BEDAH BUKU ‘SURABAYA 714’
antologi puisi dan guritan malsasa
bahasan RM Yunani Prawiranegara
---*****---
ditulis kembali oleh: Aming Aminoedhin*
Setelah pentas baca puisi “Surabaya 714” Malsasa 2007 di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, 20 Agustus 2007 lalu, yang di antaranya mencatat beberapa nama penyair yang tampil malam itu, seperti: Akhudiat, Aming Aminoedhin, AF Tuasikal, Bagus Putu Parto, L. Machali, Fahmi Faqih, Budi Palopo, R. Giryadi, Ida Nurul Chasanah, Sabrot D. Malioboro, M. Har Harijadi, M. Tauhed, Bambang Kempling, Saiful Bahri, Chamim Kohari (penyair); Suharmono Kasijun, Anank Santosa, Bonari Nabonenar, Sugeng Adipitoyo, Widodo Basuki, Herry Lamongan, Pringgo HR (penggurit); selanjutnya diselenggarakan bedah bukunya.
Bedah buku antologi puisi dan geguritan bertajuk ‘Surabaya 714’ Malsasa 2007, yang diselenggarakan atas kerja sama Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) dengan Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), dan Toko Buku Diskon ‘Togamas’ Surabaya, berlangsung di Toko Buku Togamas, Jalan Diponegoro 9 Surabaya, tanggal 30 Agustus 2007.
Dalam buku tersebut mencatat ada 34 penyair, memuat 78 judul puisi, dan 14 penggurit, memuat 32 judul guritan, yang penulisnya berasal dari: Surabaya, Mojokerto, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Ngawi, Bojonegoro, Pamekasan, Ponorogo, Trenggalek, dan Blitar.
Bahasan RM Yunani
Tampil sebagai pembicara atau pembedah bukunya, RM Yunani Prawiranegara, mantan redaktur senior Harian Surabaya Post. Sedangkan peserta yang hadir dalam bedah buku tersebut, banyak dari kalangan wartawan, praktisi dan akademisi sastra. Di samping masyarakat sastra Surabaya pada umumnya, yang ikut hadir ikut diskusi.
Makalah bedah buku RM Yunani, yang bertajuk ‘Karya sastra adalah karya kontemplatif dan imajinatif’ tersebut menyoroti bahwa hakekat puisi/guritan adalah sebagai media mengekspresikan kreativitas seseorang, penyalur emosi, dan estetika seseorang. Medianya, kata RM Yunani, bisa menggunakan medium bahasa Jawa, Madura, Osing, atau bahasa Indonesia. Namun kenyataannya, dalam buku ‘Surabaya 714’ beberapa penulis di dalamnya sulit membedakan, dia itu penyair atau penggurit. Hanya menyebut contoh beberapa nama, di antaranya: Puput Amiranti (Surabaya), Aming Aminoedhin (Mojokerto), M. Tauhed (Pamekasan), Budi Palopo (Gresik), Mashuri (Lamongan), Debora Indrisoewari (Surabaya), W. Haryanto (Surabaya), Anank (Mojokerto), dan Bonari Nabonenar (Trenggalek).
Lebih lanjut, RM Yunani, juga menyoroti tentang banyak penggurit yang masih terpancang oleh kaidah atau paugeran sastra Jawa yang diciptakan para pujangga terdahulu semacam itu. Kebekuan kreativitas ini karena menganggap Pujangga R. Ng. Ronggowarsito sebagai pujangga terakhir sastra Jawa. Harapannya, janganlah terkurung “dalam bayang-bayang sang Pujangga.”
Contoh: .......................................
numpak bis tingkat
jebule orang enggal mangkat
yen tekan kantor telat
uang makan mesthi disunat
......................................... (Anank, “Nguing-nguing”, hal. 6).
..............................................
Neng Tugu Pahlawan aku kidungan
Kidungane jaman pembangunan
Dudu traktor gantine sapi
Terus goyang ngebor ngebor pornoaksi
Dudu pembangunane gedhongloji
Nanging pembangunane jati diri
..............................(Sugeng Adipitoyo, “Kidungan Neng Tugu Pahlawan”, hal 26).
Pada bagian lain, RM Yunani lebih menyoroti tentang ejaan dan bahasa yang digunakan penyair/penggurit. Menurutnya ada penyair yang mencoba menggunakan idiom-idiom Jawa, tetapi ejaan dan pemilihannya kurang tepat. Banyak dalam penulisan ejaannya salah, sebut saja tulisan: Puput Amiranti dalam ‘Kayadene Wayah Surup’ (hal.21-22) ; Joko Susilo dalam ‘Misi Hawa Mencari Suci Sukma’ (hal. 42); Adi Susilo Wibowo dalam ‘Lebu Katiup Angin’ (hal. 4); Javed Paul Satha dalam ‘Pangkur’nya (Hal. 39); serta Didik Wahyudi dalam ‘Iling-iling’yang seharusnya ditulis ‘Eling-eling’ (hal. 31).
Sedangkan penyair yang dalam pengungkapan idiom dan kosa kata Jawa cukup mengena adalah:
................................
Perempuan manakah yang bersliweran
..................................... (M. Har Harijadi, ‘Kwartet Keluh Kesah’, hal 50)
.......................................
meski hidup kian mlarat
hidup kian kesrakat
........................... (Aming Aminoedhin, ‘Membaca Surabaya’, hal. 12)
Sebagai pembedah buku, RM Ynunani juga merasakan dalam antologi ‘Surabaya 714’ menemukan penggurit yang puisinya tergolong guritannya gelap, mereka itu: Adi Susilo dalam karyanya Uler Kambang (HAL. 5), Gatot Suryowidodo dalam karya Layang Pungkasan Kanggo Mripat Macapat (hal. 10).
Pemilihan Idiom/Ungkapan Simbolik
Menurut RM Yunani, bahwa pemilihan dan pengambilan kata atau simbol yang tepat sebagai media pengungkapan pesan atau makna, bahkan menjadi sebuah mantra yang memiliki daya magis yang dahsyat. Idiom-idiom itu memiliki daya imajinatif dahsyat, menyiratkan sejuta makna. Dalam antologi ‘Surabaya 714’ ada yang dicatatnya, antara lain:
Bergugurlah bibir bulan
Atas perjalanan bayang awan
Melepas rahasia semesta ........................................(Sabrot D. Malioboro, ‘Catatan Bulan Juni’, hal. 60)
...............................................
Ricik air aliri damai mimpiku
Bulan pun lalu singgah di hatimu (Andie Nurkolis, ‘Di Dalam Hujan’, hal. 15)
Bung!
Aku ingin menziarahimu
Tapi di mana letak pusaramu
Karena jazadmu menutup wajah kota
.................................. (Bagus Putu Parto, ‘Kota Di Tengah Pusara’, hal. 18)
................................................
Ketika tidak setiap kata adalah kebenaran
Maka tidak setiap diam jadi emas (Fahmi Faqih, hal.35)
Coba kita bandingkan dengan beberapa puisi yang terkesan kering, vulgar dan kurang imajinatif dalam penggarapannya. Misalnya: Debora Indrisoewari dalam ‘Aku Tak Bisa Lagi’ (hal. 29), Sony Alfansa dalam ‘Ya...Di Sini’ (hal. 67). Tapi cukup imajinatif ketika Sony menulis dalam ‘Gila Kau’ (hal. 66).
Dalam antologi ‘Surabaya 714’ ada penyair yang menggunakan idiom-idiom Barat, teknologi langka, aneh, moderen, asing. Hal ini tidak masalah, kata RM Yunani, asalkan pemilihannya tepat, dan mengungkapkan makna baru serta mendalam, kontemplatif, dan kaya makna. Coba saja simak:
Aku menulis setubuh gadis
Berlumur sedih
NEW ABORTION judulnya
Atau apa
..........................(Anwar Sadat, ‘Gradasi Warna’, hal.16)
............................
dalam sebuah komposisi
Dadali atau Sebastian Bach
........................................... (Bambang Kempling, ‘Ansambel Putih’, hal. 23)
.............................................
Ikan-ikan Benq-Siemens, Sony Ericson, Nokia, Samsung, LG, bersirip kartu as, xl,
simpati, flexi,fren, IM3, 3, Jempol, perutnya menyimpan semilyar nomor
…………
……………………… (R. Giryadi, ‘Saronggi’, hal 59)
Kalau waktu menjadi seikat pelangi
dan di gua itu Cuma ngungutan nyanyian,
“Oh, my live
for the first time in my live
my eyes can see” (Lagu John Lenon)
……………………………
,
kaupun bernyanyi,
“sleeping in my car! Sleeping in my car!” ( Lagu Roxete)
sampai malam di dua hati
……………………….( Didik Wahyudi, ‘Setangkai Kembang Monyet’, hal. 32)
Akan terasa berbeda jika idiom yang ditulis aneh dengan diksi lokal, tapi tetap terasa indah dan terasa enak. Coba simak tulisan Akhudiat ini:
Jalan berdebu
Dokar bergerit di geladak Karangbendo
Kalong-kalong di pohon sengon kaget
Berterbangan mengitari bukit
Kembali ke sengon
Bagai gantungan berkas-berkas karbon
……………………………………….. (Akhudiat, ‘Karanganyar”, hal.5)
Penyair Pesantren
Dalam antologi ‘Surabaya 714’ ternyata ada penyair pesantren yang muncul. Mereka itu, menurut RM Yunani, masih menggunakan kosa kata, idiom Islam dan Arab. Sayang, beberapa di antaranya belum mampu ke luar dari stereotip kefiqihannya yang hitam putih, halal dan haram. Yang ada benar atau salah, sedang medium, tengah-tengah masih dianggapnya subhat, alias remang-remang. Mereka itu adalah: Chamim Kohari, ‘Qodar dan Jabar’ dan ‘Pilih Yang Mana’ (hal. 26-28), Fahmi Faqih, ‘Dosa Kita’ (hal. 34), Mashuri, ‘Pintu Laut’ (hal. 47). Javed Paul Satha, ‘Pangkur’ (hal. 39).
Menutup bahasannya terhadap antologi ‘Surabaya 714’, RM Yunani Prawiranegara menulis puisi berjudul: "SAJAK BUAT PENYAIR"
Membaca sajakku
Membaca selisih waktu
Dalam ingatan
Membaca sajakku lebih dalam
Merumuskan hidup
Lalu apakah kita
Menjadi sama?
Diskusi Bedah Buku
Selepas pembahasan, tampillah musikalisasi guritan oleh komunitas sastra ‘Sinji’, yang dimainkan oleh AF Tuasikal dan Sarjio Godean. Mereka melantunkan guritan bertajuk ‘Ndhuk Anakku Wadon’ anggitane Aming Aminoedhin.
Tanya jawab seputar sastra dan Malsasa menjadi cukup gayeng, lantaran ada yang mempertanyakan kepenyairan dalam antologi ‘Surabaya 714’, ada juga yang memuji terbitan bukunya yang digarap cukup luks, dan ada pula mengusulkan selektivitas dalam karya puisi dan guritan perlu dibenahi lagi. Tak urung, Akhudiat, juga mengusulkan agar setelah satu dasawarsa Malsasa, seharusnya memilih kembali puisi-puisi yang layak untuk dikumpulkan dalam kumpulan Malsasa edisi terbaik. Wah ini ide menarik. Lantas siapa yang akan memilihnya? Sebab Akhudiat sendiri juga masuk di antologi Malsasa, dari waktu ke waktu.
Dalam diskusi bedah buku tersebut ada juga yang mempertanyakan pembahasan RM Yunani yang membahas penyair pesantren, padahal secara buku, ‘Surabaya 714’ hanya memuat puisi berbahasa Indonesia dan Jawa.
Apabila boleh mencatat, bahwa antologi ‘Surabaya 714’ dan Malsasa 2007 ini cukup banyak mendapat respons masyarakat sastra Surabaya, dan Jawa Timur. Terlepas apakah dalam penggarapannya apik atau kurang menarik, yang pasti itikad yang saya usung adalah bagaimana kita bisa menumbuhkembangkan sastra di Surabaya dan Jawa Timur, agar kian marak, kian semakin banyak, beranak pinak. Lantas karya sastra kian dihargai dan diapresiasi oleh masyarakat sastranya. Salam budaya dan sampai jumpa di Malsasa berikutnya.
Surabaya, Jelang Ramadhan 2007
Ditulis kembali: Aming Aminoedhin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar