untuk membuat buku antologi puisi, Kami selalu patungan sendiri. Ini jika dikatakan sebagai proyek, maka proyek merugi. Meski begitu, Kami ingin membuktikan dedikasi Kami kepada dunia kesusastraan Surabaya dan Jatim,” papar Aming Aminoedhin. Setidaknya, Malsasa 2009 mampu memberi warna baru dan sanggup membuat angin segar dalam peta pentas sastra Surabaya dan Jatim, imbuhnya.
Upaya mengadakan Malsasa 2009 ini tidak sia-sia. Teknik pembacaan puisi yang meliputi penampilan panggung, vokalisasi, ekspresivitas sangat mendukung suasana atas teks. Aming Aminoedhin, misalnya. Eksplosivitas pembacaan puisi Aming yang meledak-ledak dengan suara menggelegar, kadangkala disertai dengan satu kakinya terangkat di atas kursi menunjukkan bahwa puisi merupakan persoalan serius yang mencengkeram problematika kehidupan.
Sementara Sabrot D Malioboro sebaliknya. Kelugasan teknik pembacaan menjadi kekuatan tersendiri dalam mentransfer isi puisi yang diharapkan kepada pendengar. Mendayu-dayu, tenang seolah berada di tanah lapang yang penuh kebebasan. Bebas mencerap apa saja tanpa ketakutan. Baris kata cinta itu membahana di samudera luas. ’Bulan berlayar.’
Lain Aming Aminoedhin, lain Sabrot D malioboro, lain pula Akhudiat. Salah satu sesepuh Bengkel Muda Surabaya itu menggunakan kekuatan prolog sebagai penghantar masuk ke dalam pembacaan puisi. Persoalan kiamat 2012, teleskop hubble, dan kelakar cerdas merespon tata cara kesetiaan Aming dalam berpuisi pun terlontar dari mulutnya serupa gerbong panjang. Rentetan narasi sebelum dirinya membacakan salah satu puisi yang pernah dibuatnya.
”Ketika buih di laut menjelma kata Allah, dan di atasnya berdiri Aming yang sedang membaca puisi,” begitu akhir prolog Akhudiat.
Berbicara Malsasa, sejatinya tema yang diangkat berkisar tentang lingkungan dan habitus Surabaya. Entah berkisar tentang kebersihan, kesemerawutan, kekumuhan, kekasaran, sumpah serapah kota, keserakahan, sejarah dan sebagainya asalkan akrab dengan keSurabayaan.
Dan, antologi puisi Surabaya Kotaku di tahun 1989 yang di dalamnya ada nama-nama sastrawan besar seperti Aming Aminoedhin, Ang Tek Khun, Viddy Alymahfoedh Daery, Roesdi-Zaki, Jil P Kalaran, Pudwianto, dan Herry Lamongan menjadi peletak tradisi Malsasa yang digelarpentaskan hingga saat ini. Namun karena watak dasar seorang seniman yang tak mau dikotak-kotakan, maka tematik ini pun menyebar ke berbagai arah, seperti percintaan, daun, bulan, mentari, gunung, bahkan kata dengan segala keampuhan daya ungkapnya.
”Ijinkan Saya membuka Malsasa 2009 ini dengan puisi Akhudiat yang berjudul Keindahan Ada Di Mana-Mana,” kata Aming Aminoedhin. Bersama kita buka majelis puisi ini, Selamat Menikmati. (b2)
________________
Sumber: Surabaya Post, Minggu 3 Januari 2010


diunduh dari blognya fahmi faqih.

Tidak ada komentar: