Cerpen Pertama:
1. PEREMPUAN PENJAGA GUDANG
Oleh: M. Shoim Anwar
Termuat di JPM, 24 November 1996
Perempuan tua itu sebenarnya sudah tak layak untuk bekerja. Keadaan tubuhnya sudah keropos, berjalannya melengkung, dan seluruh permukaan kulitnya penuh karat. Wajahnya menorehkan beban sejarah yang penuh tikungan. Sepasang gelambir di bawah mata itu adalah kesaksian yang diperam berpuluh tahun. Sedang rambut yang merubungi kepalanya menjadi bukit kapur kering dan tandus.
Pertama kali melihat aku mempunyai kesan bahwa perempuan itu rindu untuk diperhatikan. Setiap aku memandang, dia membalas dengan penuh antusias dan di mulut bibirnya ada senyum bertengger.
モSaya sudah lebih dari tiga puluh tahun di sini,ヤ katanya ketika aku mendekat.
モYa, saya pernah mengajar di SD ini, juga SMP,ヤ katanya lagi sambil menunjuk gedung SMP di lantai dua. モEnam tahun kemudian dijadikan kepala sekolah di SD, tapi cuma tiga tahun, akhirnya saya dipindah ke gudang SMA ini sampai sekarang.ヤ
Itulah ucapan pertama yang kudengar dari sang penjaga gudang itu. Selanjutnya, cerita mengenai dia kudengar dari para guru di yayasan ini. Mereka memanggilnya dengan sebutan Bu Gudang. Sebutan itu sudah menjalar dan ditiru segenap siswa. Barangkali mereka juga tak tahu siapa nama Bu Gudang sebenarnya.
Gudang itu panjangnya sekitar lima meter dan lebarnya dua meter. Saat melihat gudangnya, aku menyimpulkan bahwa perempuan ini sangat rajin, teliti, cermat, dan bersih.
モIsinya apa saja ini, Bu?ヤ aku mencoba bertanya.
モNamanya gudang. Isinya macam-macam. Ada alat-alat peraga, kapur, kerajinan tangan, minyak tanah, pembersih lantai, gula, kopi, gerabah, obat-obatan, cat, kuas, paku, sapu, taplak, penggaris, jangka, dan masih banyak lagi.ヤ
Terlihat benda-benda yang disebut ditata sangat rapi. Ruangan sempit itu sudah tak terlihat lagi tempat yang kosong, dindingnya tertutup dengan rak-rak penuh isi, lantainya hanya tinggal tempat untuk berjalan. Ruangan ini tampak sangat berat memikul beban. Sementara lubang angin juga tak ada. Nyaris waktu lampu penerangnya tak pernah mati: dop 15 watt.
モBu Gudang, minta kapur!ヤ seorang siswa datang.
Perempuan tua itu segera membuka buku catatannya.
モKelasmu kemarin sudah mengambil delapan batang. Bilang sama gurunya kalau jatahnya empat batang sehari,ヤ jawabnya.
モSekarang sudah habis, Bu Gudang.ヤ
モPasti masih ada.ヤ
Ada lagi seorang siswa datang lagi untuk minta obat gosok. Bu Gudang segera meraba-raba rak di atasnya. Tak lama pun dia menyodorkan obat gosok yang telah terbuka tutupnya kepada siswa.
モAmbil tipis-tipis saja. Kalau hanya satu orang cukup satu kali ambilan. Jangan dikeruk. Nanti cepat habis.ヤ
Begitu siswa selesai mengoleskan tangannya di permukaan, Bu Gudang segera menarik lalu menutup obat gosoknya kembali.
モSaya harus bisa mempertanggungjawabkan pemakaian barang-barang di sini, meskipun kepala sekolah tak menuntut,ヤ katanya sambil mencatat nama siswa yang minta obat gosok tadi.
モApa malah tidak membuat repot, Bu?ヤ aku memancing.
モSaya ingin menunjukkan kepada siapa saja bahwa saya bekerja betul-betul,ヤ jawabnya. モItulah sebabnya tak ada seorang pun yang bisa menemukan kesalahan saya.ヤ
Ekspresi perempuan berkaca mata putih itu lama-lama jadi serius. Dia bercerita sendiri tentang posisinya. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik. Setiap ada guru yang lewat, dia menghentikan ceritanya, kemudian dilanjutkan lagi ketika guru tadi sudah menjauh. Beberapa kali pula dia melongok ke luar pintu untuk melihat kepala sekolah. Maka dia pun bercerita lagi.
モSewaktu mengajar di SD saya berusaha menjadi guru yang baik. Itu sebabnya saya dinaikkan jadi guru SMP. Di SMPN saya mengusulkan beberapa perbaikan. Uang pendaftaran siswa baru, SPP, uang BP3, dan segala keuangan sekolah harus transparan. Tapi kepala sekolah tak senang dengan sikap saya. Banyak yang memusuhi saya.ヤ
Bu Gudang akhirnya didesak oleh yayasan untuk menjadi kepala sekolah di SD. Dia berusaha keras memperbaiki manajemen di SD. Anehnya, setelah Bu Gudang menjadi kepala sekolah, justru yayasan sendiri yang menghalangi kiprahnya. Usulan tentang kejelasan hak-hak guru, standar gaji, dan kenaikannya harus diperjelas. Semua ditolak yayasan dengan jawaban tak jelas.
モSaya juga usul agar sekolah ini menerima siswa baru disesuaikan dengan fasilitas yang ada agar belajar siswa bisa maksimal. Tapi, yayasan hanya mementingkan memperoleh siswa sebanyak-banyaknya, fasilitas tak pernah ditambah. Bahkan, soal kenaikan kelas dan kelulusan siswa pun terlalu banyak dicampuri. Alasan yayasan, jika semua siswa naik kelas dan lulus, minat masyarakat untuk memasukkan anaknya ke lembaga ini pasti akan meningkat. Yang terakhir ini pun saya tolak. Tidak rasional. Sekolah tidak bisa dijadikan ajang bisnis melulu. Jangan asal orang senang. Kami malah pernah tidak meluluskan anak seorang pejabat. Yayasan tentu saja memarahi saya. Tapi, keputusan saya dan para guru sudah final. Tak dapat digugat!ヤ
Selanjutnya, cerita perempuan penjaga gudang itu, dia akhirnya dipindah ke SMA. Baginya hal ini adalah usaha buruk yayasan agar dia ke luar. Terbukti dia tidak diperkenankan menjadi guru, tetapi menjaga gudang tua yang pengap.
* * *
Siang yang gerah dan panas. Jam keenam baru berlangsung sekitar sepuluh menit. Seorang pegawai tata usaha memberitahukan bahwa Bu Gudang dipanggil kepala sekolah.
モBu Gudang, ini surat dari yayasan,ヤ kata kepala sekolah.
Perempuan tua segera membuka dan membacanya dengan teliti. Matanya di balik kaca mata itu terlihat bergerak-gerak.
モJadi, saya dipensiun mulai bulan April, Pak?ヤ
モYa, begitulah Bu Gudang,ヤ jawab kepala sekolah ringan.
Mata Bu Gudang menerawang kosong, ekspresinya kecut.
モSaya masih kuat bekerja, Pakヤ katanya kemudian.
モTapi, usia Ibu sudah tua. Kami kasihan. Yayasan menilai bahwa Ibu sudah harus pensiun.ヤ
モSaya keberatan, Pak. Yayasan sendiri tidak pernah memberi batasan usia pensiun. Jadi tergantung saya, Pak. Saya masih kuat bekerja. Saya belum pikun, Pak.ヤ
モIni demi regenerasi, Bu Gudang.ヤ
モKalau saya pensiun, berarti saya kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Bukankah yayasan ini tidak memberi gaji pensiun? Terus saya makan apa,Pak? Suami saya sudah meninggal dua puluh lima tahun lalu. Anak juga tak punya.ヤ
モYayasan menilai ini urusan pribadi Ibu.ヤ
モTapi, waktu dan usia saya telah saya abadikan sepenuhnya untuk yayasan, Pak! Lebih dari tiga puluh tahun. Sejak dulu saya mengusulkan adanya ketentuan yang jelas. Kasihan para guru di sini. Hari tua mereka suram. Sementara anak didiknya mungkin sudah melupakan.ヤ
モBegini Bu Gudangヤ kepala sekolah menyela, モkami mengusulkan agar yayasan memberi uang saku untuk Ibu.ヤ
モSaya menilai uang saku itu sama dengan uang belas kasihan, Pak, karena sebelumnya tidak ada ketentuan hak untuk itu. Sebagai yayasan pendidikan, mestinya lembaga ini juga menjamin kehidupan sosial-ekonomi para guru di hari tua mereka. Masak guru di sini hidupnya lebih sengsara dibanding buruh pabrik, Pak.ヤ
Raut Bu Gudang jadi semu marah, ketegaran dan semangatnya muncul. Kepala sekolah terpaku.
モSecara pribadi saya mengerti, Bu Gudang,ヤ kepala sekolah manggut-manggut.
モMohon Bapak memperjuangkan nasib kami. Yayasan ini sudah sangat kaya. Perbaiki dulu yang telah ada. Sekarang surat ini saya kembalikan kepada Bapak. Saya tidak mau dipensiun. Saya akan tetap bekerja sampai kapan pun.ヤ
Kepala sekolah menatap surat Bu Gudang di atas meja. Sementara perempuan itu mulai berdiri.
モSurat itu untuk Ibu,ヤ lalu kepala sekolah ikut berdiri.
モKalau surat ini saya bawa, berarti saya menerima keputusan yayasan, Pakヤ jawab Bu Gudang sambil terus meninggalkan ruang kepala sekolah.
Sehari setelah itu, Bu Gudang diminta menghadap ke kantor yayasan. Pihak yayasan kembali menegaskan keputusannya. Di depan pengurus secara lengkap itu kembali Bu Gudang menolak dan meletakkan surat itu di meja ketua yayasan. Sempat terjadi ketegangan, karena Bu Gudang harus meladeni lima orang pengurus, tapi perempuan itu benar-benar tak mau didongkel.
* * *
Sudah dua hari ini Bu Gudang tak masuk. Kegiatan belajar mengajar mulai terganggu karena tak bisa mengambil berbagai keperluan, khususnya kapur. Petugas tata usaha diperintahkan kepala sekolah ke rumah sang penjaga itu. Tapi, petugas itu menjumpai rumah Bu Gudang terkunci dari luar. Kata para tetangga, Bu Gudang belum pulang sejak kemarin. モGudangnya masih terkunci dari dalam!ヤ teriak wakil kepala bagian sarana-prasarana. Kepala sekolah dan guru-guru segera membuktikan. Dan benar, gudang memang dikunci dari dalam.
モBerarti orangnya masih di dalam,ヤ kata kepala sekolah.
モKita harus membuka paksa.ヤ
モTapi, kita lapor dulu! Juga perlu saksi dari luar!ヤ
Tiba-tiba seluruh guru dan siswa jadi cemas. Bayangan dan dugaan buruk melintas di mana-mana. Banyak yang berusaha mengintip dari lubang kunci, namun pandangan mereka terhalang. Tiga puluh menit ketegangan menyelimuti seluruh sekolah. Kegiatan belajar mengajar terhenti.
Setelah petugas yang berwajib dan para saksi telah tiba di tempat kejadian, pintu segera dibuka dengan jalan merusak tempat kunci. Ternyata engsel yang di dalam juga menutup. Jalan terakhir harus didobrak dengan paksa. Maka hal itu pun segera dilakukan.
Brakkkkk! Pintu terkuak dan jebol. Petugas, saksi, dan kepala sekolah masuk. Ternyata Bu Gudang tak ada di dalam. Tapi anehnya, sepatu perempuan itu tergeletak di lantai. Kaca matanya di atas meja dan tasnya masih terlihat di dalam rak.
モLho, ini pakaiannya,ヤ kepala sekolah terheran-heran melihat seragam Bu Gudang tercangklong di dinding, termasuk pakaian gantinya, serta sal. Seluruh orang jadi bertanya-tanya. Ganjil. Kesimpulan mereka pun sama: Bu Gudang sekarang menghilang. Tapi, dia mengenakan pakaian apa?
Pertanyaan itu tak terjawab hingga hari ini.* (transliterasi dan salin, 13 Juni 2012)
Cerpen Kedua:
2. LOWONGAN
Oleh: Tan Tjin Siong
Termuat di JPM, 20 Juli 1997
Dengan diterangi lampu neon sepuluh watt. Tomo serius memperhatikan lembaran koran yang tergeletak di hadapannya. Di sampingnya ada tumpukan beberapa koran.
Teliti sekali Tomo memperhatikan baris demi baris. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan. Sebuah tarikan nafas amat dalam terdengar mengisi ruangan. Tomo tengadah, menatap langit-langit rumahnya.
モHari ini lima koran. Kemarin tiga,ヤ suara Tomo pelan. Tidak bermaksud membandingkan koran yang dibaca sekarang dengan kemarin, atau hari lainnya.
Dalam seminggu terakhir ini, kalau dirata-rata sehari Tomo melahap tiga koran. Memang tidak semua isi koran dibaca. Ia lebih mengkhususkan pada halaman tengah, yaitu iklan. Terutama kolom lowongan.
Semua koran menyajikan iklan lowongan. Sangat banyak lowongan pekerjaaan yang ditawarkan. Dari yang berbentuk baris mini, sampai yang ukuran raksasa.
モO..ala nasib-nasib , tak pernah ada pekerjaan yang cocok,ヤ gerutu itu kerap muncul sehabis Tomo membaca koran.
Mun, istri Tomo, yang mendengar langsung bertanya, モMemangnya kenapa, Pak? Pekerjaan yang ditawarkan kan banyak. Sampeyan bilang kok gak ada yang cocok. Lalu yang cocok dengan sampeyan itu yang bagaimana?ヤ tanya Mun agak bingung.
Istrinya dipandang cukup lama. Tak ada kata-kata. Mun, sampai bingung sendiri, dipandangi lelaki yang sudah menjadi suaminya sepuluh tahun lebih itu.
モPandangan sampeyan kok tidak seperti biasanya. Memangnya ada apa, Pak?ヤ
モKamu ini mbok mikir sebelum bicara. Suamimu ini apa. Coba baca lagi semua lowongan yang ada di koran, kalau sudah, kamu baru bicara.ヤ ucap Tomo sambil menyodorkan salah satu koran yang ditumpuk.
Hanya sebentar istri Tomo, memperhatikan koran tersebut.
モAku masih bingung,ヤ Mun berkata dengan lugu.
Tomo tidak bisa memaksa agar istrinya mengerti. Ia dan istrinya memang bukan golongan manusia berpendidikan tinggi. Kalau pun Tomo cukup paham dengan segala sesuatu yang menurut istrinya rumit, itu karena Tomo lebih sering membaca koran dibanding istrinya. Juga karena pengalamannya yang cukup luas.
モMun,ヤ Tomo bicara lebih kalem dari tadi, モcari kerja zaman sekarang ini beda dengan dulu. Tentu kamu tahu kalau aku ini esempe saja tidak lulus. Kalau aku dapat kerja, itu karena saingan pada masa lalu tak seberat sekarang. Berbeda dengan sekarang. Kerja zaman sekarang tak pernah lepas dari modal.ヤ
モPak, omongan sampeyan tetap membingungkan. Lha mau kerja ikut orang kok pakai modal. Kalau punya modal, buat apa ikut orang?ヤ
Tomo sangat memaklumi komentar istrinya, sebuah ucapan yang wajar dan jujur. Tetapi zaman memang sudah banyak berubah. Kerja sendiri atau ikut orang tetap membutuhkan modal. Tanpa modal jangan harap bisa kerja.
モAku tidak ngawur . Kerja memang butuh modal. Coba kamu lihat di koran,ヤ Tomo mengajak istrinya memperhatikan koran bersama-sama.
Telunjuk Tomo tertuju pada kolom lowongan yang cukup besar. Kemudian berakhir ke iklan lainnya. Tatapan Mun mengikuti telunjuk suaminya.
モSudah kamu perhatikan yang aku tunjuk tadi?ヤ
Hanya mengangguk yang dilakukan Mun. Tomo duduk semakin dekat istrinya.
モMun, ya begitulah kenyataan yang ada. Di saat orang banyak membutuhkan pekerjaan, ada saja penghalang untuk bisa kerja. Pekerjaan memang ada, tetapi terasa tetap tak ada.ヤ
Tatapan Mun lurus. Sesekali keningnya penuh kerutan. Sedang Tomo tetap menyambung bicaranya, モYang ada di koran, seorang pencari kerja harus punya modal. Paling tidak ya sepeda motor. Tidak cuma itu. Di tengah majunya zaman, pekerjaan yang ada hanya untuk sarjana.ヤ
モLha kalau tahu begitu, kenapa tiap hari beli koran begitu banyak?ヤ
Tak ada kata-kata yang meluncur dari bibir Tomo.
モSebenarnya sampeyan bermaksud cari kerja kan?ヤ Mun membaca yang ada di pikiran suaminya.
Tomo tetap terdiam. Mun menyambung bicaranya, モSudahlah, Pak, cari kerja yang tak ada di koran saja!ヤ ucapan yang lugu, dan amat sederhana.
Keduanya kemudian terdiam cukup lama, tatapan mereka beradu. Ada bahasa sendiri dari tatapan itu.
* * *
Tomo masih saja membeli koran. Tak menggubris teguran istrinya. Sisa uang pesangonnya dulu makin menipis. Untung Mun membantu kerja seadanya. Mun jadi buruh cuci pakaian.
Kesetiaan Tomo membeli koran tak luntur. Meski ia sadar, lowongan yang ada di koran-koran jelas tak bisa jadi gantungan harpan. Dan ia yakin, tidak hanya dirinya yang merasa kelabakan mencari kerja.
Tidak sepuluh, seratus, seribu, atau sejuta yang tak merasa cocok dengan segala lowongan di koran. Sebab di tanah air tercinta ini masih banyak pencari kerja yang tak punya gelar atau modal kendaraan.
Tomo cuma bisa menggerutu dengan semua keadaan yang dibeber koran.
Siang itu, istrinya masih sibuk menjadi buruh cuci pakaian, Tomo memporak-porandakan koran lama yang sudah ditumpuk. Kemudia tertawa amat keras. Seperti seorang yang baru menemukan barang berharga.
Koran yang porak-poranda dijadikan tempat merebahkan dirinya. Sampai tertidur.
Sesampai di rumah, Mun, segera membangunkan suaminya.
モLho, apa sampeyan ini edan. Koran kok diudal-udal seperti ini,ヤgerutu Mun.
Setelah suaminya bangun, Mun menata koran itu dengan wajah cemberut.
モKata tetangga sebelah, tadi dikagetkan oleh tawa sampeyan. Apa itu benar?ヤ
Senyum Tomo mekar. モTidak salah. Aku bahagia. Baru kutemukan hal baru yang cocok untuk lowongan.ヤ
Mun menghentikan kegiatannya menata koran. モMaksud sampeyan?ヤ
Tomo segera mengajak istrinya duduk, モMun, dengan sisa uang yang ada, aku akan membuat gebrakan baru. Ini harus ditiru oleh semua orang pencari kerja. Harus. Pokoknya harus dilakukan oleh pencari kerja lain,ヤ Tomo optimis.
Mun menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Dimaklumi kebingungan suaminya. Ia yakin, para pencari kerja akan sama bingungnya dengan suaminya.
モAda yang dilupakan, ya kalau cuma Mas Tomo yang pasang iklan. Kalau makin banyak dan pandai-pandai, tetap saja Mas Tomo tidak ada yang meminati.ヤ
Mun terdiam. Jalan keluar yang dikatakan suaminya itu tetap merupakan jalan buntu.**(transliterasi dan salin, 17 Juni 2012)
Cerpen Ketiga:
3. SAMSON
Oleh: Beni Setia
Termuat di JPM, 14 Juni 1998
Jalan kabupaten menusuk pusat kota dengan garis diagonal. Menyentuh garis lurus jalan, ke kiri ke Kecamatan B, ke kanan ke main street ヨ setelah alun-alun ada simpangan ke Kecamatan C dan yang lainnya terus ke gunung, ke Kecamatan P, dan seterusnya. Di main street, di selatannya, ada terminal bus dan di kanannya terminal dokar. Di belakang terminal ini tak pasar kecamatan. Kios-kios makanan di depan. Berdempetan punggung, sebagian menghadap terminal dan sebagian lagi menghadap ke dalam pasar. Dan pasar itu sendiri memanjang ke selatan. Sebuah jalan masuk utama, besar, dari terminal melewati gerbang pasar dan keluar di belakang. Menyentuh jalan utama lain yang ada di kiri dan kanan pasar, kemudian meninggalkan pasar ke kanan, menyentuh pejagalan dan memunggungi sungai ヨ yang memotong jalan keluar itu dan mengitari pasar di dua sisi, timur dan selatan, lalu memotong main street lima belas meter setelah titik temu jalan kabupaten dan jalan kecamatan.
Pasar itu sendiri dibangun oleh blok-blok, dan karenanya menghadirkan lorong-lorong. Timur-barat, dan muncul jadi lima pintu ekstra. Saya sendiri tidak tahu berapa luas pasar itu. Mungkin lima puluh meter kali empat puluh ヨ atau lebih. Di dalam terkadang banyak kios kosong, karenanya banyak penjaga yang berjualan di tempat kosong, pada jalan utama tengah, timur, barat, dan selatan. Karena orang jadi bergerombol di pinggiran, susah untuk masuk, dan bila masuk terkadang hanya menemukan kios-kios yang sepi pembeli meski mereka tetap setia menunggui dagangannya. Terkadang, karenanya, para penjual itu itu saling berkunjung, bergunjing, dan saling tukar menu makan siang mereka. Selain kios makanan yang di dekat terminal itu, lainnya biasanya memilih tutup selepas pukul 12.00. setelah azan tengah hari. Dan karenanya, di pasar kecamatan kami, hanya ada tiga orang kuli angkat. Membawakan barang dari dalam pasar, dan meletakkannya ke dokar, untuk angkutan antarkampung. モNaikkan ke dokar Astal ヨ atau Asbal, suruh dia menunggu. Katakan punyanya Alhasil...,ヤ begitu pesannya. Dan seingatku tak pernah ada belanjaan atau barang ketlingsut.
* * *
Di main street berjajar toko-toko yang menjual bukan barang kelontong, barang basah, dan segala yang bersifat pasar. Toko besi, toko cat, toko pupuk, toko pakaian yang harganya lebih tinggi dari pasar, tokop kue dan jajan kering, toko potret, dan toko alat tulis.
Tentu saja ada kedai makan yang tak ditujukan untuk pembeli pasar dari bukit-bukit ヨ satu kedai kelas menengah. Dan tujuh puluh lima meter dari pasar, di seberang, terletak gedung sandiwara. Bangunan yang menjulang tinggi, atapnya seng, merupakan bangsal yang diujungnya dihadirkan panggung dengan jejeran bangku di hadapannya. Di depannya, setelah sebuah tanah lapang selebar sepuluh meter dan sepanjang gedung sandiwara itu, terdapat loket untuk menjual karcis di kiri dan sebuah warung kopi, sedangkan di kanannya merupakan halaman tunggu yang tertutup ヨ ditutup-- di mana diletakkan poster-poster buatan sendiri yang menjanjikan cerita box-office. Sangkuriang, Banyak dalam Kubur, Kutukan Ibu, Derita Anak Tangis Ibu, Kejamnya Ibu Tiri, Petruk Jadi Raja, dan seterusnya. Sedangkan pertunjukan sehari-hari cukup diumumkan di papan tulis. Hanya judul saja, meski t erkadang pakai gambar. Dan sesekali, bila minat menonton warga kami sudah lesu, mereka mengambil judul box-office dan mengumumkannya keliling kampung ヨ pakai mobil atau dokar.
Karena kadang kota kecamatan kami tak memiliki rombongan sandiwara karena yang datang untuk main di kota kecamatan lain, kadang-kadang, bila kosong begitu bangsal itu dipakai untuk pemutaran film. Menyewa gedung selama sekian bulan, menjejalkan film-film, dan memasang poster, dan gambar propagandanya di halaman tertutup itu, dan memasang poster serta gambar film yang main pada papan yang diletakkan di luar pintu yang dikunci siang hari. Seperti sandiwara itu, dan bahkan mereka cuma main di malam hari untuk menghindari bocor-bocor cahaya dari dinding papan dan gedek bangsal tontonan. Dan, seperti juga sandiwara, bila mereka merasa memiliki film yang akan digandrungi banyak orang, maka mereka mengelilingkan pengumuman promosi pemutarannya ke kampung-kampung kota kecamatan kami dengan mobil. Dan, karenanya, selepas isya, orang-orang berdatangan ke bangsal hiburan itu ヨ penjaga makanan biasanya sudah mangkal ヨ bersiap untuk nonton. Tapi berlainan dengan sandiwara yang harus main lebih awal agar bisa tamat sebelum tengah malam: film kadang-kadang diputar lepas pukul 21.00. tanpa takut nanti akan tamat lepas tengah malam.
* * *
Ada tiga kuli angkat pasar kecamatan kami. Yang pertama pendek dan kekar. Orangnya jorok dan badannya bau ada panunya. Omongannya kasar sering menggerutu dan bila mengangkut barang ヨ terkadang dipanggul di punggung ヨ ia hanya menyeruduk saja sambil berteriak-teriak minta diberi jalan. Yang kedua tinggi, kurus, dan karenanya langsing serta luwes dan liat seperti gerakan kucing. Wajahnya tirus selalu bersih, rambutnya tersisir rapi ke belakang dan dalam guntingan yang tetap begitu seakan-akan setiap hari ia memotong rambut. Bajunya hitam ヨ dihitamkan dengan celup Wantex ヨ dan banyak tambalannya, tapi terlihat terawat; bersih dan wangi. Ia selalu santun, banyak tersenyum, dan ramah bila diajak omong. Kata sebagian orang, ia dari keluarga raden; tapi hidupnya sengsara karena di waktu remajanya pernah terjebak ikut kerja Kuli Kontrak di Deli. Setelah delapan tahun, di usia yang matang, ia pulang tapi tak kembali ke tanah kelahirannya. Ia datang ke kota kecamatan kami, menyewa bedeng di belakang kuburan, dan hidup dengan menjadi kuli angkat di pasar. Selain mencukupi makan dan minum ヨ ia tak merokok dan minum kopi ヨ ia amat gemar menonton sandiwara dan film. Bahkan, karena seringnya dan karena perkenan portirnya ヨ yakni kuli ketiga ヨ ia bisa masuk secara gratis. Tapi ia lebih sering tak mau gratis, terlebih bila penontonnya sepi.
モTenaga itu mahal, Samson,ヤ katanya, lembut.
Kuli ketiga adalah seorang tinggi besar dengan perut yang juga besar. Itu cacat yang mengganggu, untuk dada bidang dan berjalan dengan kepala tegak yang dihiasi kumis, jambang, dan janggut yang tebal. Di kota kecamatan kami hanya ada dua orang yang berkepala brewokan bagus begitu. Ia dan seorang ustad di pesantren Masjid Jamik. Dan karena tinggi dan tegap begitu, maka sering kebagian membawa barang yang lebih berat dan untung ia mampu. Dan karena ketegapannya itu pula ia pernah ditarik dan dipromosikan menjadi bintang panggung bagi sandiwara kota kecamatan kami. Ia dengan rambut palsu, dijadikan Samson. Dijebak Delilah, dibutakan, dan kembali perkasa setelah rambutnya kembali panjang. Menghancurkan gerbang kota dan memorak-porandakan kota dengan mendorong dua tiang gaya Yunani yang besar yang dibuat keranjang arang ditumpuk dan ditutup kertas semen yang kemudian digambari bundaran hitam batu kali dan garis putih adonan penyambungnya. Penampilannya jelek, ia tak bisa berakting dan ekspresinya kaku, tapi pagelaran Samson itu sangat sukses ヨ semua orang pasar menyempatkan diri menonton ヨ karenanya ia kini lebih dikenal sebagai Samson.
Akibat lainnya: ia dijadikan portir dan karenanya ia memiliki lebih banyak uang untuk membesarkan lima anaknya.
* * *
Tiga tahun setelah pagelaran Samson yang sukses sebagai sebuah box-office itu, bangsal tontonan tak lagi disewakan kepada rombongan sandiwara (keliling) dan bahkan melulu cuma untuk pemutaran film. Samson pun ヨ sebuah nama yang mengandaikan masa lalu kota kecamatan kami ヨ tak lagi jadi portir, dan terlebih main sandiwara. Ia hanya menjadi kuli angkat di pasar, meski kami semua tetap menyebutnya sebagai Samson. Ia makin gemuk dan perutnya makin besar. Tampak jelas karena ia suka bertelanjang dada dan membiarkan tubuhnya mengilat oleh keringat. Tiga tahun kemudian, kuli angkat nomor dua, si bersih itu, meninggal, dan bersama dengan itu datang tiga kuli angkat baru, seiring dengan makin bertambahnya volume perdagangan pasar kecamatan kami. Kemudian, dokar tak boleh mangkal di depan pasar, tapi di jalan belakang pasar ヨ terminal khusus untuk angkutan ke Kabupaten B. Lima tahun kemudian, pejagalan dipindahkan lebih ke luar kota, setelah setahun sebelumnya pasar direhabi setelah kebakaran besar. Saat itu, seingatku: Samson sudah jarang terlihat. Kata banyak orang, ia balik ke perbukitan dan hidup dengan berladang.
Delapan tahun kemudian kota Kabupaten B menjadi Kodya dan Kabupaten ヨ pusat pemerintahan dan semacam ibu kota ヨ pindah ke kota kecamatan kami. Setelah lima tahun pembangunan, dengan jalan lingkar dan jalan pusat kota yang dilebarkan: pasar direhabilitasi jadi dua tingkat dan terminal pindah ke luar kota. Dokar tak ada. Angkutan (mobil buatan Jepang) perkasa. Dan, bila pulang, aku ingat Samson dan utamanya gedung sandiwara (yang telah berubah jadi sinepleks). Aku ingat bahwa Samson dikalahkan oleh Delilah yang dijadikan pion oleh kelompok tak beradab dan tak bermoral. Tapi Samson kota kecamatan kami dikalahkan oleh modernitas, dan bahkan modernitas itu sendiri dikalahkan oleh aktor tak tampak di belahan dunia lain. Sistem nilai lain, keserakahan dominan, dan siapa sebenarnya Delilah, dan siapa yang jadi korban martir bernama Samson? Apakah lelaki yang suka bertelanjang dada itu atau kota kami? Sistem nilai kekerabatan kami itu? Atau.....?***(transliterasi dan salin, 22 Juni 2012)
Cerpen Keempat:
4. TEKA-TEKI
Oleh: Bonari Nabonenar
Termuat di JPM, 31 Januari 1999
Tarmi hamil, dan orang ribut. Ribut. Mungkin itulah memang pekerjaan kesukaan orang-orang kurang pekerjaan. Lha, wong Tarmi itu wanita, punya suami, suaminya ya lanang tenan, alias benar-benar laki-laki. Laki-laki asli, laki-laki tulen. Jika lalu hamil itu kan ya lumrah. Wajar. Kok diributkan. Marbi, suami Tarmi itu, sebagai laki-laki memang benar-benar thok-cer, lho. Menikah dapat delapan bulan, usia bayi dalam kandungan istrinya juga delapan bulan. Persis! Tanpa ancang-acang.
Tetapi bukan soal itu pula yang menjadi sumber keributan sekitar kehamilan Tarmi. Adalah teka-teki: laki-laki atau perempuankah yang akan dilahirkan Tarmi nanti. Itulah yang bikin heboh orang-orang sibuk menebak. Dan tak sedikit pula yang bertaruh, mempertaruhkan barang, uang, atau apapun yang dapat diterima sebagai taruhan, dari yang bernada kelakar; asal ikut-ikutan bertaruh, ikut-ikutan bikin heboh.
モAku yakin, Tarmi, akan melahirkan bayi laki-laki. Jika sampai tebakanku meleset, aku akan menghadiri acara syukuran kelahiran itu hanya dengan mengenakan kaos oblong dan celana kolor!ヤ kata Sarmin berapi-api sekali.
モAku bahkan tidak akan mengenakan bersus apa-apa?ヤ timpal Ndemun tak kalah semangat.
モDi mana, haa????ヤ
モYa, di kamar mandi!ヤ
モWow........!!!!ヤ
Ada radio dipertaruhkan, ada televisi, kambing, sapi, bahkan kerbau. Lebih heboh lagi, pertaruhan itu benar-benar telah menjadi mode di Desa Parangsilang. Bukan hanya mereka yang cukup umur saja yang demam bertaruh, juga para remaja, dan bahkan anak-anak.
Banyak orang harus bersusah-susah mengamati langkah Tarmi ketika berjalan, bertanya kepada orang-orang yang mereka anggap dekat dengan Tarmi, bagaimana kebiasaan Tarmi, apakah kini menjadi lebih gemar bersolek atau sebaliknya, hanya untuk meyakinkan tebakan mereka. Bahkan aku ini juga mereka anggap sebagai alamat yang tepat untuk pertanyaan demikian itu.
Tarmi sendiri, yang sesungguhnya tak lain dan tak bukan adalah calon kakak ipar
ku, rupanya juga sudah bulat dengan ramalan, tebakan, atau dugaan, atau apa sajalah istilahnya, bahwa bayi yang kini sedang dikandungnya akan lahir sebagai laki-laki. Marbi, suami Tarmi, demikian juga. Mungkin mereka terlena pengaruh Mbah Markijan, orang pintar, orang tua, dan yang dituakan di Desa Parangsilang.
モPercayalah, laki-laki!ヤ kata Mbah Markijan.
モPercaya betul sesungguhnya tidak, Dik. Tidak boleh begitu, kan?ヤ kata (bakal calon: Mbak) Tarmi, kepadaku. モTetapi bagaimana lagi, ya? Aku tak bisa mengelakkan keinginan memiliki anak laki-laki. Maka jangan dikatakan ndhisiki kersa, Dik. Sesungguhnya tebakanku ini adalah bentuk lain dari doa.ヤ
モSudah berapa bulankah, Mbak?ヤ
Dapat pertanyaan begitu dia tidak secara spontan memberikan jawabannya. Seperti harus mengingat-ingat dahulu, menghitung-hitung.
モMmm, tujuh, Dik. Tujuh jalan ini.ヤ
モMengapa tidak diperiksakan ke kota saja? Dengan USG, kan sudah dapat pula diketahui jenis kelaminnya sekarang.ヤ
モOh... tidak. Yang penting semua baik-baik. Daripada buang biaya. Biar tidak hilang kejutannnya. Jika dipastikan sekarang, jangan-jangan justru akan mengacaukan pertaruhan itu. Hm. Terus terang, Dik, kami merasa tersanjung oleh semangat pertaruhan mereka itu.ヤ
モOh..... begitu!ヤ
モ Ya, begitulah!ヤ
Pada suatu hari, aku disuruh Ibu menemui Mbah Markijan untuk menanyakan hari yang dianggap paling baik untuk menanam padi.
モSebenarnya sudah kulihat di primbon. Ya, biar lebih mantap. Dan jangan lupa, jika lebih dari sepuluh hari lagi, benihnya sudah akan kadaluwarsa,ヤ kata Ibu.
Kebetulan. Ini kesempatan baik. Aku akan menanyakan kepada Mbah Markijan, siapa tahu bahkan aku bisa tahu pula teknik memastikan prakiraan jenis kelamin janin yang masih ada dalam kandungan seperti yang dilakukan Mbah Markijan.
モYa, semua itu hanya berdasarkan ilmu warisan nenek moyang dahulu. Barangkali dasarnya juga hanya ketekunan mengamati kejadian demi kejadian, membaca keadaan. Lalu jadilah teori itu. Yang dipakai landasan adalah hari kelahiran bakal ayah dan ibu si bakal bayi yang akan lahir. Cara menghitungnya, ya sederhana saja, kamu nanti bisa menyaksikan sendiri.ヤ
モSejauh mana, Mbah, ketepatan prakiraan itu?ヤ
モ Namanya juga tebakan. Tidak harus tepat, kan? Hanya saja, sejauh yang kualami dan kuingat, lebih banyak dan lebih sering benar dari pada salahnya.ヤ
モO, begitu, ya Mbah? Kalau begitu tentu banyak di antara mereka yang bertaruh itu datang ke sini?ヤ
モBanyak juga. Bahkan ada yang ingin bisa menghitungnya sendiri. Tapi, jangan salah paham, ini bukan ilmu bertaruh. Semua ilmu itu harus tujuannya keselamatan. Dalam hal ini, ya.. semoga selamatlah bayi yang akan dilahirkan, selamatlah pula pasangan suami-istri yang akan segera jadi ibu dan ayah. Maka jika ada bayi lahir dengan jenis kelamin yang menyimpang dari hitungan ini, ya.... sebaiknya di-ruwat.ヤ
モJadi, harus menggelar pertunjukan wayang kulit, Mbah?ヤ
モTidak, Itu tidak termasuk sukerta yang harus di-ruwat dengan pertunjukan wayang kulit. Cukup dengan selamatan, mengundang tetangga, dan si jabang bayi itu --- tentu harus sudah diberi nama --- diserahkan kepada siapa situ, ke mertua, atau kakak, terserahlah, asal diserahkan, misalnya dengan kalimat begini: Budi ini sandang dan pangannya kami yang mengusahakan, Bu, tetapi dia adalah anak Ibu. Begitu kalau diserahkan ke Ibu, atau Mbah Putri-nya si jabang bayi.ヤ
モO, begitu, ya Mbah?ヤ
モYa, tapi itu juga bukan harga mati. Namanya kan kepercayaan. Jika percaya ya silakan, kalau tak percaya ya.. tak mengapa/ヤ
Sudah dapat diduga, suasana kelahiran anak Tarmi mirip-mirip dengan suasana penarikan undian SDSB. Orang-orang makin ribut. Yang tepat menebak ribut., yang luput tebakannya juga tak kalah ribut. Bahkan ada pula yang nyaris bertengkar karena salah satu pihak menganggap pihak lainnya mengingkari perjanjian taruhan.
Tarmi melahirkan bayi perempuan!
モWah, sekarang Mbah Markijan sudak tidak sakti lagi!ヤ
ヤYa. Benar. Suruh saja dia lengser dari kedudukannya sebagai dukun!ヤ
モWah. Kalau raja lengser masih bisa jadi pendeta, terus kalau lengser dari dukun, mau jadi apa lagi?ヤ
Mbah Markijan sendiri tak kalah kagetnya menerima berita kelahiran Tarmi itu. モSudah lahir? Bukankah masih delapan bulan jalan ini? Ya, yang penting semuanya baik. Semuanya selamat!ヤ
Setelah meledek bakal calon istriku ヨ karena tadinya dia ikut-ikutan kakaknya, bersikukuh mengira calon keponakannya akan lahir laki-laki ヨ aku mencoba mengorek keterangan.
モNik, aku kan bertanya, tapi jangan rame-rame ya? Boleh, ya?ヤ
モAyo, tanya apa?ヤ
モMbak Tarmi itu hamil hanya delapan bulan, yaヤ
モMmm, iya, barangkali. Ada apa? O, iya! Iya, iyaaa!ヤ
モIya, apa?ヤ
モSudahlah!ヤ
モLho!ヤ
モSampean punya dugaan Mbak Tarmi sudah hamil sebelum menikah?ヤ
モHm. Bagaimana, ya? Tapi bukan itu yang penting. Seumpama, ya., mmm, ini hanya seumpama saja, lho. Seumpama benar demikian, berarti Mbah Markijan ヨ yang oleh orang-orang dikatakan sudah tidak sakti lagi itu ヨ yang salah. Mbah Markijan dengan teorinya meramalkan bahwa anak sulung Mbak Tarmi akan lahir laki-laki. Padahal jika Mbak Tarmi, sudah hamil sebelum menikah, itu berarti bukan anak sulung, tetapi pra-sulung. Alias sebelum sulung!ヤ
モBegitukah? Ya, ya. Mas, sampean kuberi tahu, tapi jangan rame-rame pula ya? Jadikan ini rahasia kita saja, ya?ヤ
モYa. Apa?ヤ
モJanji?ヤ
モJanji!ヤ
モ..............ヤ
モApa?ヤ
モBarangkali, yang lahir sekarang itu, bahkan anak nomor tiga atau empat.ヤ
モHaaaaaaaa......????????ヤ
モSampean, sudah janji, lho!ヤ
Tak tahulah, sampai bisa bicara begitu itu, dari mana Nunik dapat berita. Aku tidak berani lagi mempertanyakan. Mungkin itu hanya keyakinan Nunik saja. Atau, bisa juga, Tarmi pernah berterus terang kepadanya.
Orang-orang masih ramai memperbincangkan kekalahan atau kemenangan mereka dalam pertaruhan. Entahlah, seperti angan-angan saya atau tidak. Aku sendiri tadinya juga tak punya angan-angan seperti ini. Setelah diusik oleh kata-kata Nunik itulah baru jadi sebegini melantur, sampai-sampai aku jadi takut terhadap pikiran dan angan-anganku sendiri. Coba, sekarang pikiranku sedang berputar-putar begini: Mbah Markijan pernah mengatakan bahwa menurut モhitunganヤnya bayi pertama yang akan pasangan Tarmi dan Marbi adalah bayi laki-laki. Ternyata yang kemudian lahir adalah perempuan. Jika sesungguhnya yang lahir dari rahim Tarmi itu bukanlah bayi yang pertama? Lalu, seandainya pun itu adalah benar anak sulung, masih disalahkan jugakah Mbah Markijan, jika pada hakekatnya bayi itu lahir dari pasangan Tarmi dengan selain Marbi?ヤ
Hah! Setelah lelah berbelit-belit dengan pikiran dan angan-angan sendiri, akhirnya kuteriakkan dalam batin, kepada diri sendiri: モPokoknya semua tidak beres!ヤ
Dan aku benar-benar ingin tidur, walaupun sesungguhnya belum benar-benar mengantuk. Tapi aku sudah sedikit jadi lega. Setidaknya sudah tahu pula apa yang mula-mula akan kulakukan esok, yaitu menemui Mbah Markijan, dan menanyakan pertanyaan: モPresiden kita nanti laki-laki ataukah perempuan, Mbah?ヤ****(transliterasi dan salin, 20 Juni 2012)
Cerpen Kelima:
5. TRUK-TRUK
Oleh: Hardjono WS
Termuat di JPM, 24 Desember 2000
Matahari sebelum sempat menonjolkan tubuhnya sedikit pun. Udara amat dingin menusuk-nusuk tubuhnya, meskipun sudah dibelit jaket dan baju tebal.
Sejak suara mauzin melantunkan pujian dan seruan untuk bersyukur akan kebesaran Tuhan. Gandik sudah menunggu di halaman rumahnya.
Desa itu kecil terletak di antara bebukitan yang ditumbuhi tanaman pisang dan sedikit hutan karet. Dulu, desa itu terkenal dengan tanaman pohon karet milik onderneming Belanda dan penduduk desa itu menjadi buruh musimannya. Ketika Belanda terusir dari daerah itu dan perkebunan pindah tangan ke Pemerintah Indonesia, penduduk tak pernah berubah nasibnya. Tetap menjadi buruh kebun.
Sekarang, sawah milik kakek-nenek mereka sudah banyak berpindah tangan. Diambilnya batu-batunya yang jumlahnya ribuan, bahkan jutaan ton terpendam di dalamnya. Banyak di antara anak-anak mereka akhirnya hanya menjadi buruh tani. Preman tandur, preman ndhadhak, atau nggeblok pari musim panenan telah tiba. Buruh tani, bukan petani.
Di antara mereka ada juga yang menyisakan uangnya untuk beli sepeda motor, atau sapi untuk ngojek atau buruh brujul membajak sawah pategalan milik para pemilik sawah. Sementara anak-anak muda tak ada yang pergi ke sawah, dan tenaga mereka diperlukan untuk mengangkut batu-batu dibawa ke pabrik-pabrik sirtu.
Itu satu-satunya pekerjaan yang mereka lakukan, selain menjadi buruh di kota-kota besar. Menjadi buruh adalah satu-satunya pilihan anak muda untuk menatap masa depannya.
モAyo Pak, kalau jadi ikut,ヤ kata seorang laki-laki muda bertelanjang dada dengan sebatang rokok terselip di kedua jari tangannya. Tanpa memberi jawaban Gandik meloncat dan segera mengikuti langkah laki-laki muda bertelanjang dada. Keduanya mendekati truk tua yang sudah berada di depan masjid kecil milik desa. Berempat dengan sopir, Gandik segera naik di depan diapit mereka.
Deru mesin truk segera terdengar. Sember sudah tua dan tampaknya terlalu berat menahan beban. Hujan semalam turun dan mampu menggerus batu-batu yang pating pedongsol di antara jalanan makadam itu. Terasa amat berat mesin itu membawa truk dengan bak belakang yang cukup besar.
Sesekali berpapasan dengan truk yang sudah penuh batu.
モJam tiga mereka tadi sudah berangkat,ヤ kaki laki-laki bertelanjang dada yang tak pernah mengeluh meski tubuhnya sejak tadi dijilati angin dan udara dingin.
Jalanan makin mendaki, roda truk melindas batu-batu sekaligus mampu membuat makin kukuh terpendam dalam tanah. Tetapi, sudah tentu tidak seluruhnya, karena ada juga beberapa batu yang nakal saat roda-roda truk itu melindasnya. Batu-batu itu saling berloncatan ketika tak mau terpendam dalam tanah oleh lindasan roda truk.
Pada kelokan tajam tiba-tiba truk itu terperosok dalam tanah lembek akibat air hujan semalam. Sopir segera ingin menguasai keadaan. Mesin dikembalikan nol. Tampaknya, ia ingin membiarkan truk berjalan mundur tanpa mesin.
モTenang Pak,ヤ kata laki-laki bertelanjang dada itu saat melihat Gandik menahan helaan napas tanda perasaan takut. Sambil bersiul kecil, meloncatlah laki-laki bertelanjang dada itu. Turun dan segera membenahi roda yang terperosok dalam tanah basah dengan cangkul dan linggisnya.
Ia hanya sempat duduk di kelas lima, tak tamat sekolahnya. Yang dikerjakan hanya tenaga lewat tulang, otot, dan dagingnya yang amat kuat, meski umurnya masih belum lengkap sebagai syarat menonton film porno.
Setiap pagi ia bersama temannya mendongkel dan mengangkuti batu-batu yang ada di sungai, sawah, ataupun bebukitan yang berada di ujung desa.
Mencari makan, minum dan merokok; setelah diganti dengan tenaga dan keringatnya. Sesekali pergi ke tempat pelacuran yang ada di desa Kepung atau Bleberan, meski yakin yang diajak tidur tak bedanya dengan bulik atau emaknya.
モPersis kambing atau ayam,ヤ pikir Gandik di tempat duduknya ketika laki-laki telanjang dada ini sudah berada di sampingnya. Mesin segera menderu dan truk tua itu sudah mulai merangkak lagi menyusuri bebukitan yang makin naik. Bau tlethong mulai menyebar bersama kepulan asap bergulung-gulung membubung naik.
Enak bau tlethong terbakar saat udara masih berembun atau diselimuti udara baru tertimpa air hujan. Orang-orang desa mulai melakukan kehidupannya lagi. Hidup untuk mencari makan dan melangsungkan keturunannya yang tak pernah berubah sejak dulu sampai sekarang menjadi buruh. Yang berubah hanyalah yang menjadi majikan atau tuannya. Belanda, tuan tanah, lurah, atau pemilik persawahan atau petani yang tak pernah mencangkul dan derep di sawah.
Matahari mulai lamat-lamat menunjukkan mukanya di langit timur di atas gunung-gunung dan bukit-bukit. Sinarnya semburat membuat langit dan awan memiliki warna berbeda antara tepian dan tengah-tengahnya. Berwana merah sedikit menakutkan.
Mirip langit barat saat matahari hendak turun dan kembali keperaduannya.
モHampir sampai Pak,ヤ kata laki-laki bertelanjang dada itu memberi tahu. Gandik pun segera bersiap. モMasih dingin Pak,ヤ tanya laki-laki bertelanjang dada itu sambil menengok ke arah Gandik yang saat itu membuka jaketnya. Dalam batin Gandik membetulkannya, tetapi ia sedikit merasa malu dan terpaksa jaket dan baju tebalnya tetap ditanggalkan.
モMakan dulu Pak, biar kuat mengangkut batu,ヤ kata laki-laki bertelanjang dada, dan sesaat masuk ke dalam warung kecil. Hanya dengan sebutir tempe dan tahu goreng, nasi sepiring penuh itu sudah ludes ke dalam mulut. Pedes lombok empling adalah semangat rakyat kecil tak jauh berbeda dengan laki-laki bertelanjang dada, dan teman-teman mereka.
モSudah Pak, sudah kami bayar. Potong setelah truk balik kembali,ヤ kata laki-laki bertelanjang dada itu dengan bangga. Gandik tak bisa mengelak. Dua cepet rokok kesukaan mereka diselipkan Gandik di atas stir truk.
Tiba-tiba, モturun!ヤ kata sopir dengan cekatan. Berhamburan mereka terjun dengan semua peralatan kerjanya. Cangkul, linggis, keranjang, caruk, dan bodem mereka.
Gandik turun dengan pandangan aneh karena tampak seorang berlari-lari jauh di pematang sawah. Mendekat, sebentar tampak sebentar lenyap di antara pepohonan dan rerumputan pematang.
モHei, jangan kau rusak tebing-tebing itu. Itu bukan milikmu!ヤ teriaknya dari sana. Para pekerja, termasuk laki-laki bertelanjang dada itu berhenti sejenak. Bodem dan linggis mereka berhenti sejenak mencongkel.
モItu bukan milikmu, hentikan pencurian batu-batu kali,ヤ teriak seseorang itu sambil berkacak pinggang. Laki-laki telanjang dada itu langsung berhenti dan matanya nanar berkelebatan mencari kayu dan mendekati seseorang itu.
モKatakan pada lurahmu, aku yang mengambil batu kali itu.ヤ
モItu bukan milikmu, itu milik desa!'
モYa, tapi juga bukan milikmu!ヤ kata seseorang itu.
Tanpa berpikir panjang, laki-laki telanjang dada itu langsung bergerak cepat sambil mengacungkan potongan bambu itu mengancam. Teman-temannya tak ada yang berani mencegah ketika laki-laki telanjang dada seseorang itu. Tampaknya seseorang itu takut dan langsung berlari. Kejar-kejaran terjadi.
Kedua orang itu tampak makin kecil, berkejaran di atas pematang sawah di atas tebing sungai.
モSiapa yang melarang kami mengambil batu-batu kali itu? Ayo katakan! Lurahmu? Lurah itu juga ikut merampok batu-batu dan juga sawah ganjarannya!ヤ bentak laki-laki telanjang dada itu. Seseorang itu tampak ketakutan dan amat ketakutan.
モCepat pergi dan jangan melarang kami mengambil batu-batu kali milik kita ini. Mengapa lurahmu tidak melarang orang-orang yang mengambil batu di atas bukit itu? Ayo kalau berani, laranglah mereka kalau lurahmu ingin dipecat orang-orang kabupaten,ヤ
kata laki-laki telanjang dada dengan marah.
Seseorang itu krengkelan bangun dari pematang, dan tak mengira ada orang berani kepada lurahnya. Tanpa menjawab, seseorang itu akhirnya meninggalkan tempat itu dengan takut.
モKenapa?ヤ tanya Gandik ketika laki-laki telanjang dada itu sudah berada di depannya.
モMengapa mesti takut kepada lurah? Lurah desa ini juga ikut mencuri batu. Rakyat berhak mencuri batu,ヤ katanya sambil meneruskan pekerjaannya.
Menghancurkan tebing-tebing dan menghantam batu-batu kali menjadi bongkahan-bongkahan yang siap dihancurkan menjadi pasir. Dengan air dialirkan untuk menggerus bebatuan di tebing.
Laki-laki telanjang dada menghantami batu dengan bodemnya.
Keringat, air sungai bercampur menjadi satu membuat tubuh laki-laki bertelanjang dada itu makinmengkilap. Tak terhitung lagi berapa buah batu yang dipenggal dan dilontar sekaligus ke dalam truk. Tak sempat menghisap rokok. Ia bekerja terus sampai matahari mulai memancarkan panasnya.
モKalau sudah bekeja, lupa diri,ヤ kata sopir kepada Gandik.
モKenapa?ヤ
モSawahnya sudah habis dijual orang tuanya. Sekarang hanya berapa rumah bagus dan tak pernah lagi didatangi orang. Tak bisa lagi mengerjakan sawah kecuali menjadi buruh batu. Sekarang ia bekerja sebagai buruh mengambil batu. Ia tak mengerti untuk apa rumah bagus tak pernah punya tamu itu. Bapaknya sudah mati tertimpa longsoran batu. Tak tertolong karena tak seorang pun mengetahui kecelakaan itu terjadi.
Gandik termangu mendengar kisah itu dan berusaha membayangkan bagaimana peristiwa itu terjadi.
Saat orang-orang desa sudah pulang ke rumah beristirahat sembahyang lohor, Pak Manan belum juga pulang. Kata orang Pak Manan masih asyik mencari batu-batu yang ada dalam sawahnya yang sudah dijual.
Betapa kaget ketika sampai maghrib Pak Manan juga belum tampak pulang. Orang-orang segera mencarinya dengan obor dan sentolopnya.
Pak Manan tak ditemukan, yang tampak hanya dua buah tangan Pak Manan di atas timbunan tanah longsor. Seakan tangan itulah yang bercerita bahwa Pak Manan berada di tempat itu.
Dengan obor dan sentolop, cangkul, dan linggis orang-orang desa mampu mengangkat tubuh Pak Manan yang sudah tak bernyawa lagi.
Malam itu rumahnya menjadi ramai dan orang-orang yang sekaligus menjadi saksi tentang kematian penghuni rumah itu.
Matahari makin menghangat, dan dengan terseot-seot truk tua itu mulai merayap dengan beban berat, batu-batu. Tak ada yang dibicarakan penumpang truk itu kecuali pikiran mereka masing-masing yang mengembara entah ke mana.
Laki-laki telanjang dada itu tetap dengan tubuhnya yang gagah, berdiri di atas batu-batu dalam bak truk, seakan telah mampu melampiaskan dendamnya kepada siapa saja yang bersinggungan dengan batu-batu, serta truk pengangkutnya. ***** (transliterasi dan salin, 19 Juni 2012)