KARTINI MEMBACA PUISI
Jumlah Penyair Jatim Dominasi
Oleh: Aming Aminoedhin
Judul buku : Karena Aku Tak Lahir Dari Batu
Antologi 100 Puisi Tema Ibu se-Indonesia
Kurator : Oka Rusmini, Warih Wisatsana, dan Moch
Satrio Welang
Penerbit : Satrio Welang Publisher, Denpasar-Bali
Cetakan : I, Desember 2011
Tebal : xvi+175 halaman
ISBN : 978-602-9149-56-2
Menyambut Hari Kartini 2012, barangkali Ibu-Ibu akan disibukkan dengan bagaimana menyanggul rambutnya dengan sebaik mungkin, guna mendatangi acara peringatan Hari Kartini. Sebagian yang lain, bahkan mungkin sibuk menyiapkan lomba masak-memasak di kantornya, dalam acara yang sama. Bahkan ada juga Ibu-Ibu yang mengajari para suaminya membuat nasi goreng buat lomba dalam rangka Kartinian tersebut. Sementara ada juga yang belajar membaca puisi tema Kartini atau Ibu, guna ikut memperingati tokoh emansipasi negeri ini.
Terlepas dari persoalan itu, yang pasti disyukuri bahwa mereka tetap mau memeringati Hari Kartini, tokoh legendaris Indonesia dalam dunia emasipasi perempuan ini. Sedangkan perayaan yang tak kalah pentingnya dari Hari Kartini, adalah Hari Ibu.
Sejalan dengan hal tersebut, baru-baru ini, Moch Satrio Welang melalui Sastra Welang Publisher-nya, dalam rangka memeringati Hari Ibu, 22 Desember 2011, telah menerbitkan antologi Seratus Puisi Tema Ibu se-Indonesia tersebut, berjudul “Karena Aku Tak Lahir Dari Batu.” Menurutnya, “Ibu menjadi tema sentral yang menampilkan seratus karya. Sebuah pilihan yang terasa wajar dalam pandangan banyak orang, sampai kesadaran bahwa tema tersebut kurang popular dalam kesusastraan yang menyentak kita. Sebagaimana kenyataan bahwa sudut pandang perempuan jarang ditampilkan dalam sastra sempat menyentak kesadaran kita beberapa saat lalu. Kesadaran akan kemungkinan kreatif yang ditawarkan tema tersebut juga menjadi alasan Sastra Welang Publisher memilih tema tersebut.” Proses pengumpulan naskah dan pengkurasian yang dilaksanakan dari bulan April hingga November 2010, segala rintangan dan hambatan di masa pematangan buku ternyata menghabiskan waktu yang cukup panjang, katanya. Akhirnya buku ini dapat dirilis juga sesuai jadwal yang diharapkan yakni 22 Desember 2011 lalu, bertepatan dengan Hari Ibu.”
Dari seratus penyair se-Indonesia tersebut, ada 17 penyair asal wilayah Jawa Timur yang berasal dari berbagai kotanya, antara lain: Sumenep, Malang, Batu, Surabaya, Blitar, dan Ponorogo. Sedangkan penyair asal Yogyakarta berjumlah 12 penyair, Bali yang menerbitan buku ini, juga ada 12 penyair ikut tampil. Wilayah lain adalah penyair asal Jakarta berjumlah 6 penyair, Bandung 5 penyair, dan Depok 4 penyair. Selebihnya, adalah penyair dari kota-kota di luar yang saya sebutkan, dan kota-kota di luar Jawa, seperti: Cepu-Blora, Solo, Semarang, Wonosobo, Tegal, Purwokerto, Purwakarta, Cirebon, Sumedang, Tasikmalaya, Purbalingga, Bogor, Serang, Bekasi, Tangerang, Lombok, Lampung, Musi Banyuasin, Jambi, Padang, Banda Aceh, dan Kendari.
Dominasi penyair Jawa Timur ini, barangkali karena aktifnya para penyairnya terus berkomunikasi dengan pihak-pihak luar, termasuk komunitas sastra di Bali tersebut. Ada pun penyairnya yang berjenis kelamin perempuan pun hanya sekitar, 30-an penyair, selebihnya tetap didominasi kaum lelaki. Mengapa demikian? Barangkali hanya kaum Hawa yang tahu.
Program atau katakanlah proyek penerbitan buku puisi adalah proyek merugi. Itu adalah hal yang hampir pasti! Karena buku puisi memang susah untuk laku jualnya. Lebih lagi jualan buku puisi tentang tema Ibu. Karena kebanyakan, orang mencari puisi adalah puisi bertemakan pahlawan atau puisi bertema perjuangan.
Tapi bagi Satrio Welang, hal ini bukan menjadi masalah, ia tetap mengumpulkan puisi-puisi itu, dengan kesabaran yang tinggi, menyeleksi, kemudian menerbitkan, dan bisa dirilis-terbitkan, 22 Desember 2011 lalu. Satrio Welang memang tidak sendiri, ada dua temannya, yaitu Oka Rusmini dan Warih Wisatsana, yang dilibatkan sebagai kuratornya. Lantas beberapa kawan sejawatnya yang ikut membantu sebagai donatur di belakang layar, seperti Made Sugianto, Oka Astawa, dan Lindia Palupi.
Bila harus disayangkan, bahwa judul bukunya dituliskan dengan huruf kecil semua (bukan kapital), meski hurufnya telah ditulis dengan warna emas, sehingga cukup mencolok bagi pembacanya. Begitu pula judul bukunya, barangkali kurang laku jual, karena terlalu panjangnya. Coba, jika judul buku itu hanya terdiri dari dua atau tiga kata, barangkali akan lebih memberi kesan mudah diingat bagi pembacanya, misal saja Nyanyian Buat Bunda atau Kidung Ibu Kita. Atau mungkin malah bisa mengambil judul buku, dari salah salah satu judul puisi yang ada termuat dalam buku itu, semisal: Pesan Ibunda (hal.10), Tuhan Kecil (hal. 21), Peluh dan Doa Ibu (hal. 80), Sajak Buat Bunda (hal. 92), Monolog Ibu (hal.111); tentunya dengan catatan bahwa bukan berarti yang jadi judul buku adalah puisi yang terbaik di dalamnya.
Kuratornya, Warih Wisatsana, mengatakan, "Buku ini menghadirkan dunia perempuan dalam berbagai perspektifnya, baik sebagai sosok simbolis atau figur sehari-hari, bertutur perihal pergulatan kaum Ibu di tengah budaya patriaki yang dirasa tidak adil. Beberapa di antaranya berhasil memadukan kekuatan gagasan dan keelokan bahasa yang terjaga, memberi inspirasi yang mencerahkan.”
Coba kita simak puisi Ari Nendra (Solo), judul Pesan Ibunda, menuliskan bahwa Ibu merupakan orang mengantar anaknya ke gerbang kehidupan dengan doa-doanya. Kita baca potongan puisinya: ...kau mengantarku sampai gerbong kereta api. memelukku erat, sembari membisikkan kalimat-kalimat suci (hal.10). Sedangkan Arum Fatima (Yogya) menulis puisi berjudul Surat Lebaran Buat Emak, menulis berbeda dengan Nendra, ia menulis begini: .... Jangan menangis hanya karena menerima dosamu Mak/Dosaku kukirim bukan untuk kautangisi/Dosaku kukirim untuk kau maafkan/Balaslah surat berisi dosa ini Mak, kutunggu maafmu. (hal. 14.)
Beda dengan Nendra dan Arum, Holy Adib (Padang) ia malah menuliskan seorang calon Ibu yang berpesan pada bayinya yang bakal lahir dengan apik, serta menyelipkan kritik di dalamnya. Baca potongan puisinya Seorang Ibu Berbisik pada Calon Bayinya berikut ini: ....jika nanti ke luar dunia/diam saja/ setelah umurmu genap enam tahun/menangislah sekeras-kerasnya/untuk pemimpin bangsa yang gemar studi banding ke luar negeri/memakai uang bangsa atas nama tugas negara/ sementara ribuan anak-anak terlempar ke jalan raya/karena tidak ada biaya untuk sekolah ..... (hal. 49). Sementara itu, Isbedy Stiawan ZS (Lampung), ketika ia merasa rindu Ibu, ia merasakan betapa hebatnya seorang Ibu itu. Coba kita baca dua bait terakhirnya puisi Engkau dan Aku berikut ini: ...matahari di tubuhku/sinarnya dari engkau/santun tuturku/kata-katanya punya engkau/:aku tak bisa jauh dari ayat-ayatmu!//selepas salamku/kau beri kenangan/setiap sujudku/kucium keningmu/setiap aku berdoa/pintu langit dan bumi engaku buka//. (hal. 62). Lain lagi dengan puisi berjudul Sajak Sepi Tanpa Ibu, penyair asal Denpasar, Khairul Huda menuliskan atas ketidakadaan Ibu, dengan sangat baik: ...... malam kian senyap, ibu/ bayangmu kian lelap/mataku semakin sembab/mimpiku lari lesap/kenangmu hinggap/ di jantungku kian karat (hal. 69).
Dari beberapa contoh puisi di atas, membuktikan bahwa apa yang dikatakan kuratornya, Warih Wisatsana, bahwa buku ini menghadirkan dunia perempuan dalam berbagai perspektif, memanglah benar adanya. Padahal masih banyak lagi puisi-puisi yang ditulis penyair lainnya, dengan perspektif berbeda secara apik dan menarik. Seperti misalnya puisi berjudul: Mencari Ibu, Surat dari Pulau Rantau, Air Mata Bunda, Pesan Rakyat Kepada Wakil Rakyat, Tuhan Kecil, Telegram Ibu, Ibu Yang Kubenci, Surat dari Ngawi, Peluh dan Doa Ibu, Laut Ibu, Ziarah Ibu dan Puisi, Mesin Jahit Ibu, Bidadari, dan banyak lagi.
Untuk itulah, perlu kiranya para Ibu memiliki dan membaca buku ini, lebih lagi pada saat kita memeringati Kartini tahun ini. Bahkan mungkin puisi-puisi yang ada bisa dijadikan materi lomba baca puisi. Duh... alangkah baiknya, sebab selama ini banyak orang melupakan Ibunya yang telah merawat, membesarkan, bahkan memberi doanya sepanjang hari.
Sekali lagi, angkat topi tinggi-tinggi buat Satrio Welang, yang tetap tegar melangkah berani membuat buku puisi, meski (mungkin) ia tahu, ini sebuah proyek yang pasti merugi. Selamat ber-Kartini-an Ibu, kubayangkan Ibu Kartini itu membaca salah satu puisi dalam buku itu di halaman 77: kota, ternyata memang memutuskan benang merahnya/pada seorang anak desa dan mereka jadi alpa/pada kampung dan Bunda yang melahirkannya. Salam!
Desaku Canggu, 10 April 2012
Catatan: Tulisan ini dimuat Jawa Pos Minggu, 15 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar