Rabu, 03 Desember 2008

PARA KYAI BACA PUISI - FSS 2006

PUISI-PUISI PARA KYAI, atau PARA KYAI BACA PUISI

Catatan:
Tahun 2006 lalu Festival Seni Surabaya, menggelar Sastra Para Kyai Baca Puisi. Kebetulan saya, adalah PO Sastra yang bertugas menggelarpentaskan itu. Hanya sayang, kyai Gus Mus pada waktu itu gak bisa hadir. Ternyata kegiatan para kyai baca puisi ini, banyak masyarakat sastra Surabaya, yang antusias melihat acara ini. Bahkan penontonnya membludag di Gedung Balai Pemuda, Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya tersebut. Agar dokumen tidak hilang, berikut ini puisi-puisi para kyai dan biodatanya tersebut, saya muatkan di blog "malsasa surabaya" ini (aming aminoedhin).**

Agus Ali Mashuri
KUNCI SUKSES ITU DI LANGIT

Jika dengan iman engkau dambakan kedamaian
carilah kedamaian di tempat sunyi
tindakan dan kata adalah saksi pikiran tersembunyi
dari keduanya terpancar hasrat hati nurani
ketahuilah tempat yang sunyi adalah hati

Hati laksana cermin ia memantulkan apa yang dihadapi
dan diinginkannya
hati tak bisa jernih jika tertutup dan ternodai
oleh hawa nafsu dan keserakahan
hati yang bersih bila menerima cahaya Ilahi
maka ia memantulkan kebenaran mendalam

Orang yang berhati rakus dan ambisius lebih panas dari api
orang yang berhati qonaah lebih kaya dari lautan
orang yang berhati bersih dan berperilaku ramah
senantiasa sukses dalam hidupnya
orang yang berhati kasar dan cenderung mencari lawan
tak pernah sukses dalam hidupnya
ketahuilah kunci sukses itu di langit

Kekuatan manusia terbesar adalah doa
jika anda merasa ragu akan kekuasaan Allah
renungkanlah gempa yang melanda Yogya
bersihkanlah hati kita dari tamak dan serakah
dan tanamkanlah di kebun jiwa anda
pohon-pohon hikmah bunga-bunga ilmu
dan kembang-kembang pengetahuan

Bumi Sholawat, 2006


A. Mustofa Bisri
AKU MERINDUKANMU, O MUHAMMADKU

Aku merindukanmu o, Muhammadku
Sepanjang jalan kulihat wajah-wajah
yang kalah
menatap mataku yang tak berdaya
sementara tangan-tangan perkasa
terus mempermainkan kelemahan
airmataku pun mengalir mengikuti panjang
jalan
mencari-cari tangan
lembut-wibawamu

Dari dada-dada tipis papan
terus kudengar suara serutan
derita mengiris berkepanjangan
dan kepongahan tingkah-meningkah
telingaku pun kutelengkan
berharap sesekali mendengar
merdu-menghibur suaramu
Aku merindukanmu o, Muhammadku

Ribuan tangan gurita keserakahan
menjulur-julur ke sana kemari
mencari mangsa memakan kurban
melilit bumi meretas harapan
aku pun dengan sisa-sisa suaraku
mencoba memanggil-manggilmu
O, Muhammadku, o, Muhammadku
Di mana-mana sesama suadara
saling cakar berebut benar
sambil terus berbuat kesalahan

Qur’an dan sabdamu hanyalah kendaraan
masing-masing mereka yang berkepentingan
aku pun meninggalkan mereka
mencoba mencarimu dalam sepi rinduku

Aku merindukanmu o, Muhammadku

Sekian banyak Abu Jahal Abu Lahab
menitis ke sekian banyak umatmu
O, Muhammadku-salawat dan salam bagimu-
bagaimana melawan gelombang kebodohan
dan kecongkakan yang telah tergayakan
bagaimana memerangi umat sendiri?
O, Muhammadku

Aku merindukanmu o, Muhammadku
Aku sungguh merindukanmu.

A. Mustofa Bisri
PUISI JENAKA MUSLIMIN MODERN

Kaum muslimin pun modern
Lihat, mereka berwudlu dengan tissu basah berparfum
Berjumatan di kantor dengan tak lupa shalat
tahiyyatal-kantor
Imam dan khatibnya cukup televisi 50 inci
Tak memerlukan uang transport atau gaji

Kaum muslimin pun modern
Lihat, mereka mendapatkan jodoh
Melalui komputer biro jodoh
Dan mereka kawin via telepon
Dengan penghulu tape-recorder
Dan mas kawin kartu kerdit

Mereka berkomunikasi jarak jauh
Dengan bahasa-bahasa yang tak saling menyentuh
Mereka tak lagi berbeda pendapat
Karena beda pendapat menghabiskan enersi
Dan kita praktis sama sekali
Mereka menggantinya dengan kebencian dan
permusuhan
Toh senjata-senjata mutakhir siap dipergunakan
Mulai cacimaki tajam hingga rudal-rudal kejam

Kaum muslimin pun modern
Bukan, bahkan agaknya sejak lama sekali
Mereka sendiri sudah merupakan robot-robot sejati

1410-H

A. Mustofa Bisri
INPUT DAN OUTPUT

Di mesjid-mesjid dan majlis-majlis taklim
berton-ton huruf dan kata-kata mulia
tanpa kemasan dituang-suapkan
dari mulut-mulut me4sin yang dingin
ke kuping-kuping logam yang terbakar
untuk ditumpahkan ketika keluar

Di kamar-kamar dan ruang-ruang rumah
berhektar-hektar layar kehidupan mati
dengan kemas luhur ditayang-sumpalkan
melalui mata-mata yang letuh
di benak-benak seng berkarat
untuk dibawa-bawa sampai sekarat

Di kantor-kantor dan markas-markas
bertimbun-timbun arsip kebijaksanaan aneh
dengan map-map agung dikirim-salurkan
melalui kepala-kepala plastik
ke segala penjuru urat nadi
untuk diserap sampai mati

Di majalah-majalah dan koran-koran-koran
berkilo-kilo berita dan opini Tuhan
dengan desain nafsu dimuntah-jejalkan
melalui kolom-kolom rapi
ke ruang-ruang kosong tengkorak
orang-orang tua dan anak-anak

Di hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan
beronggok-onggok daging dan virus
dengan bungkus sutera disodor-suguhkan
melalui saluran-saluran resmi
ke berbagai pribadi dan instansi
untuk dinikmati dengan penuh gengsi

Di jalan-jalan dan di kendaraan-kendaraan
berbarel-barel bensin dan darah
dengan pipa-pipa kemajuan ditumpah-ruahkan
melalui pori-pori kejantanan
ke tangki-tangki penampung nyawa
untuk menghidupkan sesal dan kecewa

1415-H

Ali Maschan Moesa
TRAGEDI ANAK-ANAK BANGSA
(Gelap bergayut di Irak Selatan)


Ia mencium tangan Ibunya, lalu raib ditelan kelam, disiram embun malam gedung besar meledak, tubuh mereka jatuh berkeping-keping, bersamaan dengan reruntuhan bangunan dan pecahan mesiu

Panas membakar setiap bongkah kota bagdad mereka berlari,
berteriak menjerit, berteriak menjerit
lawan arogansi Amerika, hancurkan kezaliman
gemuruh yel-yel menyambutnya
tiba-tiba-tiba desing peluru menyobek dada mereka
mencipratkan darah merah ke seluruh jaketnya yang lusuh

Pencakar langit yang pongah itu
menyerap udara dingin dan menyemprotkan asap neraka
bajunya yang kotor menempel erat ke tubuhnya yang basah dengan keringat
seperti banteng ketaton, ia menyeruak masuk ke kerumunan
yang penuh sesak
jerit tangis bergabung dengan hingar bingar umpatan
tiba-tiba sebuah rudal melumatkan perut anak muda itu
darah kental mengalir dengan cepat, makin lama makin besar

Dan….. inilah
dunia sejak abad lalu sampai sekarang
umat manusia dicabik-cabik perpecahan
tak jarang darah dengan sia-sia ditumpahkan

Karenanya ….. dengan motivasi kemanusiaan
sebuah posko kami dirikan
untuk mengkonstruksi manusia dengan kemanusiaan
akan realisasikan perasaan perdamaian
dengan kecerdasan hati, kearifan, dan pengetahuan

Akhirnya…. Izinkanlah saya bertanya
di manakah anda wahai Bush dan Blair
apakah anda masih duduk di situ
sebagai pembantai berdarah panas, biru
potonglah tangan-tangan kami
tebas ke leher-leher kami
Demi Allah, sampai teriakan terakhir
akan kami serukan pesan perdamaian
walaupun dengan darah yang sudah kering

Ataukah…….anda-anda yang duduk di sini
seperti para pembela kebersihan hati
serahkan bantuanmu ke tangan-tangan kami
bantu, topang, perkokoh kami
doakan dengan airmatamu
ketika tubuh kemanusiaan dikoyak-koyakkan
oleh mereka yang mengusung arogansi dan tiran

Padahal…..raja sejati adalah Dia
yang menguasai pikirannya
bukan dia yang pikirannya, menguasai dia dan dirinya

Surabaya, 2006

Ali Maschan Moesa
TRAGEDI ANAK-ANAK BANGSA

Jika anak dibesarkan dengan celaaan
ia akan belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan
ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan
ia belajar keadilan
Jika keluarga dibangun atas dasar iman
ia tumbuh dalam nuansa mahabbah, kasih sayang
Jika politik dikonstruksi dengan lawakan
rakyat makin miskin, kurang makan
Jika pemimpin tanpa keteladanan
negara krisis, kelebihan hutang
Jika pemimpin gagal wujudkan kesejahteraan bersama
memang yang dibutuhkan perasaan menderita bersama
Jika ada pemimpin yang luar biasa
namun di sini biasa di luar
Jika pilkada diserahkan kepada rakyat
hati-hati yang terpilih justru konglomerat
Jika sekarang muncul polio, busung lapar
karena rapat terus, subsidi BBM tidak keluar
Jika rusak di laut, di daratan
tsunami, gunung menjadi hamparan
Jika beragama hanya dengan perasaan
hadir Yusman, Lia Aminudin, M. Abd. Rahman
Jika relasi antar agama berparadigma apologi
institusi agama sibuk membagi-bagi rizki


Jika beragama berangkat dengan misi ‘jihad’
anak istri melarat, kekerasan meningkat
Jika dibiarkan indivisualisme tumbuh
manusia memangsa manusia makin kambuh
Jika dunia menyaksikan kerajaan besar jatuh
tidak mustahil Indonesia akan runtuh
Jika aku menjadi pemimpin negeriku
aku akan memikirkan semua kata-kataku
Jika reformasi hanya setengah hati
datanglah kesenjangan, distrorsi, repot nasi
Jika orang bertanya kepada Nabi di manakah Tuhan
ia menjawab ada dalam qolbu orang beriman

Dan……
Jika kau ingin derita, benar-benar hilang dari hidupmu
berjuanglah untuk melepaskan kebijakan dari kepalamu
kebijakan yang lahir dari tabiat akal-akalan
tidak lebih hanyalah khayalan
karena hampa dari limpahan nur-sirr Tuhan

Surabaya, 2006

Ali Maschan Moesa
OH TULKIYEM AYU

Oh Tulkiyem ayu
Areke lemu asalae Semalawaru, rupane sumeh ngguya-ngguyu
Oh Tulkiyem lemu
Numpak dokar jarane telu, doyane lonthong tahu
Oh Tulkiyem lucu
Tuku tempe njaluk tahu, andhok angsle entek sewu
Oh Tulkiyem seneng
Menang-meneng atine seneng, uripe abot nggak tau nggreneng
Oh Tulkiyem kenes
Gelek-gelek digudha kernet, tapi areka nggak tau ngrewes
Oh Tulkiyem gendhut
Bokonge gede medat-medut, sing ngawasi kedat-kedut
Oh Tulkiyem wangi
Ate adus nang pinggir kali, sabune seger cap manuk Sriti
Oh Tulkiyem ayem
Nyruput wedang meram-merem, wis marem senajan mek mangan jemblem

Oh Tulkiyem kesel
Awake linu rasane pegel, tapi atine nggak tau mangkel
Oh Tulkiyem njeglik
Hiburane wong kampung Ngaglik, nggak tau susah senajan nggak duwe duwik
Oh Tulkiyem singset
Masih lemu nggak klelad-kleled, glegas-gleges uripe ulet
Oh Tulkiyem mletik
Atine apik awake resik, nggak tau medit amek duwik
Oh Tulkiyem nyempluk
Cilikane doyan gethuk, awake sehat nggak tau watuk
Oh Tulkiyem mbangir
Teka Semampir masak jangan menir, disir wong sugih tapi areke nggak naksir
Oh Tulkiyem eblas
Kepanasen kipas-kipas, nggak sugih bandha tapi atine bebas
Oh Tulkiyem medhut
Nek mijeti medat-medut, nang awak rasane sedut-senut
Oh Tulkiyem bunder
Muter-muter dodolane lemper, areke nggak duwe tapi nggak minder
Oh Tulkiyem mlerok
Onde-onde wutuh diemplok, bodine semok tambah monthok
Oh Tulkiyem sabar
Munggah bulan numpake dokar, uripe nrima gak nyasar-nyasar
Tuku jemblem nang Yu Tulkiyem. Atur kawula cekap semanten
Yu Painten kleleke jendela, cekap semanten atur kawula

Surabaya, 2006


D. Zawawi Imron
KERONCONG AIRMATA

Bismillah awal alkisah
sebuah negeri yang kaya yang gemah ripah
Serangkaian kepulauan
yang rahim ombaknya menyimpan
dahaga, rindu, dan mutiara

Kalau di situ ada orang bertanya:
“Di manakah janji hari esok sembunyi?”
Daun-daun hijau yang menjadi selimut bumi
Adalah jawabnya

Di situ ada orang berlagu::
Di sini batu-batu
dipecah berbiji emas
Kerikil digosok jadi permata
Alhamdulillah Indonesia
Tanah airku tercinta

Matahari bulan perak
menyapa putih kapas randu
Gunung-gunung tegak
meniru birunya kalbu
Di sana mangga masak
di sini berputik kembang duku
Sawah luas tengadah
mengaku bumi Allah
Bulir padi berjuta untai
merunduk berjurai-jurai
Membisikkan damai
lewat dawai-dawai
angin yang dikipas kelepak murai
Sayang disayang
seribu mayang
Kami bertani
tidak terasa bikin keranda
Karena sawah kami
kami racuni dengan pestisida

Tuhan, benarkah kami
khalifah-Mu di atas bumi?

Kami kaya raya
Punya luas hutan rimba
Di sana hidup ragam binatang
tapir, badak, kijang, dan ular belang
Ada kera yang suka cemberut
lucu seperti badut
Ada harimau perkasa
yang suka merenggu mangsa
Ada kancil, konon binatang paling cendekiawan
yang bicara baik tapi mencelakakan
Memang begitulah
kebinatangan yang mahasempurna
dalam kehutanan di rimba-rimba

Kadang kami tak habis mengerti
pada pekerti kami sendiri
kemarin ketuhanan
sekarang kehutanan
besok pagi kebinatangan
lusa kembali ke ketuhanan
besoknya lagi
kesetanan
lalu kesurupan

Saat tahun 2000 hampir di ujung jari
Hutan-hutan yang menyimpan janji kami bakari
Dengan gencar kami ekspor asap ke luar negeri
Jadinya begitu gencar kami ekspor asap ke luar negeri
Warisan untuk anak cucu kami curi
Demi gengsi kekinian yang tak punya nurani

Batu-batu kerikil
Ranting-ranting gugur kecil
meneteskan getah airmata
Masyaallah Indonesia

Itulah sejarah yang kami tulis
dengan terjang, terkam, dan tangis
Timika terluka
Sambas saling libas
Aceh terleceh
Jakarta berairmata
Jiwa raga
tidak berharga

Kemudian lihat dengan cermat
Pada trotoar kota-kota yang mekar
Di sela gedung-gedung yang tinggi kekar
megah menjulangi langit
Orang-orang compang-camping
menyeret nasibnya yang ringkih
menghela nuraninya yang pedih
meminta-minta ke sana kemari
Yang lain mengais-ngais tumpukan sampah
mencari sisa-sisa rezeki
(yang hanya pantas dilakukan oleh tikus dan coro)
O, mereka adalah saudara-saudara kami yang tersisih
Hatinya penuh tusukan jarum, tusukan paku dan duri
O, sungguh penderitaan yang telah sempurna

Dengan sikap gagah dan tanpa dosa
kami saksikan
kaum gelandangan kesulitan menyeret langkah
dari sebuah kota ke tempat-tempat lainnya
Mobil-mobil kami mendahuluinya di jalan-jalan raya
dengan klakson melengking angin menambah wibawa
Sekaligus mengentutkan asap dan debu
yang memerihkan mata
dan menyesakkan dada
Masyaallah Indonesia

Pada sebuah sunyi yang basah
Kaum gelandang bersumpah
diikuti orang-orang yang hatinya berdarah:
:
Sumpah Kaum Gelandangan

Satu, Kami kaun gelandang bersumpah,
bahwa kami akan mencintai
tanah air kami sehidup semati
Dua, Kami kaum gelandangan bersumpah,
bahwa kami benar-benar
tak punya tanah
Tiga, Kami kaum gelandangan bersumpah,
bahwa kami berlimpah air
kalau ada banjir
Empat, Kami kaum gelandangan bersumpah,
bahwa kami tidak akan
menjadi orang-orang serakah


Kami bersaksi
bahwa orang-orang miskin itu telah menepati semua sumpahnya
Menyimak sumpah itu kami jadi bertanya
Kemakmuran tanah air ini sebenarnya untuk siapa?
Barangkali kami memang lebih dulu tahu
Tapi rasanya kok lebih enak
kalau kami selalu lupa
bahwa kemakmuran itu
untuk seluruh saudara sebangsa
Lalu mengapa ada orang-orang melarat dan terkapar?
Mengapa ada anak-anak perutnya busung disengat lapar?
Mengapa ada orang yang tinggal di gubug reyot,
seatap dengan bau bangkai bekicot?

Nurani yang berguru kepada Baginda Ali menjawab:
“Karena ada orang-orang serakah”
Masyaallah Indonesia

Di atas kerindangan dahan jambu
burung-burung bernyanyi seperti dulu
tentang indahnya langit biru

Burung –burung dalam sangkar juga berlagu
lagu senada
meskipun dengan melodi yang berbeda
Di tempat lain ada pidato berapi-api,
api, api, api
api, api, api
Orang-orang cerdik pandai berkelahi
bersenjata angka, bolpen, dan dasi
api, api, api
der, dor der dor dar der dor
dor
dor doro
doro dor dor
dar der dor
tolong..........!
doro dor
Ibu ..............!
dor dor dor
dor dor
Orang-orang bisu berzikir:
uh ah ah ih ah
uh ah ah ah ah

Mulut-mulut berbunyi
tapi tidak wasis bicara
Kalau bicara
hanya untuk keseleo lidah
Masyaallah Indonesia
Anak-anak gembala kerbau
hatinya menangis resah ke mimpi
karena sungai tempatnya berenang mandi
airnya kotor dicemari limbah industri
Ikan-ikan mati
langit tak biru lagi
Penyair sibuk berdeklamasi
Katanya: “Langit biru yang tersisa
masih tersimpan dalam nurani”
Orang-orang miskin menyanggah:
“Penyair, jangan suapi mulut kami dengan puisi
yang kami inginkan beras atau nasi.”

Adzan di mesjid berkumandang
Talu lonceng gereja berdentang-dentang
Asap dupa semerbak di dalam pura
Kita dengarkan lagi orang miskin bersuara:

Kami berteriak bukannya marah
tetapi bosan kami melarat
Kami bernyanyi bukan gembira
karena capek kami menangis

Mendengar itu
Malaikat di langit termangu
Anak-anak sekolah ikut berlagu:

mana di mana
manusiaku
mana di mana
mana manusiamu

Gitar dipetik berlenting-lenting
Jatuh berdebum si cengkir gading
Gadis desa miskin berkulit langsat
Di antar germo ke hotel bertingkat
Masyaallah Indonesia

Mahasiswa-mahasiswa
turun ke jalan-jalan
mewakili ayah bunda mereka yang gagu:
mana di mana
manusiamu
mana di mana
mana manusiaku

Jauh di lengkung sebuah gua
yang gelap tapi terang
yang benderang tapi gulita
seorang santri tak habis-habis
mengaji duka mengeja darah
seperti mengaji dirinya sendiri:
Siapa yang disebut manusia?
manusia manusia manusia
ma-nu-si-a ma-nu-si-a ma-nu-si-a
manu-sia-sia manu-sia-sia manu-sia-sia
sia-sia-sia-sia-sia-sia
siapa sia-sia?
Ya siapa ya sia-sia
Ya manusia ya sia-sia

Gua itu berbunyi: “Non....sens, nonsens, nonsens!”
Gelas-gelas pecah
Cermin-cermin retak
Huruf-huruf hangus
Kata-kata majal rumus
Umur jadi bisu pada waktu
Angka nol kecurian satu
Ibu, untuk apa hidup ini dari Ahad sampai Sabtu?
Tahun demi tahun terlego ke dalam tipu

Ada bahana bukan suara
bukan bahasa:
Demi waktu!
Sesungguhnya manusia pasti merugi
kecuali yang beriman
dan beramal saleh
dan yang saling bernasihat dengan kebenaran
dan yang saling bernasihat dengan kesabaran

Kami inginkan hidup tenang
bersyukur dari nung ke nang
tapi harus kami gali hening
dalam hening
ada ning
dalam ning
ada kosong
dalam kosong
ada gong
gong
gong
gong

Sekarang milenium ketiga
masih ada sawah terbentang
Alhamdulillah Indonesia
Besok, masih adakah tangan yang melambai
meniru buliran padi yang berjurai
Amin! Ya Allah!
Semoga, Ya Tuhan!
Kami melangkah dalam amin
Kami bergerak dalam semoga
Dari keringat
ke amin
dari amin
ke semoga
Semoga hati
semoga tangan
Semoga ilmu
semoga teknologi
Semoga embun
semoga bunga
Semoga darah
tak simbah lagi
Semoga rusuh
tak suruh lagi
Semoga senyum
bersama Nabi
Semoga damai
beserta Rosul
Semoga senapan
diganti pacul

Di tengah alam yang luas
kami saksikan tamsil yang jelas:

Seekor sapi merumput di kehijauan
Di atas punggungnya tiba-tiba hinggap
seekor burung jalak hitam
Burung Jalak itu memunguti kutu-kutu
disela bulu-bulu sapi
Burung Jalak kenyang sapi pun senang
Sebuah persahabatan
yang menghormati kehidupan
Persaudaraan dua ekor hewan
yang berbeda bentuk, jenis dan kebiasaan
tapi bisa rukun di tengah alam
Bisa damai di bawah Tuhan

Subhanallah Indonesia
Alhamdulillah Indonesia
Masyaallah Indonesia
Astaghfirullah Indonesia

2000

D. Zawawi Imron
ACEH MENDESAH DALAM NAFASKU

Aku belum pernah berkunjung ke Aceh
Tapi aku pernah mencium
aroma pena Syekh Hamzah Fansuri
Aku pernah menikmati
keindahan senyum Teungku Ali Hasjmy

Aku belum pernah menginjakkan kaki ke Aceh
tapi Aceh kini selalu datang ke dalam diriku
Setiap hari, pagi, dan sore
diantarkan koran dan televisi
Aceh menangis, Aceh pun mengalir dalam sedu-sedanku
mengalir dalam airmataku yang terus menderai
bersama sungai tepanjang yang mengalir ke balik langit
berliku-liku di sela bintang gemintang
mencari Telaga Al-Kautsar

Jika Aceh terluka, Aceh berdenyut dalam denyut nadiku
Aceh mendesah dalam nafasku. Aceh berdetak dalam jantungku
memukul-mukul jiwaku, memacu doaku
Dan Aceh kusebut di sela-sela dzikirku

Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Muhaimin, Ya Salam,
Ya Latif, Ya Rauf

Jika Engkau akan menjatuhkan hujan ke bumi
Turunkan derai bersama Damai-Mu
Biar Kasih-Mu meresap basah ke dalam hati
melembutkan segenap nurani
Hidupkan sejuk kami kepada Aceh
dengan cinta yang saleh

Ya Allah Yang Maha Penyayang,
Engkau mengutus Muhammad dengan wajah yang cemerlang
Dengan lidah yang indah
Dengan tatapan pandang yang lembut ramah
Dengan tangan menabur sejuk
menghapus gelisah dengan hati yang bernanah
Dengan cinta yang mekar seperti mawar dan melati yang merekah
Agar kehidupan terasa rahmat
dengan langka-langka kerja yang menderap
menuju damai yang mantap

Tugas Rasul-Mu terus dilanjutkan para ahli waris
pengemban amanah, menjadi mata rantai sejarah
Dan sampai juga ke Tanah Rencong:
Fajar Iman yang damai terbit dari Perlak dan Pasai
untuk bumi Nusantara
Di lintas Jawa ada Walisongo, Syekh Yusuf dari Makassar
dan Sultan Khairun di Ternate

Semua sering terbayang selintas mendengar azan
yang mengalun mendamaikan kalbu
Hayya’alashalah, hayya’alal falah
Mari bersujud damai dalam salat
Mari meraup bahagia yang penuh damai
Damai di bawah naungan Allah

Aku belum pernah datang ke Aceh
Tapi Aceh selalu berdetak dalam jantungku
dalam keindahan mimpiku. Aceh mengalir mengajak zikir
Mengalir dalam damai
ke alam cinta
Di dalam belaian Kasih Sayang Allah


Wahib Wahab
SYAHWAT KORUPSI

kemauan terbakar oleh kesenangan sesaat
harmoni kehidupan pun lenyap
meracuni diri
tak pernah merasa salah
pikiran pun membusuk
terangsang oleh keserakahan
kesempatan menyapa
terbangun oleh kasak kusuk
meraup kekayaan penuh konfirmasi
menggelembung syahwat kerakusan
mencuri keranjang korupsi
tak pernah puas
mata pun buta, telinga pun tuli
wujud strukturalnya manusia
kebuasannya melampaui hewani
gila jabatan, takut kematian
padahal izrail pasti menjemput nyawa
tak pernah salah mendatangi kepada siapa
bila badan terbujur kaku
tak bermakna nada-nada merayu
berharap hidup walau sesaat
untuk diisi dengan jenis-jenis tobat
oh.. sungguh terlambat

Mojokerto, 18 Mei 2006


Wahib Wahab
SANTRI

Berkerumun sekian anak bangsa
Mengukir masa depan
Bersama goresan tinta, kitab dan tasbih
Terbiasa sujud bersajadah tanah
Tanpa alas tanpa tikar dan tak berbantal
Bertaburan tunas asa
Hidup terlatih prihatin
Berjalan alami tanpa gerutu
Berebut memaknai lorong waktu

Hidup terisi ngaji dan mengkaji
Muatan karya ilmuan penuh arti
Terkendali oleh sosok kyai
Tak ada luang tuk mendengkur
Tidur pun hanya tertidur
Kadang ditemani semak-semak
Serta angin belukar yang bergerak
Mendamba santri penuh tutur
Demi bangsa agar tak hancur
Ramah, santun, dan penuh perkawanan

Dihiasi aroma iman
pesantren sebagai ruang pendederan
terbedeng bibit-bibit kesalehan
mengiyakan pesan-pesan Tuhan
membangun kehidupan dengan aman dan nyaman
mengusung kebenaran dengan kejujuran

Mojokerto, 18 Mei 2006


Wahib Wahab
ZAMAN EDAN

Aku terbakar dalam api menyala perlahan
Aku adalah keinginan yang pedih
Aku serahkan percaya pada kesangsian yang hidup
Aku mencari, bertanya dan bercita-cita
Aku tiada hajat pada telinga zaman edan
Akulah suara penyair terpinggirkan
Oleh kepongahan corong – corong kezaliman

Zamanku sendiri tak pernah paham makna kudamba
Aku akan berbuat “sesuatu” dengan keberanian
Yang belum pernah diperbuat oleh para pendahulu
Berteriak demi kemanusiaan yang terkoyak
Oleh korupsi, pornografi
Menghiasi debat panjang menjemukan.

Mojokerto, 18 Mei 2006


Muhammad Thohir
AL-QUR’AN NAN INDAH

Indahnya rumah-rumah itu yang
Al-Qur’an sebagai hiasan dindingnya
Dinding-dinding yang merona dan menyapa
Dengan kalimat-kalimat penuh makna
Namun,
indahkan Al-Qur’an itu
Dari hiasabn dinding menjadi hiasan bibir
Bibir-bibir yang bergetar
Melantunkan melodi makrifat
Mengerti maupun belum memahami
Getaran Al-Qur’an dari bibir-bibir itu
Membuka pintu-pintu keindahan

Lewatlah pintu keindahan itu
Masukkan Al-Qur’an
Dari hiasan bibir menjadi hiasan qolbu
Betapa indahnya qolbu berhias Qur’an
Betapa cerah qolbu itu
Penuh cahaya di lubuknya
Sinarnya membekas di qolbu-qolbu yang mendekati
Qolbu yang sehat dan cerdas
Khazanah Nafsu Muthma’innah

Namun,
Lihat, puncak keindahan itu
Ketika aktualisasi Al-Qur’an
Dari hiasan qolbu menjadi hiasan perilaku
Indah nan cantik perilaku
Yang berhias Al-Qur’an
Pribadi murah hati yang dimuliakan
Pribadi mulia nan elegan
Pribadi rendah hati yang ditinggikan
Pribadi harum nan semerbak
Pribadi Taqwa Bahagia dan membahagiakan orang lain
Senang bila menyenangkan orang lain
Peduli dan memberi
Bagai hadiah untuk diri sendiri
Sekaranglah saat untuk menikmatinya

Surabaya, 25 Maret 2006

Muhammad Thohir
MENATA HATI

Ketika hati sejernih air
Jangan biarkan ia menjadi keruh

Ketika hati seputih awan
Jangan biarkan ia mendung

Ketika hati seindah bulan
Hiasilah ia dengan Iman*)

Ketika hati suram tak karuan
Cerahkan ia dengan Al-Qur’an

Ketika hati memeluk kebenaran
Puaskan ia menikmati kebahagiaan

Ketika hati seputih melati
Gunakan ia untuk interaksi

Ketika hati penuh madu
Racun pun akan berlalu

Ketika hati berbunga-bunga
Berikan ia sebagai tanda cinta

Ketika hati seperti mutiara
Ucapkanlah Al-Hamdulillah

*) tiga bait pertama puisi ‘Mutiara Ramadhan, TVRI, 2005.


Muhammad Thohir
BUMI BERKATA*)

Tuhan,
Sebagai makhluq-Mu aku ini seperti apa?
Dibanding matahari aku hanya sepersejuta
Tapi dalam konfigurasi galaksi
Kau tempatkan aku sebagai posisi
Kau beri aku biosfir dan ekosistem
Berjuta habitat berjuta nuansa
Berjuta flora penuh fauna
Dan manusia-manusia

Tuhan, Bermilyard tahun aku memutar rotasi
Dengan sudut miring dan kecepatan pasti
Langkahku sederhana hasilnya istimewa
Dengan rotasi kupersembahkan malam dan siang
Dengan kemiringanku aku hadiahkan musim yang berganti
Dengan kecepatanku manusia menghitung hari-hari
Energi yang Kau berikan,
betapa besarnya dan di mana sumbernya
Betapa arif Kau tetapkan posisi miringku
Kecepatanku yang istiqomah, betapa canggih kendalinya
Dan itu bukan permainan sederhana

Tuhan,
Di bawah kulitku tersimpan harta karunia-Mu
Di permukaanku berjuta ragam penghuni
Di punggungku tergelar berjuta sandiwara
Samuderaku penuh terhias ayat-ayat-Mu

Gunung-gunung indah terlukis ayat-ayat-Mu
Sungai-sungaiku menawarkan air peradaban
Hutan-hutanku menunjang kehidupan
Di pangkuanku fauna dan flora bercengkrama
Saling isi dan interaksi
Menjaga ekosistem dan habitat serasi
Dengan tulus dan menahan diri

Tuhan, Dihari tuaku datang makhluq baru
Mereka disebut manusia
Tapi benarkah mereka itu manusia?
Mengapa mereka memusuhi sesamanya?
Dan asyik berteman syetan?
Demi tahta dan harta
Mereka melahap apa saja
Atau membunuh siapa saja
Keserakahannya naudzubillah
Kekejiannnya astaghfirullah
Walau kursi dan atributnya wah
Harkat dan martabatnya payah

Tuhan,
Betapa risau umpama tak ada Nabi-Nabi
Dan Rasul-Rasul yang peduli
Hatiku cemas jika tak datang Wali-Wali
Dan Ulama-Kyai yang memperingati
Demi firman-Mu dan ajaran-Mu
Ulama-Kyai menempa jati diri

Tuhan,
Di ruang semesta
Barangkali aku hanya sebutir debu
Tak layak dihitung
Atau diperhatikan
Tapi karena tamu-tamuku yang manusia itu
Yang pintar membangun maupun merusak
Yang ikhlas memberi maupun tega merampas
Yang terpuruk di bawah kaki al-an’am
Atau yang melejit di atas para Malaikat
Aku menjadi ajang terhormat
Atau saksi mulia
Perbuatan dan langkah terjang mereka

Tuhan,
Segala milikku bebas dipakai manusia
Tapi seringkali mereka memperkosanya
Ekosistemku menjadi habitat mereka
Tapi beruilangkali mereka merusaknya
Kuberikan segalanya tapi sia-sia
Aku malu, Tuhan
Penghuniku terlena fatamorgana
Apakah mereka mencintaiku atau memperkosaku?
Cinta mereka kepadaku membawa bencana
Syukur aku terhibur Nabi, Ulama dan pemimpin menghormatiku
dan membelaku
Aku masih bisa berbangga
Musa, Isa dan Muhammad berjuang di punggungku
Mereka sayang kepadaku tetapi lebih cinta kepada-Mu
Jasad mereka di perutku tapi roh mereka di sisi-Mu
Umat mereka manusia pilihan
Yang suka menempuh jalan Tuhan

Tuhan,
Aku yakin keluasan Rahmat-Mu
Aku percaya kearifan-mu
Aku tunduk setia kepada Sunnah-mu
Aku sembahyang kepada-Mu
Ekosistemku, biosfirku, terimalah sebagai tasbihku
Gunungku, hutanku, airku terimalah sebagai pujianku
Rotasiku, revolusiku, terimalah sebagai sujudku


Kampus Unair Surabaya, Agustus 1998

*) diambil dari kumpulan ‘Munajat Semesta’



BIODATA PARA KYAI

A. Mustofa Bisri. Kyai yang lebih dikenal sebagai penyair dengan julukan “Gus Mus” ini lahir di Rembang, 10 agustus 1944. Lulusan Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir) ini kerap kali mengikuti forum baca puisi, termasuk di Festival Mirbid X di Irak. Karya-karya banyak dimuat di sejumlah kumpulan puisi, antara lain: Bosnia Kita, Parade Puisi Indonesia, Antologi Puisi Jawa Tengah. Kumpulan puisinya sendiri: Ohoi, Tadarus, serta Pahlawan dan Tikus.

Agus Ali Mashuri. Kyai ini sebagai pimpinan Pondok Pesantren Bumi Shalawat, Tulangan, Sidoarjo. Banyak ceramah agama di berbagai daerah di wilayah Jawa Timur.

Ali Maschan Moesa. Kyai yang kini menjabat sebagai Ketua PW-NU Jawa Timur, lahir di Tulungagung 1 Januari 1956. Pendidikannya berawal dari pesantren, lantas lulus S-1 Fakultas Adab dari IAIN Sunan Ampel Surabaya. Lulus Program Pascasarjana Ilmu Sosial – Universitas Airlangga Surabaya dari S-2 dan S-3. Kyai ini juga pengasuh Pesantren Al-Husna, dan sebagai Ketua Forum Lintas Agama dan Etnis Tingkat Jawa Timur.

D. Zawawi Imron. Kyai yang lebih dikenal sebagai penyair ini lahir di Sumenep. Malang melintang jadi penyair, sekaligus kyai. Ceramah agama di berbagai kota, hampir seluruh kota besar di Indonesia.

Wahib Wahab. Doktor dengan kajian studi Islam dari IAIN Suka Yogya-karta ini, lahir di Kediri, 29 September 1965. Tulisannya banyak dimuat di berbagai koran dan majalah. Beberapa terbitan bukunya, berupa buku-buku kajian Islam. Kyai ini bekerja sebagai Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya. Selain itu mengajar di beberbai Perguruan Tinggi Swasta di Jatim, serta beberapa pesantren. Ia juga sebagai pembina “Forum Studi Islam dan Zikir (FORSIZ) Kab/Kota Mojokerto. Anak tiga (Ria, Misbah, dan Nabila dari istri yang baru satu). Dalam hidup ia punya motto: meski aku hidup di era belakangan, sungguh aku akan berbuat sesuatu yang pernah diperbuat oleh orang-orang terdahulu” dan aku ingin “hidup mulia dan Mati sebagai syuhada.”
Kini kyai ini sedang merampungkan tulisan tentang Tafsir al-Qur’an “al-Syifa’ “ (Upaya menggali kedalaman al-Qur’an), dan Tentang Tafsir Ayat Ayat Syetan dalam al-Qur’an (Pendekatan Tafsir Tematik). Kini sedang menyiapkan beberapa tulisan pada acara International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta tanggal 19 s/d 22 Juni 2006 mendatang.
Alamat : Jl.Wlirang II/21 Kota Mojokerto Telp.0321 7151833 atau mobile 081331121401

Muhammad Thohir, kyai yang satu ini pernah menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Islam Surabaya (1975-1985). Dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj ini, lahir di Surabaya, 26 Maret 1943. Pendidikannya FK Unair Surabaya (1964), Spesialisasi Ilmu Kedokteran Jiwa – FK unair (1990). Jabatan yang pernah diembannya banyak: Pernah jadi Wakil Ketua PWNU Jatim (1987-1997), A’wan Syuriah PBNU (1992-1997), Ketua IV MUI Jatim Bidang Ukhuwah dan Kerukunan, Ketua IDAJI (Ikatan Dokter Ahli Jiwa) Surabaya (1997-2002) Selain itu pernah Ketua VII ICMI Pusat, tahun 1995-2000.

BAHASAN SURABAYA 714 RM YUNANI

BEDAH BUKU ‘SURABAYA 714’
antologi puisi dan guritan malsasa
bahasan RM Yunani Prawiranegara
---*****---
ditulis kembali oleh: Aming Aminoedhin*


Setelah pentas baca puisi “Surabaya 714” Malsasa 2007 di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, 20 Agustus 2007 lalu, yang di antaranya mencatat beberapa nama penyair yang tampil malam itu, seperti: Akhudiat, Aming Aminoedhin, AF Tuasikal, Bagus Putu Parto, L. Machali, Fahmi Faqih, Budi Palopo, R. Giryadi, Ida Nurul Chasanah, Sabrot D. Malioboro, M. Har Harijadi, M. Tauhed, Bambang Kempling, Saiful Bahri, Chamim Kohari (penyair); Suharmono Kasijun, Anank Santosa, Bonari Nabonenar, Sugeng Adipitoyo, Widodo Basuki, Herry Lamongan, Pringgo HR (penggurit); selanjutnya diselenggarakan bedah bukunya.
Bedah buku antologi puisi dan geguritan bertajuk ‘Surabaya 714’ Malsasa 2007, yang diselenggarakan atas kerja sama Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) dengan Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), dan Toko Buku Diskon ‘Togamas’ Surabaya, berlangsung di Toko Buku Togamas, Jalan Diponegoro 9 Surabaya, tanggal 30 Agustus 2007.
Dalam buku tersebut mencatat ada 34 penyair, memuat 78 judul puisi, dan 14 penggurit, memuat 32 judul guritan, yang penulisnya berasal dari: Surabaya, Mojokerto, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Ngawi, Bojonegoro, Pamekasan, Ponorogo, Trenggalek, dan Blitar.

Bahasan RM Yunani
Tampil sebagai pembicara atau pembedah bukunya, RM Yunani Prawiranegara, mantan redaktur senior Harian Surabaya Post. Sedangkan peserta yang hadir dalam bedah buku tersebut, banyak dari kalangan wartawan, praktisi dan akademisi sastra. Di samping masyarakat sastra Surabaya pada umumnya, yang ikut hadir ikut diskusi.
Makalah bedah buku RM Yunani, yang bertajuk ‘Karya sastra adalah karya kontemplatif dan imajinatif’ tersebut menyoroti bahwa hakekat puisi/guritan adalah sebagai media mengekspresikan kreativitas seseorang, penyalur emosi, dan estetika seseorang. Medianya, kata RM Yunani, bisa menggunakan medium bahasa Jawa, Madura, Osing, atau bahasa Indonesia. Namun kenyataannya, dalam buku ‘Surabaya 714’ beberapa penulis di dalamnya sulit membedakan, dia itu penyair atau penggurit. Hanya menyebut contoh beberapa nama, di antaranya: Puput Amiranti (Surabaya), Aming Aminoedhin (Mojokerto), M. Tauhed (Pamekasan), Budi Palopo (Gresik), Mashuri (Lamongan), Debora Indrisoewari (Surabaya), W. Haryanto (Surabaya), Anank (Mojokerto), dan Bonari Nabonenar (Trenggalek).
Lebih lanjut, RM Yunani, juga menyoroti tentang banyak penggurit yang masih terpancang oleh kaidah atau paugeran sastra Jawa yang diciptakan para pujangga terdahulu semacam itu. Kebekuan kreativitas ini karena menganggap Pujangga R. Ng. Ronggowarsito sebagai pujangga terakhir sastra Jawa. Harapannya, janganlah terkurung “dalam bayang-bayang sang Pujangga.”
Contoh: .......................................
numpak bis tingkat
jebule orang enggal mangkat
yen tekan kantor telat
uang makan mesthi disunat

......................................... (Anank, “Nguing-nguing”, hal. 6).
..............................................
Neng Tugu Pahlawan aku kidungan
Kidungane jaman pembangunan
Dudu traktor gantine sapi
Terus goyang ngebor ngebor pornoaksi
Dudu pembangunane gedhongloji
Nanging pembangunane jati diri
..............................(
Sugeng Adipitoyo, “Kidungan Neng Tugu Pahlawan”, hal 26).

Pada bagian lain, RM Yunani lebih menyoroti tentang ejaan dan bahasa yang digunakan penyair/penggurit. Menurutnya ada penyair yang mencoba menggunakan idiom-idiom Jawa, tetapi ejaan dan pemilihannya kurang tepat. Banyak dalam penulisan ejaannya salah, sebut saja tulisan: Puput Amiranti dalam ‘Kayadene Wayah Surup’ (hal.21-22) ; Joko Susilo dalam ‘Misi Hawa Mencari Suci Sukma’ (hal. 42); Adi Susilo Wibowo dalam ‘Lebu Katiup Angin’ (hal. 4); Javed Paul Satha dalam ‘Pangkur’nya (Hal. 39); serta Didik Wahyudi dalam ‘Iling-iling’yang seharusnya ditulis ‘Eling-eling’ (hal. 31).
Sedangkan penyair yang dalam pengungkapan idiom dan kosa kata Jawa cukup mengena adalah:
................................
Perempuan manakah yang bersliweran
..................................... (M. Har Harijadi, ‘Kwartet Keluh Kesah’, hal 50)

.......................................
meski hidup kian mlarat
hidup kian kesrakat

........................... (Aming Aminoedhin, ‘Membaca Surabaya’, hal. 12)

Sebagai pembedah buku, RM Ynunani juga merasakan dalam antologi ‘Surabaya 714’ menemukan penggurit yang puisinya tergolong guritannya gelap, mereka itu: Adi Susilo dalam karyanya Uler Kambang (HAL. 5), Gatot Suryowidodo dalam karya Layang Pungkasan Kanggo Mripat Macapat (hal. 10).

Pemilihan Idiom/Ungkapan Simbolik
Menurut RM Yunani, bahwa pemilihan dan pengambilan kata atau simbol yang tepat sebagai media pengungkapan pesan atau makna, bahkan menjadi sebuah mantra yang memiliki daya magis yang dahsyat. Idiom-idiom itu memiliki daya imajinatif dahsyat, menyiratkan sejuta makna. Dalam antologi ‘Surabaya 714’ ada yang dicatatnya, antara lain:
Bergugurlah bibir bulan
Atas perjalanan bayang awan
Melepas rahasia semesta
........................................(Sabrot D. Malioboro, ‘Catatan Bulan Juni’, hal. 60)

...............................................
Ricik air aliri damai mimpiku
Bulan pun lalu singgah di hatimu
(Andie Nurkolis, ‘Di Dalam Hujan’, hal. 15)

Bung!
Aku ingin menziarahimu
Tapi di mana letak pusaramu
Karena jazadmu menutup wajah kota

.................................. (Bagus Putu Parto, ‘Kota Di Tengah Pusara’, hal. 18)

................................................
Ketika tidak setiap kata adalah kebenaran
Maka tidak setiap diam jadi emas
(Fahmi Faqih, hal.35)

Coba kita bandingkan dengan beberapa puisi yang terkesan kering, vulgar dan kurang imajinatif dalam penggarapannya. Misalnya: Debora Indrisoewari dalam ‘Aku Tak Bisa Lagi’ (hal. 29), Sony Alfansa dalam ‘Ya...Di Sini’ (hal. 67). Tapi cukup imajinatif ketika Sony menulis dalam ‘Gila Kau’ (hal. 66).
Dalam antologi ‘Surabaya 714’ ada penyair yang menggunakan idiom-idiom Barat, teknologi langka, aneh, moderen, asing. Hal ini tidak masalah, kata RM Yunani, asalkan pemilihannya tepat, dan mengungkapkan makna baru serta mendalam, kontemplatif, dan kaya makna. Coba saja simak:

Aku menulis setubuh gadis
Berlumur sedih
NEW ABORTION judulnya

Atau apa
..........................(Anwar Sadat, ‘Gradasi Warna’, hal.16)

............................
dalam sebuah komposisi
Dadali atau Sebastian Bach

........................................... (Bambang Kempling, ‘Ansambel Putih’, hal. 23)




.............................................
Ikan-ikan Benq-Siemens, Sony Ericson, Nokia, Samsung, LG, bersirip kartu as, xl,
simpati, flexi,fren, IM3, 3, Jempol, perutnya menyimpan semilyar nomor
…………

……………………… (R. Giryadi, ‘Saronggi’, hal 59)


Kalau waktu menjadi seikat pelangi
dan di gua itu Cuma ngungutan nyanyian,
“Oh, my live
for the first time in my live
my eyes can see”
(Lagu John Lenon)
……………………………
,
kaupun bernyanyi,
“sleeping in my car! Sleeping in my car!” ( Lagu Roxete)
sampai malam di dua hati

……………………….( Didik Wahyudi, ‘Setangkai Kembang Monyet’, hal. 32)


Akan terasa berbeda jika idiom yang ditulis aneh dengan diksi lokal, tapi tetap terasa indah dan terasa enak. Coba simak tulisan Akhudiat ini:

Jalan berdebu
Dokar bergerit di geladak Karangbendo
Kalong-kalong di pohon sengon kaget
Berterbangan mengitari bukit
Kembali ke sengon
Bagai gantungan berkas-berkas karbon

……………………………………….. (Akhudiat, ‘Karanganyar”, hal.5)

Penyair Pesantren
Dalam antologi ‘Surabaya 714’ ternyata ada penyair pesantren yang muncul. Mereka itu, menurut RM Yunani, masih menggunakan kosa kata, idiom Islam dan Arab. Sayang, beberapa di antaranya belum mampu ke luar dari stereotip kefiqihannya yang hitam putih, halal dan haram. Yang ada benar atau salah, sedang medium, tengah-tengah masih dianggapnya subhat, alias remang-remang. Mereka itu adalah: Chamim Kohari, ‘Qodar dan Jabar’ dan ‘Pilih Yang Mana’ (hal. 26-28), Fahmi Faqih, ‘Dosa Kita’ (hal. 34), Mashuri, ‘Pintu Laut’ (hal. 47). Javed Paul Satha, ‘Pangkur’ (hal. 39).
Menutup bahasannya terhadap antologi ‘Surabaya 714’, RM Yunani Prawiranegara menulis puisi berjudul: "SAJAK BUAT PENYAIR"

Membaca sajakku
Membaca selisih waktu
Dalam ingatan

Membaca sajakku lebih dalam
Merumuskan hidup

Lalu apakah kita
Menjadi sama?




Diskusi Bedah Buku

Selepas pembahasan, tampillah musikalisasi guritan oleh komunitas sastra ‘Sinji’, yang dimainkan oleh AF Tuasikal dan Sarjio Godean. Mereka melantunkan guritan bertajuk ‘Ndhuk Anakku Wadon’ anggitane Aming Aminoedhin.
Tanya jawab seputar sastra dan Malsasa menjadi cukup gayeng, lantaran ada yang mempertanyakan kepenyairan dalam antologi ‘Surabaya 714’, ada juga yang memuji terbitan bukunya yang digarap cukup luks, dan ada pula mengusulkan selektivitas dalam karya puisi dan guritan perlu dibenahi lagi. Tak urung, Akhudiat, juga mengusulkan agar setelah satu dasawarsa Malsasa, seharusnya memilih kembali puisi-puisi yang layak untuk dikumpulkan dalam kumpulan Malsasa edisi terbaik. Wah ini ide menarik. Lantas siapa yang akan memilihnya? Sebab Akhudiat sendiri juga masuk di antologi Malsasa, dari waktu ke waktu.
Dalam diskusi bedah buku tersebut ada juga yang mempertanyakan pembahasan RM Yunani yang membahas penyair pesantren, padahal secara buku, ‘Surabaya 714’ hanya memuat puisi berbahasa Indonesia dan Jawa.
Apabila boleh mencatat, bahwa antologi ‘Surabaya 714’ dan Malsasa 2007 ini cukup banyak mendapat respons masyarakat sastra Surabaya, dan Jawa Timur. Terlepas apakah dalam penggarapannya apik atau kurang menarik, yang pasti itikad yang saya usung adalah bagaimana kita bisa menumbuhkembangkan sastra di Surabaya dan Jawa Timur, agar kian marak, kian semakin banyak, beranak pinak. Lantas karya sastra kian dihargai dan diapresiasi oleh masyarakat sastranya. Salam budaya dan sampai jumpa di Malsasa berikutnya.

Surabaya, Jelang Ramadhan 2007
Ditulis kembali: Aming Aminoedhin

Minggu, 30 November 2008

ANTOLOGI PUISI SURABAYA 1995

BUNGA RAMPAI BUNGA PINGGIRAN
Antologi Puisi Parade Seni WR Soepratman ‘95
Diterbitkan Panitia Parade Seni WR Soepratman, 31 Mei 1995

Editor: Robin Al-Kautsar dan Aming Aminoedhin

Penyair dan Puisi yang termuat:
1. Akhudiat
-- Surabaya Mengalir
-- Kau Di Situ
-- Sair Nuh
2. Aming Aminoedhin
-- Perjalanan Kereta Api
-- Surabaya Musim Kemarau
-- Suara Risik
3. Anas Yusuf
-- Menjelang Angin
-- Nocturno
-- Yang Terhormat Sepi
4. Arief B. Prasetyo
-- One for Lyla
-- Sejam Percakapan Dalam Sepi
-- Prosesi Abu: Coda
5. Beni Setia
-- Akuarium
-- Memo Tatto
-- Ikan
6. D. Zawawi Imron
-- Sajak Bara
-- Meditasi Clurit
-- Pulang Dari Taman Pahlawan
7. Gatot Sukarman
-- Ia Bacakan
-- Wayang
-- Kuda Jantan Kuda Betina
8. Gimin Artekjursi
-- Sejarah Kejahatan
-- Ode Sang Penyair
-- Airmata
9. Hardjono WS
–- Tutup Titip Tatap
-- Sajak Kotak-Kotak
-- Sajak Kaligreges
10. HU Mardiluhung
-- Anak Yang Kehilangan Masa Lalunya
-- Setelah Menari Bersama Para Wali
-- Sehabis Cinta: Kartun April 1995
11. L. Machali
-- Kota Malam
-- Perabot di Ruang Tunggu
-- Kornea
12. Luthfi Rahman
-- Menghafal Sejarah
-- Akuarium
-- Imaji Coreng Moreng
13. Machfoed Gembong
-- Genderang Setan
-- Ada Yang Teriak
-- Dalang-Dalang
14. Mh. Iskan
-- Malam Lingsir
-- Lembayung Bakung
-- Sangkrah
15. Mh. Zaelani Tammaka
-- Sketsa Perjalanan
-- Ritual Abad Kini
-- Pengembaraan Adam
16. Redi Paudju
-- Berita
` -- Gelisah Chao-Praya
-- Mereka Mentertawakan Kita
17. Robin Al-Kautsar
-- Sebuah Transparasi Untuk Seorang Aktor
-- Kita
-- Alam Benda
18. Rudi Isbandi

-- Keladi
-- Kanthil
-- Mawar
19. Saiful Hadjar
-- Surabaya Yang Kami Terima
-- Ambivalensi
-- Kampung Karangbulak
20. Keliek Eswe
-- Sungai Airmata
-- Matahari Meleleh di Kepalaku
-- Sajak Cinta
21. Surasono Rashar
-– Seutuhnya Penyair
-- Pusat Kedalaman Sungai
-- Di Dalam Air aku Bertemu Engkau
22. Tengsoe Tjahjono
-– Memburu Surabaya
-- Sonet Akar-Akar Pohon
-- Menatap Jakarta
23. Tjahjono Widarmanto
-- Dongeng Tentang Waktu
-- Aku Terus Saja Sunyi
-- Solilokui
24. Tjahjono Widijanto
-- Sketsa
-- Ahasveros
-- My the De Sysiphe
25. Tubagus Hidayatullah
-– Simfoni Tarhim
-- Doa Tobat Sang Penjahat
-- Neraka atau Surga
26. Turmedzi Djaka
-- Hubb
-- Puisi Panas
-- Lukisan
27. Zoya Herawati
-– Sebilah Pisau
-- Lampu Kereta Yang pudar
-- Selamat Malam Tuan Nagai
28. Herry Lamongan
-– Rembulan Langit September
-- Hangat Usia
-- Rumah-Rumah Diam


ditulis kembali datanya oleh: Aming Aminoedhin
1 Desember 2008


ANTOLOGI PUISI DAN GURITAN SURABAYA 2000

OMONGA APA WAE
Kumpulan puisi dan geguritan
Diterbitkan Festival Cak durasim 2000 – Taman Budaya Jawa Timur – Oktober 2000

Editor: Aming Aminoedhin

Penyair dan Puisi Yang Termuat:

1. Eka Pradaning

-– Malam Itu Kekasih
-- Kaliyuga
2. Tengsoe Tjahjono
-– Keroncong Lodeh Surabaya
-- Wayang
3. Tjahjono Widarmanto
-– Nyanyian Brahmana
-- Peta-peta Yang terbakar di Bola Matamu
4. Sugeng Wiyadi
-– Omonga Apa Wae
-- Kanggo Kadang Penggurit
-- Eksposisi Togog
5. HU Mardiluhung
-– Obu 1999
6. W. Haryanto
-– Il Phenomenon
-- Seusai Telum Matahari
7. Tjahjono Widijanto
-– Narasi Tentang Hujan di Hari Kemerdekaan
-- Meditasi Warna
-- Notasi XXXIII
8. Aming Aminoedhin
-– Plaza-Plaza Itu
-- Nyanyian Kota
9. Syaf Anton WR
-– Padang Penyucian
-- Dendam Sejarah
10. RM Yunani Prawiranegara
-– Si Permisi Reformasi
11. Herry Lamongan
-– Jejak Lukisan
-- Sejuta Bayonet
12. Anas Yusuf
-– Seseorang Dengan Serulingnya Menyentuh Gununng
-- Tepi Timur
13. Roesdi-Zaki
-– Pertarungan Baru Dimulai
-- Kalimas
14. Hardjono WS
-– Sendyakalaning Palagan Kurusetra
15. Gatot Sukarman
-– Mari Kita Bicara
-- Bulan dan Malam
16. Widodo Basuki
-– Nyawang Praune Anakku
-- Kadurakan ing Kedung Srengenge
17. Akhudiat
-- Saya Minta Maaf
18. Debora Indrisoewari
-– Anggrek Bulan
-- Bunga Mimpi
19. Beni Setia
-– Monster Hijau
-- Kesunyian Dalam Kepikukan
20. Surasono Rashar
-– Sajak Tentang Bunga
-- Aku Menggambar Wajahku
21. Sabrot D. Malioboro
-– Gang Bisu

ditulis kembali datanya oleh: aming aminoedhin, 1 desember 2008

Selasa, 18 November 2008

ceramah di komunitas ARS

MENULIS dan BACA PUISI ITU GAMPANG*
oleh: aming aminoedhin

catatan:
Bahan ceramah dan diskusi sastra di depan rekan-rekan komunitas alam ruang sastra (ars) sidoarjo, 23 november 2008 bertempat di museum tantular sidoarjo.
Ceramah diikuti sejumlah 60-an siswa (SD, SLTP. SMA/SMK, dan mahasiswa) bahkan ada juga guru yang hadir dan ikut mendengarkan ceramah, yang siang itu diguyur hujan.
Ada beberapa nama siswa yang cukup baik dalam nulis dan baca puisinya, antara lain: illa, pandu,fitri, dan beberapa nama lainnya.
Kegiatan ARS ini cukup positif, dan perlu dukungan banyak pihak, guna terus tumbuhkembangnya sastra di Sidoarjo. Barangkali ARS, perlu pula menerbitkan puisi-puisi terpilih, untuk sebuah antologi puisi penyair muda Sidoarjo. Sukses selalu buat ARS Sidoarjo. Kiprahmu dalam sastra aku tunggu! Kapan ARS punya gawe bertajuk "Pentas sastra ARS" Salam sastra!


Menulis Puisi
Menulis, apa lagi menulis puisi itu sangat gampang? Kenapa? Karena setiap langkah kita, bisa kita tulis sebagai bahan menulis puisi. Bayangkan saja, perjalanan dari rumah ke kantor atau sekolah, sudah ada banyak hal yang bisa kita tulis untuk puisi. Bisa bicara soal jalan yang berlubang, jalanan macet, indahnya mentari, ketemu wanita cantik, lelaki yang ganteng, pepohonan yang hijau, sawah yang menguning, tebu-tebu dengan bunga putihnya yang meluas, dan masih banyak lagi.
Seperti yang dikatakan Arswendo Atmowiloto, mengarang itu gampang, maka menulis puisi itu, lebih gampang lagi. Karena hampir semua orang pasti bisa menulis puisi, terlebih ketika sedang jatuh cinta. Pastilah seseorang mudah menumpahkan rasa cintanya tersebut dalam baris-baris, bahkan bait-bait puisi. Percayalah itu pasti!
Kata puisi, menurut teori, adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan baris.
Dalam hal menulis puisi, berdasarkan pengalaman penulis, seorang penulis puisi haruslah memperhatikan beberapa hal berikut ini:
a. Puisi mengandung unsur keindahan dan kemerduan bunyi, maka diperlukan
pemilihan kata atau diksi yang baik dalam penulisannnya;
b. Sebuah puisi, sebaiknya menggunakan kata-kata dasar dalam penulisannya. Sebab puisi yang baik adalah puisi yang menggunakan sedikit kata, tapi punya banyak makna (multi-interpretable). Untuk itu kata-kata yang dipakai lebih konotatif, bermakna ganda.
c. Sebuah puisi pasti ada pesan (massage) di dalamnya, atau bisa dikatakan sebagai ‘tema puisi’ bisa pesan/tema cinta, moral, religi, kritik sosial, pesan pendidikan, dan banyak lagi. Tapi tidak harus secara jelas/ gamblang diterangkan dalam puisi, tapi sebaiknya disebunyikan/dititipkan pada rangkaian baris dan bait dalam sebuah puisi;
d. Dalam menulis puisi seseorang tidak harus mencari tema/pesan apa yang harus ditulis, karena tema/pesan itu sifatnya abstrak. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana seseorang mau menuliskan apa-apa yang ada dalam obsesi benaknya. Tulis aja, tanpa harus takut bertema apa nanti puisinya.
e. Usahakan menulis dengan tanpa ada rasa beban, mengalir cair saja seperti air dalam sungai. Jadi seseorang menulis puisi itu, tanpa harus memilih tema, tempat dan waktu, dalam menulis. Kapan saja, dan di mana saja bisa menulis puisi.
Nah…. ternyata menulis puisi itu gampang sekali. Lantas mengapa kita tidak
menulis puisi? Mari menulis puisi!

Baca Puisi
Baca puisi, adalah wilayah dalam kategori membaca indah itu, ternyata tidak semudah dilakukan oleh seseorang. Apalagi bagi orang yang awam, dan tak pernah naik panggung. Bagi mereka mungkin sulit, tapi tidak bagi mereka yang sudah terbiasa membacanya. Membaca puisi, selain sebagai jenis membaca indah, juga merupakan salah satu kegiatan apresiasi sastra.
Apresiasi sastra dapat diartikan sebagai usaha pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap karya sastra, sehingga menimbulkan kegairahan terhadap sastra tersebut. Apresiasi sastra juga dapat menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat pengenalan dan pemahaman terhadap sastra. Sedangkan salah satu bentuk apresiasi sastra adalah dengan cara membaca puisi. Karena dengan membaca puisi seseorang akan dapat kenal dan paham, serta menimbulkan gairah, serta kenikmatan terhadap perilaku kehidupan seseorang.
Mengapa demikian? Karena pembaca akan menangkap keindahan, kemerduan bunyi, serta mungkin pesan-pesan moral yang terdapat dalam sastra, sehingga nurani-nya tersentuh, yang pada akhirnya perilaku kehidupan sehari-hari seseorang tersebut akan juga berubah ke arah yang lebih baik.
Sedangkan untuk menghasilkan pembacaan puisi yang baik dalam suatu performance art ada beberapa syarat, di antaranya adalah:
1. pertama yang harus dilakukan seorang pembaca puisi adalah mengetahui lebih dulu interpretasi: penafsiran dari isi puisi tersebut, baru kemudian
membacanya.
2. artikulasi: tekanan kata, yaitu mengucapkan kata secara tepat dan jelas atau pelafalan harus benar;
3. volume : lemah dan kerasnya suara (usahakan suara asli pembaca dan suara tidak dibuat-buat);
4. tempo : pengucapan cepat dan lambatnya suara disesuaikan dengan isi puisi;
5. modulasi : mengubah suara dalam baca puisi;
6. intonasi : tekanan dan lagu kalimat;
7. teks puisi: dalam baca puisi, seharusnya teks puisi yang dibaca tidak menutup wajah pembaca, dan bahkan jika bisa teks tersebut bisa dijadikan alat/sarana akting.
8. akting : usahakan dalam baca puisi tidak terlalu banyak gerak, sehingga tidak
over-acting.
Selain aspek yang telah saya kemukakan di atas, perlu pula seorang pembaca puisi mempunyai penampilan seni (performance-art), artinya seorang pembaca puisi tidak harus bersikap sempurna seperti tentara akan baris, tapi usahakan juga berakting dengan indah, melalui gerak tangan dan kaki, ekspresi muka, dan lain sebagainya. Lantas mau memanfaatkan stage atau panggung yang ada di sekitarnya.
Dalam hal ini biasanya disebut sebagai teknik menghidupkan suasana atau mood, agar bacanya menjadi intelligible (yang dapat dimengerti, mantap dan meyakin-kan bagi pendengar/audiens), dan audible (dapat didengar dengan jelas pelafalan bacanya) , dan kemudian isi puisi yang disampaibacakan tersebut bisa ditangkap oleh penonton..
Dari uraian di atas, tampaknya membaca puisi memang gampang. Tapi sebenarnya tak semudah yang kita omong-bicarakan. Apalagi bagi seorang pemula di dunia panggung atau hiburan, semacam baca puisi yang dihadiri banyak penonton. Ayo kita coba baca puisi berikut ini:

SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR
oleh: aming aminoedhin

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di Jakarta

Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat
lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar manusiawi
menjalankan program dengan kendaraan nurani hati

Surabaya ajari aku. Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada juntrung

Surabaya memang boleh berdandan
Bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
Siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
Senja meremang, mentarinya seindah pagi
Di antara gedung tua dan Tugu Pahlawan kita

Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
Kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
Dan suara rakyat adalah suara kebenaran
Tak terbantahkan. Tak terbantahkan!

Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!
Surabaya, 21 November 2005

aming aminoedhin
DI MANA MEREKA SEKOLAH

desa temanku tenggelam sudah
tak ada lagi tanaman hijau
tinggal kini terlihat atap-atap rumah
tampak seperti mengigau

igauan suaranya perih
atap-atap rumah seakan merintih
dari lumpur yang membuat hancur
hingga beribu penghuninya kabur

desa temanku tenggelam sudah
aku tak tahu ke mana mereka pindah
di mana mereka kini sekolah

Sidoarjo, 12/2/2008

aming aminoedhin
AKU LUPA MENGAJI

Pada musim kemarau
rumput-rumput di tanah lapang
mengering. Daun di pepohonan kering

Angin terlalu kencang
menerbangkan debu dan layang-layang
layang-layangku nan gagah terbang
diulur panjangnya benang

Hati ini jadi riang
bermain layang-layang
hingga aku lupa
belajar mengaji
di mushola

Barangkali aku berdosa
lantas aku berjanji dalam hati
tak mengulangnya di esok hari

Mojokerto, 1999

aming aminoedhin
JENDELA DUNIA

Almari Bapakku dipenuhi buku
kata Ibu, semua buku-buku itu
adalah jendela dunia
jika aku mau baca
segala ilmu akan kusua

Ternyata benar, kata Ibu
selepas buku-buku kubaca
dunia tampak ada di sana
ada yang hitam dan putih
ada yang senang dan sedih

Jadi kawan!
bacalah buku agar kau
bertemu segala ilmu

Baca dan bacalah buku
karena buku adalah jendela dunia
sejuta ilmu pasti kau sua

Mojokerto, 19/10/1999

aming aminoedhin
BERJAMAAH DI PLAZA

kata seorang kyai, belajar ngaji
adalah amalan yang patut dipuji
dan sholat berjamaah
dapat pahala berkah
berlipat-lipat jumlah

tapi kenapa banyak orang
belajar nyanyi, belajar tari
dan baca puisi?

tapi kenapa banyak orang berjamaah
hanya di plaza-plaza
hamburkan uang berjuta-juta?

adakah ini dapat dipuji, dan
adakah plaza menyimpan pahala
berlipat ganda?

ah… barangkali saja, plaza-plaza
telah jadi berhala baru
yang dipoles gincu
begitu indah
dan banyak orang ikut berjamaah


Surabaya, 1992

Membaca puisi, yang merupakan cabang seni membaca indah, memang tidak mudah, yang pasti diperlukan latihan-latihan yang lebih intens lagi. Pembaca yang baik, adalah yang sudah terbiasa di atas pentas, sehingga tidak ada lagi kata demam panggung.
Terakhir, bahwa menulis dan membaca puisi itu ternyata gampang, lantas mengapa kita tak mencoba menulis puisi, kemudian membacakannya sendiri? Ayo kita coba!

Drs. M. Amir Tohar, lebih banyak dikenal dengan nama aming aminoedhin

Desaku Canggu, 19 November 2008

DAFTAR PUSTAKA

Aminoedhin, Aming. 2000. Apresiasi Sastra Lewat Baca Puisi, Surabaya: Jurnal
Gentengkali
Endraswara, Suwardi,. 2002. Metode Pengajaran Apresiasi Sastra, Yogyakarta:CV
Radhita Buana
Nadeak, Wilson. 1985. Pengajaran Apresiasi Puisi, Bandung: CV Sinar Baru
Poerwadarminta, WJS. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra, Jakarta: PT Gramedia
Tjahjono, Tengsoe. 2000. Membidik Bumi Puisi, Surabaya: Penerbit Sanggar Kalimas

Senin, 20 Oktober 2008

Syair Nyanyian Leo Kristi tentang "Surabaya"

TEPI SURABAYA
nyanyian leo kristi

Betapa sepi.... seorang nenek....
Sendiri......
Di tepi.... lalu coba....menyapa
Lewatnya hari, kota lama ini
Terlewat tak berakar kaca-kaca miskin jiwa

Tepi-tepimu Surabaya
Di mana kita mulai semua ini
Gema nyanyian pahlawan
Kini jadi nyanyian wayang
Tepi-tepimu oh.. Surabaya
Gelap turun bagi jalan perempuan tua

Nenek bukalah pintu yang kuketuk
Tapi tidak dengan air matamu
Hidup selalu berubah lewat pasang surut Kalimas
Sinar lentera dalam kabut tipis
Belum juga mati menjelang pagi
Sinar lentera berkedip-kedip
Tidak juga mati menjelang pagi


ditulis kembali: aming aminoedhin
20 Oktober 2008



SURABAYA
nyanyian leo kristi

engkau keras dan sombong
engkau kasar dan angkuh
tatapan penuh nafsu
keringatku bercucuran di deretan rel-rel
keringatku bercucuran di deretan bordil
keringatku bercucuran di deretan palka
keringatku bercucuran di bordes trem-trem
kota

ketika kau hadap matahari senja
keringatku sirna oleh desir anginmu
Surabaya …… Surabaya ……. Surabaya…….
Aku cinta kau!

Hey bangun dan berdiri
Nyanyikan tidurmu matahari
Surabaya …….. oh.. Surabaya…… oh.. Surabaya……
Surabaya …….. oh.. Surabaya…… oh.. Surabaya……
Hey bangun dan berdiri
Nyanyikan tidurmu matahari


ditulis kembali: aming aminoedhin
20 Oktober 2008



OH… SURABAYA
nyanyian leo Kristi

Dengar tuter dan tuter
mesin-mesin berbunyi riuh-riuh
Roda-roda berputar
Dari pagi ke pagi
Tiada pernah berhenti
Tiada pernah berhenti

Siapkan ransel, gitar dan tenda
Ke luar kota pergi bersama
Tinggalkan asap kotor
yang membubung tinggi ke udara
kotamu oh……Surabaya

Oh…. Surabaya……oh… Surabaya….. oh… Surabaya
Aku dibesarkan riang
Tempatku dibesarkan senang oh… Surabaya
Tata…..ta…ta……Tata…..ta….ta…..Tata…. ta…ta….oh…..

Kulihat surya di timur
Burung-burung bernyanyi riang….riang…..
Bangau terbang berarak
Pucuk Randu merekah
Awal musim panas tiba
Awal musim panas tiba
Ka…ka….ka…..ka….ka…..ka…..ka……
Ka..ka...ka...ka...ka...ka....
Ka..ka...ka...ka...ka...ka....
Ka..ka...ka...ka...ka...ka....
Oh..ye...oh.. ye ...!!
Oh…ye…..oh….ye…….!!!!

ditulis kembali: aming aminoedhin
20 Oktober 2008




SURABAYA BERNYANYI
nyanyian leo Kristi

Lek....! bulannya tunggu lek!
di sisi bunga-bunga enceng
Lek....! bulannya tunggu lek!
di sisi bunga-bunga enceng
kampung kemesraan lek!

Burung-burung kecil selesaikan sarang
Di pucuk –pucuk tangkai ilalang
Aha..... haa.....
Duka... duka istri dalam semalam
Cet...cet... cowet hingga pagi datang

Ke mana mereka pergi
Kembangkan sayap-sayap kecil dan sendiri
Semangat dan rasa terus mengalir
Semangat dan rasa terus mengalir jauh.....

Jongkok... pasar ...tiga kartuku berjajar
Nyari aku pada dipilih
Dengan segala tipumu
Anak manusia yang semakin jauh

Tembok-tembok kepala
Tembok-tembok telinga
Tembok-tembok mata memandang
Malam.............

Lihat jalan layang
Lampu-lampu neon jalanan
Lampu-lampu bintang dan bulan
Lampu-lampu pesawat terbang
Malam........!!!!!

Lihat jalan layang
Tembok-tembok kepala
Tembok-tembok telinga
Tembok-tembok mata memandang
Malam.............

Lintas jalan layang
Di mana terbang lepas... derita....
Lintas jalan layang
Tote lete ......Tote lete..........da...da... litata....
Tote lete ......Tote lete.......da...da....litata.......

Semangat dan rasa
Terus mengalir
Terus mengalir jauh

O...ooo....oooo....oooo....oooo!!!
O....ooo....oooo....oooo....oooo!!!
Anak-anak senyum dan bernyanyi
Di bawah pandan dan duri
Tatap hidup dan mati
Di hari kampung kemesraan
Sekitar jalan layang ke taman Walikota
Tatap hidup dan mati.... berani!
Surabayaku bernyanyi.....bernyanyi
Tatap hidup dan mati.... berani!
Surabayaku bernyanyi ..bernyanyi
O.....leya.........leyo!


ditulis kembali: aming aminoedhin
22 Oktober 2008

Jumat, 10 Oktober 2008

arek tivi tayang tadarus puisi

AREK TELEVISI BERTADARUS PUISI
Oleh: Aming Aminoedhin

Penghujung bulan Ramadhan 1429-H lalu, saya rekaman tadarus baca puisi dan guritan bersama rekan-rekan penyair dan penggurit Surabaya, dan Jawa Timur. Mereka antara lain: M. Shoim Anwar, Aming Aminoedhin, Suharmono Kasijun, Bonari Nabonenar, AF Tuasikal, R. Giryadi, Budi Palopo, Widodo Basuki, Suko Widodo (Dosen Unair), Priyo Budi Santoso (anggota DPR-RI), dan Imung Mulyanto (yang jadi juragane Arek Teve).

Ide Tadarus dari Istri

Ide tentang “Tadarus Puisi” ini, berawal saat saya bersama istri berbincang tentang acara “Para Kyai Baca Puisi” yang pernah saya gelar di Festival Seni Surabaya 2006 lalu. Kegiatan itu, banyak mendapat respons positif dari masyarakat. Penontonnya pun saat itu, meluber memenuhi Gedung Balai Pemuda Surabaya. Lantas, secara iseng saya punya ide buat acara “Tadarus Puisi” di televisi.
“Mengapa tidak!” kata istri saya.
Lantas ide itu saya tulis dalam pesan singkat (sms) ke Imung Mulyanto, yang punya Arek Teve. Ternyata jawaban yang saya terima adalah masih didiskusikan dengan awaknya.
Nah... pada penghujung Ramadhan lalu, saya baru mendapat sms dari Sasetyo Wilutomo (awaknya Arek Teve), guna merealisasikan acara “Tadarus Puisi” itu dengan mengadakan rekaman.
Saya pun agak kelabakan, guna mengkontaks rekan-rekan penyair dan penggurit. Beberapa nama, antara lain: Akhudiat, Ida Nurul Chasanah, Adi Setyowadi, Mashuri, dan kawan-kawan lain; ternyata tidak bisa ikut tampil rekaman. Mereka sudah pada pulang, alias mudik ke kampungnya. Diat, pas ngisi pengajian; Ida telah mudik ke Tuban, dan Adi pulang ke Semarang.

Lepas Tarawih, Rekaman Tadarus Puisi

Meski hanya beberapa nama penyair dan penggurit, rekaman itu terap jadi dilaksanakan. Bersama rekan-rekan penyair dan penggurit. Rekaman tanggal 27 September 2008, direkam mulai lepas tarawih, hingga sahur hampir habis, alias imsak. Tepatnya, pukul 20.30. hingga 03.30 WIB. Tak hanya baca puisi dan gurit, tapi juga ada tampilan Kelompok Penyanyi Jalanan Surabaya, pimpinan Bokir Surogenggong itu.
Rekaman yang sampai parak pagi tersebut, dijadikan tiga episode tayangan. Tadarus puisi, tadarus geguritan, dan kemdudian kembali bertadarus puisi.
Sedangkan dialog pembahasannya oleh: Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A. dekan FBS dari Unesa Surabaya.
Acara ini direkam di halaman depan kantornya AREK Teve, tepatnya Rich Palace, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya. Barangkali cukup menarik acara rekaman ini, lantaran yang hadir di saat rekaman: Wawali Surabaya, Arief Affandi, dan ada juga Gus Ipul yang calon wakil gubernur Jatim itu.

Tayangan Tadarus Puisi Pukul 21.00. – 22.00. WIB.

Beberapa puisi, gurit dan lagu direkam yang kemudian ditayangkan dalam acara bertajuk “Tadarus Puisi”, tanggal 2, 3, dan 4 Oktober 2008. lalu. Tadarus puisi , tadarus guritan, dan kemudian kembali bertadarus puisi.
Ada yang menarik dalam acara ini, sebab acara bertajuk “Tadarus Puisi” yang seharusnya tayang sewaktu masih Ramadhan, terpaksa tayang usai lebaran. Ini lantaran harus melalui perjalanan editan-editan dari para awaknya AREK Teve. (amingamd)***

Kamis, 09 Oktober 2008

sajak-sajak surabaya

aming aminoedhin
SURABAYA I*

pasar kini telah berubah di sini
pasar adalah lampu-lampu iklan
di mana dagangan ditawarkan
lewat lampu-lampu iklan
yang gemerlap tinggi mencuat
aku hanya bisa nelangsa menatap
orang-orang dimuntahkan oleh bis-kota
dan plaza-plaza bertingkat, dan
di kemudian hari ditelan kembali
dengan jumlah dan hitungan kian sarat

plaza-plaza bertingkat
kian semakin padat pengunjung
rumah-rumah ibadat
semakin kehilangan juntrung
oleh penghujung

lupakah mereka?
Itulah soalnya aku bertanya

Surabaya, 1986


aming aminoedhin
SURABAYA II*

apa yang harus kutulis tentang surabaya
kecuali panas cuaca dan gerah suasana
pada setiap harinya, ketika
musim kemarau tiba

hari-hari melintas cemas
hidup kian semakin bergegas
ruang kehidupan kian pula terbatas
pada sudut-sudut kota
semakin pula sulit membedakan
antara waria dan kupu-kupu malam
antara tante girang dan lelaki
hidung belang

surabaya surabaya
orang semakin gampang
berkata mengulurkan tangan
demi mendapat pekerjaan
dengan sekedar uang imbalan

surabaya surabaya
menjadi kabur batas bantuan
dan niat kepalsuan

lampu-lampu iklan
kian semakin gemerlapan
saling berebut ketinggian
saling berebut pasaran

surabaya surabaya
jalan-jalan semakin hijau
asap beribu mobil semakin kacau

surabaya musim kemarau
hanya debu ketergesaan semakin galau
segalanya berlalu tanpa batas
siapa menunggu kelak tergilas

lampu-lampu iklan
kian semakin gemerlapan
saling berebut ketinggian
saling berebut pasaran

surabaya musim kemarau
aku menatapnya semakin risau

Surabaya 1986


aming aminoedhin
LARUT MALAM SURABAYA*

mobil-mobil yang lintas jalan layang
seakan terbang tanpa sayap
lampu-lampu jalan layang
berjejer diam menyimpan penyap

bunga-bunga taman mayangkara
tidaklah terhitung lengkap
rumput-rumputnya hijau meluas
tanpa ada tersisa sampah-sampah membekas
dan pohonan hias menyejuk mata
di antaranya terselip cahaya
lampu-lampu merkuri menebar asri

lampu-lampu kota warna-warni
lampu-lampu mobil tak mau mati
kota tiada mau diam, meski jam
telah sampai larut malam

kota ini adalah buaya, yang
menelan segala perangkat teknologi
teknologi abad ini, tanpa
terseleksi (diseleksi?)

1989

aming aminoedhin
TAMAN SURYA BULAN PAHLAWAN*

malam ini tidak seperti biasanya
taman surya hanya sepi saja, anak-anak
dan orangtua mereka tak nampak
bermain di antara bunga-bunga

di dekat pintu pagar utama
ada terpancang baliho besar
memuat kobar semangat pahlawan
bagi siapa melihatnya

di luar pagar ada berjajar
sepuluh sang saka jumlahnya
berkibar karena angin menerpa

di antara bunga-bunga taman
kain rumbai berjuntai warna-warni
diterpa angin menderai
taman surya kian asri malam ini

penjual-penjual balon mainan anak
tidak juga kulihat di sana
spanduk slogan kepahlawanan
terpampang di atas baliho
dan di antara pepohonan hijau
meneriakkan pesan-pesan
pahlawan

lampu-lampu hias
di sekitar patung sudirman
menambah pantas tata-rias
di gelap malam kota pahlawan

pasukan kuning masih tampak setia
mengayun sapu lidinya malam ini
menyiapkan keindahan rasa setiap mata
sebelum parak pagi menjemput tiba

esok hari, adalah hari pahlawan
kita peringati bersama
kita adakan upacara bendera
melepas ikhlas doa
teruntuk sang pahlawan bangsa

taman surya malam hari pahlawan
semakin cantik berdandan
malam sepi di taman surya
semakin mengusik hatiku berkata
“pahlawan bangsa
tidak hanya mengangkat senjata
pasukan kuning dan sapu lidinya
guru dan rasa ikhlasnya, termasuk
di antara mereka.”


Surabaya, 9/11/1988

aming aminoedhin
TERMINAL LARUT MALAM*

malam selarut ini, pernah
kita terperangah harus ke mana arah
diputuskan?
sebab kita nyaris alpa
jika garis kencan malam telah habis
(mungkin kita alpa atau barangkali
kita melupakan garis tepi?)

kembali ke alamat semula
atau harus pulang
ke rumah pondokan?
(sulit menentukan batas pasti)

padahal kita tahu jika
pintu rumah keduanya
telah pasti tertutup rapi

pada malam selarut ini
lalu hanya bisa termangu-mangu
menghitung jam menunggu pagi
malam selarut ini
ke mana langkah kaki kita
diarahkan lagi?

malam selarut ini
kini aku sendiri di sini
sambil mengingat peristiwa lama
yang dulu merupakan dilema

malam selarut ini
hanya sisa kenangan tertinggal
lantas ada terminal dalam hati
kian terasa sepi

Surabaya, 1989

aming aminoedhin
GENTENGKALI SIANGHARI*

hari telah siang. ada rimis hujan jatuh sebentar
telah habis oleh mentari yang kembali membakar
ada perasaan riang. setelah sua dalam kabar
dengan perempuan berkacamata yang berbinar

cerita-cerita lama kembali digelar
seperti air yang mengalir terasa segar
cerita-cerita memilih artinya sendiri
pada kenangan yang masih sempat terpatri

ternyata pintu hati masih terbuka
untuk misteri bernama cinta
meski tertangkap samar, namun masih
terasa ada bergetar

Surabaya, 1989

sajak-sajak malsasa

beberapa sajak tentang surabaya
yang masuk dalam
kumpulan puisi malsasa


aming aminoedhin
SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di Jakarta

Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat
lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar manusiawi
menjalankan program dengan kendaraan nurani hati
Surabaya ajari aku. Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada juntrung

Surabaya memang boleh berdandan
bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
senja meremang, mentarinya seindah pagi
di antara gedung tua dan Tugu Pahlawan kita

Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
dan suara rakyat adalah suara kebenaran
tak terbantahkan. Tak terbantahkan!

Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!

Surabaya, 21 November 2005


aming aminoedhin
BENAR-BENAR MABUK MABUK BENAR-BENAR

Surabaya, benar-benar mengajariku mabuk
Mabuk tak hanya benar-benar mabuk mansion dan wisky
Tapi juga mabuk segala silau oleh gemerlap lampu bagai mata pisau
Meski aku tahu, penuh tipu penuh gincu
Aku juga mabuk tentang sebentuk kursi
Membiarkan orang-orang sekitar jadi frustasi

Surabayalah yang mengajariku mabuk lupa mabuk berdusta
Setiap langkah hanya kealpaan dan kedustaan
Besliweran di otak dan kepala
Dosa hanya seperti fatamorgana

Memakan dan memamah hak orang
Adalah kerja keseharian
Bahkan hak seorang kawan, apalagi lawan
Adalah sah bagi pemabuk jagoan

Bicara hati nurani aku tak sanggup lagi
Kebenaran adalah mansion
Keadilan adalah wisky
Rakyat biarkan mlarat kesrakat
Asal aku tetap sehat tetap kuat membabat

Benar-benar mabuk, mabuk benar-benar
Karena kata salah telah patah
kata benar telah tawar
kata hati telah mati
kata kursi telah jadi mimpi
Aku benar-benar mabuk, mabuk benar-benar

Surabaya, benar-benar mengajariku mabuk
Mabuk tak hanya benar-benar mabuk mansion dan wisky
bahkan mabuk mencari kebenaran dan keadilan
di rimba beton kota ini
aku tak kuasa menemukan hingga kini.
Surabaya, benar-benar mengajariku mabuk
Benar-benar mabuk, mabuk benar-benar
aku tak temukan kata benar hakiki
aku tak temukan kata adil yang pasti

Surabaya, 14/06/2006

aming aminoedhin
MEMBACA BULAN MERDEKA
* antara ngawi-surabaya

sepanjang perjalanan berlubang
jutaan bendera merah putih berkibar
barangkali indah di mata indah di hati
tanda ulang tahun negeri ini terayakan
oleh semua rakyat semua pejabat
tanda negeri ini merdeka, tapi entah kesekian kali
tak juga menemukan solusi kata merdeka

sepanjang perjalanan bulan merdeka ini
ratusan pejabat masih berlaku bar-bar
gembar-gembor bersuara menebar mimpi-mimpi kita
sementara rakyat hanya diajak bersabar
tanpa menemukan solusi ke arah negeri merdeka
benar-benar merdeka

kehormatan memang telah dibuang
keyakinan & iman telah lekang
upacara hanya sekedar upacara
hanya sebuah nama, tanpa memberi harga
apa lagi memberi sebentuk makna arti. merdeka
hanya baru dalam kata, tak menyentuh
makna arti hakiki, selebihnya janji-janji
sebentuk imaji
atau mungkin mimpi-mimpi

seringkali mimpi bisa jadi misteri
asa tinggal hampa, lantaran merdeka
tak kunjung tiba juntrungnya. sedang pejabat
hanya mengajak tamasya angan ke jauh awan
tak tersentuh genggam tangan


sepanjang perjalanan bulan merdeka ini
aku bertanya, hari merdeka telah tiba
adakah berjuta kibar bendera menyentuh matabatin kita
membuka mata membuka daun pintu merdeka
benar-benar merdeka?

membaca bulan merdeka
adakah masih perlu upacara
jika pejabat masih tetap bejat makan duit rakyat?
masih adakah?

Surabaya, 17/8/2006


aming aminoedhin
MEMBACA SURABAYA


membaca surabaya membaca negeri kaya raya tak terhitung angka-angka. harapan dan impian seperti hampa bagi pemula. tapi tidak bagi yang terbiasa mabuk dengan mulut berbusa. omongan tanpa rambu tanpa jeda, tak bisa dibedakan mana benar mana dusta. semua sama semua tanpa beda. benar adalah fatamorgana, dan fatamorgana adalah kebenaran nyata. siapa sangka?

membaca surabaya membaca negeri penuh para psk *yang menjaja di sepanjang jalan raya. rumah-rumah bordil, dari dolly hingga sepanjang rel. negeri indah menabur maksiat, tanpa merasa bejat. tanpa merasa tersesat. meski hidup kian melarat, hidup kian kesrakat.

membaca surabaya membaca negeri penuh iklan warna-warni. menawarkan lampu iklan di sudut-sudut jalan kota. menawarkan ketakbenaran dalam kemasan kebenaran. menawarkan racun yang hanya gincu. menawarkan indah yang hanya semu.

membaca surabaya membaca negeri menawarkan dzikir di taman-taman, tanpa pernah tahu kapan dzikir itu sampai kepada Tuhan. sebab segala dzikir yang diucap hanya sebatas bibir, tanpa muatan keyakinan. bukan syiar tapi malah lebih disebut unjuk gelar kekuatan. mungkin bisa bermuatan politik atau mungkin mencari massa mengarah satu titik? mungkin?


ah…. membaca surabaya seperti membaca warna-warna. ada merah menyala semerah saga, ada hijau muda dan tua, ada kuning sekuning bendera, dan bahkan ada biru sebiru rindu kita, menemukan kebenaran dan keadilan bagi semua
tak ketemu juntrungnya

membaca surabaya aku tak tahan meneruskannya. barangkali kau bisa membuat sederet lagi
kenyataan tak masuk akal
kenyataan-kenyataan tak bermoral
yang ada di kotamu, surabaya?
barangkali…?


Surabaya, 7-7-2006

Rabu, 24 September 2008

sejarah komunitas teater 'persada' ngawi

SEJARAH KOMUNITAS SASTRA
TEATER PERSADA NGAWI
Oleh: Aming Aminoedhin


Membicarakan sejarah komunitas sastra ‘Teater Persada’ Ngawi, cukuplah panjang perjalanannya. Menurut keterangan, Mh. Iskan, ketua Teater Persada, bahwa kelompoknya berawal dari komunitas para pelajar yang tergabung dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Ngawi, tahun 1960-an.
Dari komunitas ini, kemudian terbentuklah apa yang dinamakan komunitas bernama “Himpunan Pecinta Sastra Etsa’ kemudian lebih dikenal kelompk ‘Etsa Divina Artis Magistra’ yang merupakan gabungan para pelajar PII tersebut, dengan membuat sebuah kelompok seni pertunjukan, menampilkan berbagai cabang seni. Di antaranya: pentas keroncong, drama, dan baca puisi. Beberapa nama yang aktif di komunitas ini adalah: Anwaroeddin, Suwandi Black, Mh. Iskan, Ummi Haniek, Rodiyah, Sutomo Ete, Gisran, Rosyid Hamidi, Wahab Asyhari, Salimoel Amien, A. Mukhlis Subekti, M. Har Harijadi, Heru, Aming Aminoedhin, Djoko Mulyono, Ratih Ratri, Alina Evawanti, Susilowati, Siti Alfiana Latief, Agnes Maria Soejono, dan banyak lagi.
Pada mulanya komunitas ini hanya tampil di komunitasnya sendiri, Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Ngawi, tapi pada perkembangannya bisa mementaskan seni pertunjukannya di luar komunitasnya. Misalnya diundang di Bupati Ngawi, pentas drama di pendapa Kabupaten Ngawi.
Berawal dari intensnya komunitas ini berkumpul dan latihan seni pertunjukan inilah yang kemudian memunculkan ide memberi nama komunitas, yaitu ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ pada tahun 1978. Pada waktu itu, kata Mh. Iskan, komunitas ini akan mengikuti Lomba Drama se Jawa Timur di Surabaya.
Susunan kepengurusan, Mh. Iskan, terpilih sebagai ketuanya; dan M. Har Harijadi menjadi sekretaris. Beberapa nama yang ikut jadi pengurus antara lain: Salimoel Amien, A. Mukhlis Subekti, Wahab Asyhari, dan Suwandi Black.
Markas atau pangkalan dari Komunitas Sastra Teater Persada adalah Jalan Trunojoyo 90, Ngawi; yang merupakan rumah pribadi Mh. Iskan. Sedangkan latihan-latihan drama, dan baca puisi, biasanya dilaksanakan di pendapa Paseban WR. Soepratman Widyodiningrat, yang berada di depan Kantor Bupati Ngawi. Alternatif lain dalam penyelenggaraan latihan drama dan puisi, berada di halaman masjid besar Ngawi atau di rumah AM. Subekti di dekat masjid.

Aktivitas Komunitas Sastra Teater Persada
Selama perjalanan panjangnya ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi adalah mengadakan latihan-latihan baca puisi dan drama. Dari latihan-latihan tersebut, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ berkali-kali pentas drama/teater dan selalu diawali dengan pembacaan puisi, bahkan tak jarang di dalam pentas drama/teaternya selalu memasukkan unsur di dalamnya.
Dalam aktivitas pentas drama, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ tidak hanya pentas drama panggung, tapi juga drama radio di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Kabupaten Ngawi, dan Radio Al-Azhar (Radio Swasta milik Pelajar Islam Indonesia) Cabang Ngawi.
Selain pentas drama radio, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, juga pernah membuat video-film bekerja sama dengan BKKBN Jawa Timur, dengan KPU Kabupaten Ngawi, dan instansi pemerintah di Kabupaten Ngawi.
Pentas drama panggung ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi tidak hanya di kotanya sendiri Ngawi, dan berulang kali; akan tetapi juga tercatat pernah pentas di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) Sasonomulyo, Surakarta, Taman Budaya Jawa Timur, Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA), Dharmahusada Barat, Surabaya, Taman Budaya Jawa Tengah di Surabaya; dan Taman Budaya Yogyakarta.
Mh. Iskan sebagai ketua komunitas, ketika teman-teman Persada tidak lagi bisa diajak bermain, maka dia memainkan sendiri sebuah naskah monolog karya Putu Wijaya berjudul ‘Mulut’. Pentas monolog berdurasi sekitar satu jam ini, telah digelarpentaskan 5 kali pertunjukan. Pentas pertama di depan siswa-siswa SMAN 1 Ngawi, MAN Ngawi, Dewan Kesenian Surabaya, dan SMAN 2 Ngawi; pada tahun 2006. Sedangkan tahun 2007 dipentaskan di depan mahasiswa Universitas Widya Mandala Madiun (tidak ingat tanggal dan hari pentasnya).
Naskah-naskah drama yang dipentaskan oleh‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, kebanyakan memang naskah yang ditulis dan disutradarai sendiri oleh ketuanya, Mh. Iskan; kecuali naskah pementasan dalam rangka lomba drama se-Jawa Timur.
Dalam rangka lomba pementasan drama se-Jawa Timur, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, pernah mendapatkan predikat terbaik (sutradara dan kelompok) di tahun
1978; serta sutradara, kelompok, dan aktor terbaik pada tahun 1983. Secara catatan prestasi ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi sudah memenangkan dua kali kemenangan di tingkat Jawa Timur, yaitu 1978 dan 1983. Belum lagi, telah beberapa kali para anggotanya memenangkan beberapa kali lomba baca dan menulis puisi di berbagai lomba.
Aktivitas dari ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi memang tak pernah berhenti, bahkan ketuanya sendiri, Mh. Iskan, tetap bermonolog sendiri serta pentas di berbagai tempat dan komunitas lain. Di samping itu, Mh. Iskan, juga masih melukis dengan corak lukisan gaya ‘Sanggar Bambu” Yogyakarta, di mana dulu ia termasuk anggota komunitas itu.

Penerbitan Komunitas Sastra Teater Persada
Membicarakan sejarah perjalanan ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, maka tidak lengkap apabila tidak membicarakan penerbitan yang telah dihasilkan komunitas ini. Secara hitungan, ada tiga kumpulan puisi (meski sederhana bentuknya), tapi merupakan bukti keberadaannya selama ini.
Ketiga buku penerbitan ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi tersebut adalah merupakan trilogi kumpulan puisi, yaitu Tanah Persada (1983), Tanah Kapur (1986), dan Tanah Rengkah (1998). Para penulisnya adalah tiga penyair, yaitu: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, dan Aming Aminoedhin yang selalu ada dalam kumpulan puisi tersebut. Hanya pada kumpulan Tanah Persada terbitan tahun 1983, ada salah satu anggotanya ikut menulis puisi dalam kumpulan tersebut, bernama LH. Irmawati S.


Tanah Persada, kumpulan puisi
Kumpulan puisi yang berjudul ‘ Tanah Persada’ ini diterbitkan oleh kelompok Teater Persada Ngawi, tahun 1983. Dalam kumpulan puisi yang sederhana (stensilan) ini, diberi kata pengantar oleh M. Har Harijadi, salah satu dari penyair yang puisi-puisinya termuat dalam kumpulan ini.
Dalam kata pengantarnya, antara lain dikatakan, “ Beberapa puisi yang termuat, dihimpun dengan acak, dalam artian tak ketat selektif, mengingat waktu mempersiapkan hanya sehari semalam – setelah ide mencuat dari seseorang yang obsesinya telah lama terpendam – namun dilanda kesibukan. Di antaranya pernah termuat di surat kabar atau majalah yang entah kapan tahun penerbitannya, serta yang lain bertahun lebih dari satu dekade dari yang sekarang. Apa boleh buat, suatu ‘kehadiran’ terkadang memang hanya satu kebetulan. Yang penting, mari diisi dengan perbuatan. Keliru tidak malu, yang benar kita kejar. Setuju?
Pengantar M. Har Harijadi menunjukkan betapa ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, telah menunjukkan kehadirannnya lewat kumpulan puisi ‘ Tanah Persada’ ini, betapapun sederhananya. Serta berbuat untuk mengkoleksi puisi-puisi para anggota komunitasnya.
Kumpulan puisi ‘Tanah Persada’ bersisi 28 judul puisi, terdiri 5 judul puisi karya Mh. Iskan, 7 judul karya M. Har Harijadi, 8 judul karya Aming Aminoedhin, dan 8 judul puisi karya LH. Irmawanti S.

Beberapa karya yang termuat dalam kumpulan tersebut, penulis sertakan guna melengkapi tulisan ini:

mh. iskan
SEBUAH JENDELA TERBUKA PAGI INI

salamku saja untukmu, gadis kecil
yang berdiri tegak di jendela
pagi ini


benang-benang mentarimenciummu kasih
bagai selaksa bidadari turun
beruntun

salamku saja untukmu, gadis kecil
yang mengerti bunga mekar pagi hari
tubuhmu ranum-ranum buah pisang
di jendela segar
alangkah terdampar

sebuah jendela terbuka
pagi ini
di jantung kota
menara yang tegak adalah ibunya
di bawah taman lebat berbunga

dan gadis kecil itu
masih saja sayu menatapnya
-adakah bonekaku ketemu di sana

segala tanpa kata
sebab jendela itu tinggi
dan gadis itu sendiri

1967

(dari: Tanah Persada, 1983: hal. 4)


mh. iskan
DI JALAN-JALAN TENGAH KOTA

di jalan-jalan tengah kota
orang bicara tentang kematian, peperangan dan kedengkian
setiap kata adalah keyakinan
meski cuma dengar dari berita

di jalan-jalan tengah kota
orang lebih tertarik untuk duduk
dan bicara seenaknya tentang perburuan
nyawa anak-anak yang di pertaruhkan
dan serpihan-serpihan logam jadi akrab
di antara padang-padang rumput
hutanpun lata penuh asap mesiu
kota-kota jadi mati
kabut semakin rendah, semakin rendah

langitpun mulai mengeluh
kapan bayi-bayi itu damai dalam gendongan
tak terganggu desingan peluru
tapi ini adalah permainan
dari tangan-tangan yang haus
dan jiwa-jiwa yang sunyi
dari tuntutan kemerdekaan
atau kerinduan yang dicanangkan
lewat sumur-sumur bermata bangkai

di jalan-jalan tengah kota
dimana-mana barat timur utara
kabutpun semakin rendah, semakin rendah
sementara burung-burung nyanyi lagu duka
dan dimatanya terkenang nanah
yang setiap kali meleleh
genderang-genderang sayup mengetup satu-satu
diantara kibaran-kibaran bendera setengah tiang

langitpun tetap mengeluh
kabut semakin rendah, semakin rendah
bumi seperti biasa mendukung beban
meski tangis ini tertahan

di jalan-jalan tengah kota
orang bicara tentang kematian, peperangan dan kedengkian

jakarta, 1972

(dari: Tanah Persada, 1983: hal. 5)



mh. har harijadi
SIANG HARI

ruang persegi empat ini pengap
tubuhku lungkrah dan dadaku sesak
haruskah tinggal berlama-lama menatap
tanpa sedikitpun berusaha
melapangkan nurani yang mendesak
doapun telah berlaksa dilafazkan
hatipun yang gundah telah dicobasegarkan
tapi hanya padaMu-lah Tuhan
yang kuasa menyejukkan
apalah arti seorang hamba
apalah arti segala usaha
apalah artinya seorang manusia

ngawi, 1973

(dari: Tanah Persada, 1983: hal.7)

mh. har harijadi
SEBELUM SENJA

tercenung setelah tidur siang hari
resahku yang abadi
mengeram dalam hati

hari belum senja
mestinya hari-haripun masih panjang pula

ngawi, 1972

(dari: Tanah Persada, 1983: hal. 8)

aming aminoedhin
SELAMAT TINGGAL KOTA


aku seperti tak kuasa berucap ‘selamat tinggal’
kota tanahku tercinta

selayang kulihat beburung berarak terbang menjauh kian jauh
seperti telah jenuh melihat kotaku selalu melenguhkan keluh

tapi akankah aku tetap bertahan
pada sebuah kota, di mana
yang abadi hanya sepi

kota yang berbatas kali dan berbatas kali
dan bila air meluap musim hujan, di jalan raya
pasti sebatas lutut kaki. mobil terhenti
anak-anak mendorong bernyanyi

dan bila saatnya nanti, aku memang harus enyah
melangkah pergi. mungkinkah resahku akan istirah
dan sepiku akan menepi
atau lebih terpatri?

memang ludah yang telah kuludahkan
tiadalah mungkin akan kujilat kembali

hanya pesan padamu, mitraku
kata ‘kenangan’ hanya memunculkan keindahan beragam
tapi cinta dengan beribu jalan bisa tetap bertahan
meski sejuta luas samudra jarak terbentang

ngawi, 1982
(dari: Tanah Persada, 1983: hal.10)


aming aminoedhin
PATUNG

Telah kupatungkan wajahmu
pada hatiku. Yang berarti ini tak
memungkinkan bayang-bayang wajah
akan lagi bergerak mendesak
pada hati yang gelisah

Wajahmu telah jadi petapa yang semedi
tenang. Seperti cendawan, pada
hatiku tersimpan

Tapi kulihat dirimu masih rawan
di hadapanku enggan. Di matamu
memuat ragu-ragu

ngawi, 1983

(dari: Tanah Persada, 1983: hal. 12)

lh. irmawanti s.
TELAGA SARANGAN

milikMukah ini Tuhan
telaga menghijau, bening, tenang
berbingkai Lawu?
teriak bocah-bocah kecil
tawarkan sekeranjang sayuran
juga mainan anak-anak
berjalan sepetak
perempuan tua
tawarkan barang serupa
milikMukah Tuhan
lalu laki-laki
dengan kuda
tujuh ratus lima puluh keliling telaga
milikMukah Tuhan
juga orang-orang papa
yang gemetar memohon kasih?
milikMukah Tuhan
telaga menghijau, bening, tenang
berbingaki Lawu?

(dari: Tanah Persada, 1983: hal. 13)

lh. irmawanti s.
PAHLAWAN TANPA TANDA JASA
yang tercinta Ibu Bapak

jalan berdebu
setia kalian lalui
dengan beban
makin sarat di pundak
engkau kian senja
sedang aku
baru sampai pada titian pertama
Tuhan
nyalakan lilinMu
singkirkan kerikil
di jalan berdebu itu!

(dari: Tanah Persada, 1983: hal. 14)