Senin, 01 Agustus 2011

surabaya-ku surabaya-mu

Dialog dengan Dimas Pram soal:
TARI dan WISATA JATIM 2011
Oleh: Aming Aminoedhin

Suatu siang yang panas, di halaman Taman Budaya Jawa Timur, yang letaknya di Jalan Gentengkali 85 Surabaya, para pekerja seni sedang menyiapkan panggung pentas ‘Pergelaran Periodik Musik’ untuk malam harinya. Malam itu, kata Bambang Jazz, seorang karyawan TBJT, mengatakan bahwa malam nanti (Sabtu, 19/2/2011) ada pergelaran musik hadrah, kuntulan, dan kundaran angklung caruk, garapan komposer Sunardiyanta, asal Banyuwangi.
Bukan pentas kuntulan dan kundaran angklung caruk yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini, tetapi persoalan tari, yang kebetulan siang itu, di bawah pohon sono nan rindang sambil merolok dan minum kopi, saya bertemu untuk berbincang-panjang dengan sang penata tari kenamaan Jawa Timur, Dimas Pramuka.
Setelah ngalor-ngidul bicara soal perkembangan seni Jawa Timur pada umumnya, lantas sampailah pula bicara soal yang spesifik seni tari. Dimas Pram, panggilan akrabnya, punya ‘Sanggar Tari Gito Maron’ sejak tahun 1987. Sungguh sebuah pergulatan seni tari yang tanpa henti, katanya, di sela makan nasi bungkus yang biasa disebut sebagai ‘sega kucing’ itu. Menu ‘sega kucing’ adalah menu makan siang yang cukup disukainya, katanya, sambil melipat kertas bungkus nasi yang telah habis disantap, lantas dibuang ke tempat sampah. Menenggak tuntas teh manis, lantas menyulut rokoknya.
Tidak Masuk 10 Besar
“Perjalanan saya telah panjang di ranah seni yang satu ini, bahkan saya pernah meraih sebagai koreografer tari terbaik tingkat Nasional 2006 dan 2010. Tapi kenapa?” Dimas Pram meneruskan dialognya, “Garapan saya tidak masuk sepuluh besar pada festival garapan tari bedhoyo Jawa Timuran 2010 lalu.”
“Ada apa?” Sebuah tanya yang barangkali yang tak terjawab hingga kini.
Sementara beberapa pimpinan sanggar tari dari beberapa daerah di Jawa Timur, yang kebetulan dekat dengannya, juga bertanya, “Lho kok sampeyan tidak masuk sepuluh besar?”
Dari beberapa pertanyaan teman inilah yang terus mengiang-ngiang di telinga Dimas Pram, yang punya nama lengkap Dimas Pramuka Admaji tersebut. Inilah yang kemudian memacu lelaki kelahiran Tulungagung, 21 Maret 1963 ini, terus menggarap dan membuat tarian bertajuk “Bedhoyo Maja Kirana”dengan mengambil berbagai referensi buku-buku tentang Majapahit. Setelah jadi dalam bentuk gelaran tampilan tari, ternyata cukup mendapatkan apresiasi yang sangat positif dari penikmat dan masyarakat tari Jawa Timur. Tari garapan baru ini, bahkan telah digelarpentaskan untuk launching produk Taman Budaya Jawa Timur( TBJT), beberapa waktu yang lalu, dan mendapat sambutan yang meriah undangan hadir. Tari ini digelar pula di Hotel Tunjungan Surabaya dan juga di Jakarta, akhir bulan Januari 2011, dengan mendapatkan apresiasi yang cukup melegakan hati.
Dimas Pram, telah malang-melintang di ranah seni tari ini memang cukup panjang, bahkan pernah beberapa kali mementaskan tari garapannya di berbagai negara, seperti: Belanda, Jepang, Malaysia, Singapura, Hongkong, Australia, London - Inggris,
Brunei Darussalam, Thailand, Spanyol, Korea, Jerman, Calledonia, Perancis, dan Yunani. Beberapa garapan tarinya bertajuk: Egol Manis (1985), Pego Sari (1986)Sekar Giri, Maha Patih Ring Majapahit, dan Koncar Rancak (1987), Emprak (1988), Rampak Iring (1989), Santren (1993), Huru-hara Ereng-ereng Merapi (1994), Lenggang Surabaya (1995), Praben Madura, Merak Timur (2000), Nusantara (2003), Candra Dewi (20045), Geleng Room (2006), Kembang Dogder, Bedhoyo Kuas (2007), Umbul-umbul Kerapan (2009), Kembang Pegon (2010), dan terakhir 2011 menciptakan “Bedhoyo Maja Kirana”.

2011 Tahun Kunjungan Wisata Jatim

Lepas dari persoalan tidak masuknya garapan tari bedhoyo Jawa Timuran karya Dimas Pram, pada festival tari tahun lalu; yang pasti tahun ini adalah tahun kunjungan wisata di provinsi kita, tandasnya, sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
“Jika saja pembaca Kompas sempat mampir Surabaya tahun ini, maka bisa melihat objek wisata yang banyak jumlahnya, seperti: Kebun Binatang Wonokromo, Museum Monumen Kapal Selam, Cagar Budaya Tugu Pahlawan, Balai Pemuda, Taman Budaya, Gedung Nasional Indonesia (GNI), lantas melihat jembatan Suramadu (Surabaya – Madura), Museum Mpu Tantular (Sidoarjo), dan sebareg lainnnya. Di samping itu, agak jauh sedikit (sekitar 55 KM) ke arah Barat, bisa berkunjung ke Mojokerto, melihat dari dekat situs sisa peninggalan Kerajaan Majapahit yang dahsyat. Selain adanya museum, di seputaran Trowulan - Mojokerto, ada juga Candi Brahu, Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan Candi Tikus; yang tentunya agak lain dengan candi-candi lainnya. Terbuat dari batu bata merah, indah mempesona. Tak percaya boleh datang, ke Surabaya.” Demikian keterangan Dimas Pram bernada promosi, di sela rokoknya yang tetap mengepul dari mulutnya.
Mau belanja di Surabaya, tanya Dimas Pram bersemangat, juga banyak mall-mall yang bertebaran, dan jangkung-jangkung gedungnya. Sebut saja, City of Tomorrow (Cito), Royal Plaza, Darmo Trade Centre, Town Square Surabaya, Tunjungan Plaza, BJ Junctions, Hichtex Mall, Pakuwon, Galaxy Mall, dan masih banyak lagi.
Tahun 2011 ini di Jawa Timur telah dicanangkan sebagai ‘Tahun Kunjungan Wisata Jatim,’ dan sejalan dengan hal itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata - Jawa Timur (DKP-JT), melalui UPT Taman Budaya akan menggelar berbagai pergelaran periodik musik, wayang kulit, dan ludruk. Secara jadwal, Dr. H. Jarianto, M.Si, sebagai Kepala DKP-JT telah mencantumkan agenda acara setahun penuh di dalam undangan yang telah disebar kan. Pergelaran ini semua gratis, tanpa harus membayar karcis.
Tanggal 12 Maret 2011 ini, di Pendapa Taman Budaya Jawa Timur akan ada ‘Pergelaran Seni Tari Pergaulan’ dengan menampilkan parade tayuban yang berasal dari Tuba, Tulungagung, Nganjuk, dan Malang. Gratis untuk ikut bertayuban-ria di acara ini. Silakan datang, dan ikut berjoget, kata Pram menambahkan. Sedangkan 8 Maret 2011, besok lusa, katanya saya akan tampil di Istana Negara Jakarta, menampilkan karya lama saya bertajuk “Geleng Ro’om” (2006) untuk menjamu tamu negara.
Tahun ini, katanya, ada 5 pergelaran musik di Pendapa TBJT, Suradiyanta - Banyuwangi (19/2), Kukuh - Surabaya (30/4), Subiyantoro – Sidoarjo (21 Juni 2011), Hadi Simphony – Surabaya ( 13 November 2011), serta Wandi dan Pambuko – Sidoarjo (29 Oktober 2011).
Semementara itu, jadwal pergelaran periodik wayang kulitnya, ada 11 tampilan, diawali 12/2/2011 lalu, menampilkan Joko Widodo dalang asal Ngawi dengan lakon ‘Sang Kakrasana.’ Selanjutnya akan tampil dalang Ki Hadi Suparto - Mojokerto (19 Maret 2011) dengan lakon ‘Begawan Dewa Ndaru.’
Memasuki bulan April 2011, agak beda, sebab ada dua pergelaran wayang kulit yang akan digelar. Pertama tampilan dalang Ki Winarto – Magetan, melakonkan ‘Dewa Ampral’ (15/4), dan Ki Ardi Poerboantono – Malang tampil dengan lakon ‘Sang Rama Bargawa’ (30/4) nanti. Bulan Mei, Juni, dan Juli; masing-masing akan tampil satu pergelaran wayang kulit, yaitu: Ki Puguh Prasetyo – Gresik menampilkan ‘Sityamaja Tumurun’ (21/5), Ki Siswantoro – Kediri lakon ‘Banjaran Bima’ (18/6), dan Ki Suparno Hadi – Gresik menggelar lakon ‘Pesona Sang Bidadari Saraswati’ (16/7). Bulan Agustus yang merupakan bulan kemerdekaan tahun ini, kebetulan adalah bulan puasa, sehingga tidak ada tampilan pergelaran wayang kulit. Sedangkan bulan September, Oktober, November, dan Desember 2011, akan tampil masing-masing dalang asal Jember, Ponorogo, Tuban, dan Sidoarjo. Mereka itu adalah Ki Andik Ferry Bisono dengan lakon ‘Pendawa Boyong’ (17/9), Ki Dudut Sediono menggelar lakon “Gathutkaca Tiyoso’ (15/10), Ki Dimas Bayu Aji Nugroho tampilkan ‘Gandhamana Tundhung’ (19/11), dan Ki Suwardi melakonkan cerita ‘Bisma Parwa’ (10/12).
Kesenian tradisi yang merupakan ikon kota Surabaya dan Jawa Timur adalah kesenian ‘ludruk.’ Tidak heran jika Dinbudpar Jatim, tidak melupakan pentas ludruk secara periodik pula. Tampilan pertama, ludruk Budi Wijaya – Jombang, tampilkan ‘Babat Tunggorono’ (26/2) yang lalu. Lantas tampilan Warna Jaya – Sidoarjo, tampilkan ‘Kabut di Lereng Gunung Penanjakan’ (25/3), dilanjutkan hari berikutnya, tampilan ludruk RRI Surabaya mengusung lakon ‘Tragedi Bumi Rungkut’ (26/3).
Pergelaran bulan-bulan selanjutnya, ludruk Suromenggolo – Ponorogo, tampilkan ‘Asal-usul Reog Ponorogo’ (23/4). Lakon ‘Bandit Blandong’ akan ditampilkan ludruk Wahyu Budaya – Lamongan (28/5), ‘Maryati Gila’ oleh ludruk Merdeka –Jember (9/6), dan lakon ‘Dendam Membara’ oleh ludruk Bintang Baru – Jombang (9 /7).
Seperti juga halnya pergelaran wayang kulit, ludruk pun tidak digelar pada bulan Agustus 2011 ini, karena pada bulan suci Ramadhan, diharapkan masyarakat seni lebih mengutamakan peningkatan keimanannya. Lebih banyak ibadah, dan beramal shalih, kata Bambang Jazz, salah seorang petugas di Taman Budaya.
Melangkah pada bulan September, Oktober, November, dan Desember 2011, ludruk yang kan tampil adalah: Subur Budaya – Malang dengan lakon ‘Selor Pancuran’ (24/9), ludruk Armada – Malang mengangkat cerita ‘Putri Guwo Buring’ (22/10), Timbul Jaya – Probolinggo melakonkan ‘Brandal Gunung Anyar’ (26/11), dan terakhir ludruk Karya Budaya – Mojokerto menyuguhkan lakon ‘Pasir Kali Brantas’ (23/12).
“Sekali lagi, semua pergelaran yang ditampilkan di Pendapa Taman Budaya Jawa Timur, yang kebetulan hampir semuanya di hari Sabtu malam Minggu itu, adalah gratis tidak bayar. Artinya, bagi yang kebetulan mampir Surabaya pada jadwal tersebut di atas, maka selayaklah untuk hadir dan melihat dari dekat tampilan kesenian tradisi Jawa Timur yang digelar itu. Percayalah, ada pesona di setiap tampilannya! Selamat untuk menata dan menjadwalkan hari yang pas, guna berkunjung ke Surabaya!”
Lagi-lagi Dimas Pram berpromosi, sambil mengakhiri perbincangan siang yang panas itu, dan mengakhiri pula isapan rokoknya yang telah kesekian kali.***


Surabaya, 5/3/2011

Tidak ada komentar: